YURISPRUDENSI PENTING DALAM PRAKTEK PERADILAN DI
INDONESIA
Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1260 K/Sip/1980 Tanggal 31 Maret
1982, amarnya berbunyi: “Gugatan tidak
dapat diterima, karena ditujukan terhadap kuasa daripada Ny. Soekarlin, sedang
yang seharusnya adalah Ny. Soekarlin pribadi”;
Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 443 K/Pdt/1984 Tanggal 19 Agustus
1985, amarnya berbunyi: “Karena rumah
yang digugat merupakan harta bersama (gono – gini), isteri Tergugat harus juga
digugat";
Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 365 K/Pdt/1984 Tanggal 10 Juni 1985,
amarnya berbunyi: “Dengan adanya
pernyataan kontraktor, bahwa segala akibat dan resiko pembangunan proyek
pertokoan dan perkantoran tersebut menjadi tanggung jawab kontraktor,
kontraktor tersebut harus digugat”;
Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 400 K/Pdt/1984 Tanggal 11 Juni 1985,
amarnya berbunyi: “Karena hubungan hukum
yang sesungguhnya adalah hubungan hutang piutang antara Penggugat dengan anak
Tergugat, anak Tergugat harus turut digugat”;
Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 2678 K/Pdt/1992 Tanggal 15 September
1994, amarnya berbunyi: “Bahwa Pengadilan
Tinggi keliru dalam pertimbangannya yang menyatakan bahwa Bank Duta Cabang Lhok
Seumawe hanya merupakan cabang dari Bank Duta Pusat, dengan demikian tidak
mempunyai legitimasi personal standi in yudicio, padahal cabang adalah
perpanjangan tangan dari kantor pusat, oleh karena itu dapat digugat dan
menggugat. Sehingga gugatan yang ditujukan kepada Agamsyah Hamidi selaku
Manager Operasional Bank Duta Cabang Lhok Seumawe dalam kapasitasnya sebagai
manager berdasarkan perjanjian akta perjanjian kredit dalam rangka
perikatan dengan pemohon kasasi adalah mempunyai legitimasi dalam
jabatannya mewakili Bank Duta cabang Lhok Seumawe, oleh karena itu gugatan
tersebut adalah sah menurut hukum”;
Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:832 K/Sip/1973 Tanggal 23 Maret 1976,
amarnya berbunyi: “Pengunduran Tergugat
II pada sidang ketiga haruslah tidak dibenarkan oleh Pengadilan karena
Penggugat berkeberatan terhadap pengunduran itu, sehingga Tergugat II harus
tetap dianggap sebagai pihak dalam perkara (i.c. pada sidang ketiga Pengadilan
Negeri, Tergugat II mengundurkan diri sebagai Tergugat untuk kemudian bertindak
sebagai saksi dari Tergugat)”;
Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 201 K/Sip/1974 Tanggal 28 Januari
1976, amarnya berbunyi: “Putusan Hakim
pertama yang menyangkut 14 orang Tergugat, yang selama sidang berlangsung,
diluar sidang persoalannya telah selesai dengan pihak Penggugat secara damai,
kemudian dalam diktum bagian kedua menghukum mereka untuk mentaati dan
melaksanakan isi perjanjian yang telah dibuatnya adalah tidak tepat. Bahwa
seharusnya dalam hal tersebut Hakim pertama harus mengusulkan kepada para
Penggugat agar mereka sebelum perkara diputus, mencabut gugat mereka terhadap
14 orang tersebut, dan apabila pihak Penggugat tidak mau melakukan hal itu,
dengan putusan oleh karena antara mereka tidak ada persoalan lagi, menyatakan
gugat terhadap mereka tidak dapat diterima”;
Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 482 K/Sip/1973 Tanggal 8 Januari 1976,
amarnya berbunyi: “Hakim pertama telah
menyalahi hukum acara karena menganggap Tergugat dikeluarkan dari
gugatan dan terhadapnya tidak menjatuhkan putusan (i.c. Pengadilan Negeri
mempertimbangkan):
"bahwa Tergugat I menyatakan bahwa ia
tidak pernah menghaki atau menjual sawah sengketa;
bahwa dalam surat gugatannya juga tidak
pernah disinggung apakah Tergugat I pernah menghaki atau menjual sawah
tersebut;
bahwa
oleh karena itu Tergugat I harus dikeluarkan dari gugatan".
Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1780 K/Sip/1978 Tanggal 1981, amarnya
berbunyi: “Karena Tergugat asal II telah
menyetujui pencabutan gugatan dan tidak bersedia menghadap ke sidang, maka
dapat dipandang bahwa Tergugat II tersebut telah melepaskan kepentingan dalam
perkara ini, sehingga pencoretan namanya sebagai Tergugat tidaklah bertentangan
dengan hukum”;
Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 85 K/Sip/1982 Tanggal 18 Desember
1982, amarnya berbunyi: “Pengeluaran
Tergugat dari proses perkara ini secara ambhalve tidak dapat dibenarkan, karena
hal itu melanggar tertib hukum acara”;
Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 1043 K/Sip/1971 Tanggal 3 Desember 1974, kaidah hukumnya
berbunyi: “Yurisprudensi mengizinkan
perubahan atau tambahan dari Penggugat, asal hal ini tidak mengakibatkan
perubahan posita, dan Tergugat tidak dirugikan dalam haknya untuk membela diri”;
Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 823 K/Sip/1973 Tanggal 29 Januari 1976, kaidah hukumnya berbunyi: “Perubahan yang dimohonkan oleh Penggugat,
ialah tanggal 21 Mei 1969 dirubah menjadi tanggal 21 Mei 1968: "Karena
perubahan tersebut tidaklah merugikan kepentingan Tergugat dalam pembelaan
ataupun pembuktian sehingga tidak bertentangan dengan hukum acara dan demi
peradilan yang tepat dan murah dapatlah dikabulkan”;
Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 226 K/Sip/1973 Tanggal 27 Nopember 1975, kaidah hukumnya
berbunyi: “Karena perubahan gugatan yang
diajukan Penggugat – Terbanding pada persidangan tanggal 11 Februari 1969
adalah mengenai pokok gugatan, maka seharusnya perubahan tersebut ditolak”;
Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 2 K/Sip/1959 Tanggal 28 Januari 1959, kaidah hukumnya
berbunyi: “Keberatan pihak Tergugat asli/
pembanding Penggugat untuk kasasi terhadap perubahan isi gugatan berupa
pencabutan kembali sebagian dari barang – barang yang digugat, dapat dibenarkan
karena dalam perkara ini pengurangan gugat itu dapat merugikan baginya mengenai
hal warisan dan gono – gini”;
Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 546 K/Sip/1970 Tanggal
14 Oktober 1970, kaidah hukumnya berbunyi: “Perubahan
gugatan itu tidak dapat diterima apabila perubahan dilakukan pada taraf
pemeriksaan perkara sudah hampir selesai, pada saat dalih – dalih, tangkisan –
tangkisan, pembelaan – pembelaan sudah hampir dikemukakan dan kedua
belah pihak sebelumnya telah mohon putusan”;
Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 334 K/Sip/1972 Tanggal
30 September 1972, kaidah hukumnya berbunyi: “Keberatan kasasi bahwa Pengadilan Tinggi
telah merumuskan posita Penggugat tidak sesuai dengan dalih – dalih Penggugat,
dapat dibenarkan karena dalih Penggugat adalah “menempati tanah
sengketa dengan kekerasan”, sedang oleh Pengadilan Tinggi dirubah “meminjam”;
Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 546 K/Sip/1970 Tanggal 28 Oktober 1970, kaidah hukumnya berbunyi: "Putusan PN yang dikuatkan oleh PT
harus dibatalkan, karena putusan - putusan tersebut mengabulkan perubahan
gugatan pokok yang diajukan pada tingkat pemeriksaan dimana semua dalil - dalil
tangkisan - tangkisan dan pembelaan telah habis dikemukakan";
Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 209 K/Sip/1970 Tanggal 6 Maret 1971, kaidah hukumnya berbunyi: "Suatu tuntutan baru (rekonpensi)
tidak dapat diajukan dalam tingkat kasasi. Suatu perubahan tuntutan tidak
bertentangan dengan azas - azas hukum acara perdata, asal tidak merubah atau
menyimpang dari kejadian materil walaupun tidak ada tuntutan Subsidair: untuk
peradilan yang adil";
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 1300 K/Sip/1977 Tanggal 6 Pebruari 1979, kaidah hukumnya berbunyi: “Karena
perkawinan tergugat I dengan almarhum R.ng. Wignyodarsono dibatalkan oleh
Pengadilan Agama/Mahkamah Islam Tinggi Solo, maka ia bukan isteri almarhum dan
anaknya bukanlah anak sah almarhum, sehingga tidak berhak atas warisan
almarhum”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 592 K/Sip/1973 Tanggal 21 Januari 1980, kaidah hukumnya berbunyi: “Pihak
yang dikalahkan dalam putusan panitia penyelesaian perselisihan perburuhan,
tidak berwenang untuk mohon kepada PN agar agar putusan P4 tersebut dinyatakan
batal atau dinyatakan tidak dapat dilaksanakan, selain itu menurut pasal 10 UU
No.2 Tahun 1957 Pengadilan Negeri hanya diberi wewenang untuk menyatakan
putusan dan P4 yang bersangkutan dapat dijalankan”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 840 K/Sip/1975 Tanggal 4 Juli 1978, kaidah hukumnya berbunyi: “Surat
gugatan bukan merupakan akte di bawah tangan, maka surat gugatan tidak terikat
pada ketentuan – ketentuan pasal 286 (2) R.Bg jo. STB 1916 – 46 jo. STB 1919 –
776”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 769 K/Sip/1975 Tanggal 24 Agustus 1978, kaidah hukumnya berbunyi: “Gugatan
bercap jempol yang tidak dilegalisir berdasarkan yurisprudensi bukanlah batal
menurut hukum, tetapi selalu dikembalikan untuk dilegalisasi kemudian”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 1149 K/Sip/1975 Tanggal 17 April 1979, Kaidah hukumnya berbunyi: “Karena
dalam surat gugatan tidak disebutkan dengan jelas letak/batas – batas tanah
sengketa, gugatan tidak dapat diterima”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 22K/Sip/1973 Tanggal 25 Nopember 1976, kaidah hukumnya berbunyi: “Dalam
hal ada pengakuan yang terpisah – pisah hakim bebas untuk menentukan
berdasarkan rasa keadilan pada siapa harus dibebankan pembuktian”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 898 K/Sip/ 1974 Tanggal 13 Juli 1978, Kaidah hukumnya berbunyi: “Cara
pembuktian yang dilakukan Pengadilan Negeri dalam perkara ini, adalah tidak
tepat, karena sumpah tambahan yang dibebankan kepada penggugat berisikan kata –
kata yang seolah – olah menunjukkan telah dibelinya tanah sengketa pada hal
justeru dengan sumpah itulah akan dibuktikan ada tidaknya jual beli yang
bersangkutan”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 1381 K/Sip/1974 Tanggal 30 Maret 1978, kaidah hukumnya berbunti:
“Keputusan Pengadilan Negeri tidak terikat oleh keputusan Hakim perdamaian”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 1729 K/Sip/1976 Tanggal 10 Mei 1979, kaidah hukumnya berbunyi: “Pengabdian
tanah (erfdienstbaarheid) tidak berakhir dengan bergantinya pemilik tanah yang
bersangkutan”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 521K/Sip/1975 Tanggal 1 Mei 1979, kaidah hukumnya berbunyi: “Jual
beli rumah dianggap meliputi juga pemindahan hak sewa/ hak pemakaian tanah di
atas mana rumah itu berdiri”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 80K/Sip/1975 Tanggal 4 Juli 1979, kaidah hukumnya berbunyi: “Perjanjian
yang dibuat karena causa yang tidak diperkenankan (ongcoorboofde oorzaak)
adalah tidak sah (i.c. perjanjian balik nama keagenan Pertamina antara tergugat
dan penggugat)”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 681K/Sip/1975 Tanggal 18 Agustus 1979, kaidah hukumnya berbunyi: “Karena
harta sengketa dalam harta serekat/gono – gini penggugat dengan mendiang
suaminya (ayah tergugat maka ia sebagai isteri mendapat ½ bagian ditambah 1
bagian anak menjadi ½ + ¼ = ¾ bagian, sedangkan tergugat
sebagai anak mendapat ¼ bagian”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 861K/Sip/1975 Tanggal 9 Agustus 1979, kaidah hukumnya berbunyi: “Perbuatan
hukum yang dilakukan janda atas harta peninggalan suaminya tanpa persetujuan
ahli waris keputusan dapat dibenarkan karena perbuatan termaksud adalah untuk
kepentingan yang patut dan tidak merugikan budel warisan”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 1300 K/Sip/1977 Tanggal 6 Pebruari 1979, kaidah hukumnya berbunyi: “Karena
perkawinan tergugat I dengan almarhum R.ng. Wignyodarsono dibatalkan oleh
Pengadilan Agama/Mahkamah Islam Tinggi Solo, maka ia bukan isteri almarhum dan
anaknya bukanlah anak sah almarhum, sehingga tidak berhak atas warisan
almarhum”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 592 K/Sip/1973 Tanggal 21 Januari 1980, kaidah hukumnya berbunyi: “Pihak
yang dikalahkan dalam putusan panitia penyelesaian perselisihan perburuhan,
tidak berwenang untuk mohon kepada PN agar agar putusan P4 tersebut dinyatakan
batal atau dinyatakan tidak dapat dilaksanakan, selain itu menurut pasal 10 UU
No.2 Tahun 1957 Pengadilan Negeri hanya diberi wewenang untuk menyatakan
putusan dan P4 yang bersangkutan dapat dijalankan”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 840 K/Sip/1975 Tanggal 4 Juli 1978, kaidah hukumnya berbunyi: “Surat
gugatan bukan merupakan akte di bawah tangan, maka surat gugatan tidak terikat
pada ketentuan – ketentuan pasal 286 (2) R.Bg jo. STB 1916 – 46 jo. STB 1919 –
776”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 769 K/Sip/1975 Tanggal 24 Agustus 1978, kaidah hukumnya berbunyi: “Gugatan
bercap jempol yang tidak dilegalisir berdasarkan yurisprudensi bukanlah batal
menurut hukum, tetapi selalu dikembalikan untuk dilegalisasi kemudian”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 1149 K/Sip/1975 Tanggal 17 April 1979, Kaidah hukumnya berbunyi: “Karena
dalam surat gugatan tidak disebutkan dengan jelas letak/batas – batas tanah
sengketa, gugatan tidak dapat diterima”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 22K/Sip/1973 Tanggal 25 Nopember 1976, kaidah hukumnya berbunyi: “Dalam
hal ada pengakuan yang terpisah – pisah hakim bebas untuk menentukan
berdasarkan rasa keadilan pada siapa harus dibebankan pembuktian”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 898 K/Sip/ 1974 Tanggal 13 Juli 1978, Kaidah hukumnya berbunyi: “Cara
pembuktian yang dilakukan Pengadilan Negeri dalam perkara ini, adalah tidak
tepat, karena sumpah tambahan yang dibebankan kepada penggugat berisikan kata –
kata yang seolah – olah menunjukkan telah dibelinya tanah sengketa pada hal
justeru dengan sumpah itulah akan dibuktikan ada tidaknya jual beli yang
bersangkutan”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 1381 K/Sip/1974 Tanggal 30 Maret 1978, kaidah hukumnya berbunti:
“Keputusan Pengadilan Negeri tidak terikat oleh keputusan Hakim perdamaian”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 1729 K/Sip/1976 Tanggal 10 Mei 1979, kaidah hukumnya berbunyi: “Pengabdian
tanah (erfdienstbaarheid) tidak berakhir dengan bergantinya pemilik tanah yang bersangkutan”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 521K/Sip/1975 Tanggal 1 Mei 1979, kaidah hukumnya berbunyi: “Jual
beli rumah dianggap meliputi juga pemindahan hak sewa/ hak pemakaian tanah di
atas mana rumah itu berdiri”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 80K/Sip/1975 Tanggal 4 Juli 1979, kaidah hukumnya berbunyi: “Perjanjian
yang dibuat karena causa yang tidak diperkenankan (ongcoorboofde oorzaak)
adalah tidak sah (i.c. perjanjian balik nama keagenan Pertamina antara tergugat
dan penggugat)”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 681K/Sip/1975 Tanggal 18 Agustus 1979, kaidah hukumnya berbunyi: “Karena
harta sengketa dalam harta serekat/gono – gini penggugat dengan mendiang
suaminya (ayah tergugat maka ia sebagai isteri mendapat ½ bagian ditambah 1
bagian anak menjadi ½ + ¼ = ¾ bagian, sedangkan tergugat
sebagai anak mendapat ¼ bagian”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 861K/Sip/1975 Tanggal 9 Agustus 1979, kaidah hukumnya berbunyi: “Perbuatan
hukum yang dilakukan janda atas harta peninggalan suaminya tanpa persetujuan
ahli waris keputusan dapat dibenarkan karena perbuatan termaksud adalah untuk
kepentingan yang patut dan tidak merugikan budel warisan”;
Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 582 K/Sip/1973 Tanggal 18 Desember 1985,
kaidah hukumnya:
"Karena petitum
gugatan adalah tidak jelas gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Petitum tersebut sebagai berikut:
1. Menetapkan hak Penggugat atas
tanah tersebut;
2. Menghukum Tergugat supaya
berhenti bertindak atas tempat terebut, dan menyerahkan kepada Penggugat untuk
bebas bertindak atas tempat tersebut;
3. Menghukum Tergugat serta
membayar ongkos – ongkos perkara ini".
- Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1186 K/Sip/1973 Tanggal 4 Mei 1976,
yang pada pokoknya kaidah hukumnya yaitu Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang
dibenarkan Mahkamah Agung:
“Tuntutan Penggugat –
Pembanding mengenai pengembalian penghasilan tanah selama 12 tahun harus
ditolak karena tidak disertai bukti – bukti secara terperinci dan meyakinkan”;
- Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1380 K/Sip/1973 Tanggal 11 Nopember
1975, kaidah hukumnya: “Tuntutan Penggugat yang berbunyi: “Menghukum Tergugat supaya tidak mengambil
tindakan yang bersifat merusakkan bangunan – bangunan tersebut”, tidak dapat
dikabulkan sebab bersifat negatif”;
- Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 88 K/Sip/1975 Tanggal 13 Mei 1975,
kaidah hukumnya: “Putusan Pengadilan
Tinggi mengenai ganti rugi harus dibatalkan, karena tentang hal itu belum
pernah diadakan pemeriksaan dan juga hal tersebut tidak terbukti (i.c.
Penggugat menuntut ganti rugi Rp. 45.000,- untuk ongkos menagih dari Lawang ke
Surabaya serta ongkos gugatan, yang oleh Pengadilan Tinggi tuntutan tersebut
dikabulkan)”;
- Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 492 K/Sip/1970 Tanggal 21 Nopember 1970,
kaidah hukumnya:
“Gugatan yang tidak
sempurna, karena tidak menyebutkan dengan jelas apa yang dituntut, harus
dinyatakan tidak dapat diterima, seperti halnya dalam perkara ini dituntutkan:
Agar dinyatakan syah semua
keputusan Menteri Perhubunga Laut, tetapi tidak disebutkan putusan – putusan
yang mana;
Agar dinyatakan sebagai
perbuatan yang melanggar hukum segala perbuatan Tergugat terhadap Penggugat
dengan tidak menyebutkan perbuatan – perbuatan yang mana;
Agar dihukum membayar
ganti rugi sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) tanpa memerinci untuk
kerugian – kerugian apa saja”;
- Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 616 K/Sip/1973 Tanggal 5
Juni 1975, kaidah hukumnya: “Mengenai
gugatan terhadap hasil sawah sengketa, walaupun tentang hal ini tidak ada
bantahan dari Tergugat, yang seharusnya dengan demikian gugatan dapat
dikabulkan; tetapi karena Penggugat tidak memberikan dasar dan alasan daripada
gugatannya itu, ialah ia tidak menjelaskan berapa hasil sawah – sawah tersebut
sehingga ia menuntut hasil sebanyak 10 gunca setahun, gugatan haruslah ditolak”;
- Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 81 K/Sip/1971 Tanggal 9 Juli 1973,
kaidah hukumnya: “Karena, setelah
diadakan pemeriksaan setempat oleh Pengadilan Negeri atas perintah Mahkamah
Agung, tanah yang dikuasai Tergugat ternyata tidak sama batas – batas dan
luasnya dengan yang tercantum dalam gugatan, gugatan harus dinyatakan tidak
dapat diterima”;
- Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1391 K/Sip/1975 Tanggal 26 April 1979,
kaidah hukumnya: “Karena dari gugatan
Penggugat tidak jelas batas – batas dusun sengketa yang digugat, hanya
disebutkan (bertanda II) saja, gugatan Penggugat tidak dapat diterima”;
- Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 873 K/Sip/1975 Tanggal 6 Mei 1977,
kaidah hukumnya: “Pertimbangan Pengadilan
Tinggi: - bahwa tuntutan Penggugat mengenai keuntungan perusahaan harus
dinyatakan tidak dapat diterima, karena tidak terperinci sebagaimana mestinya,
sehingga tidak jelas berapa jumlah keuntungan yang secara tepat menjadi hak
Penggugat – tidak dapat dibenarkan, karena hal tersebut telah diperincikan
dengan surat – surat bukti Penggugat”;
- Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1149 K/Sip/1975 Tanggal 17
April 1979, kaidah hukumnya: “Karena
dalam surat gugatan tidak disebutkan dengan jelas letak/batas – batas tanah
sengketa, gugatan tidak dapat diterima”;
- Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1075 K/Sip/1975 Tanggal 18 Desember
1982, kaidah hukumnya: “Pengadilan
Tinggi tidak salah menerapkan hukum, karena petitum bertentangan dengan posita
gugatan, gugatan tidak dapat diterima”;
Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 202 K / PID / 1990 Tanggal 30
Januari 1993, KAIDAH HUKUM: Putusan
Pengadilan Tinggi yang memperberat pidana tanpa menyebutkan sama sekali apa
yang dapat dinilai sebagai hal yang dapat memperberat pidana tersebut,
melainkan hanya menganggap pidana yang dijatuhkan Pengadilan Negeri terlalu
ringan, padahal Pengadilan Tinggi telah menyetujui pertimbangan hukum dan hal
yang memberatkan serta yang meringankan sebagaimana telah dipertimbangkan oleh
Pengadilan Negeri, dianggap sebagai putusan yang tidak cukup dipertimbangkan,
dan cukup alasan untuk membatalkannya;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 1104 K / PID / 1990 Tanggal 27
Februari 1993, KAIDAH HUKUM: Judex factie telah salah menerapkan hukum,
sebab korban jatuh karena terserempet oleh pengendara sepeda yang di depannya
dan karena jatuhnya ke kanan maka korban tergilas oleh roda bus yang
dikemudikan Terdakwa; ternyata kenderaan bus yang dikemudikan Terdakwa berada
di jalur yang benar atau di sebelah kiri, sehingga tidak terbukti adanya unsur kelalaian / kealpaan pada diri Terdakwa, dan
Makamah Agung mengadili sendiri;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 1047 K / PID / 1992 Tanggal 29
November 1994, KAIDAH HUKUM: Dari keterangan Notaris, terbukti dia
dipaksa oleh Terdakwa untuk membuat agar isi akta Notaris menyimpang dari surat
wasiat; saksi – saksi lain juga menerangkan tidak tahu ada perubahan yang
bertentangan dengan surat wasiat; disamping itu terbukti pula bahwa salah satu
saksi sudah mendapatkan hak milik dari Kantor Agraria secara sah. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, maka Mahkamah Agung berpendapat bahwa unsur – unsur
dakwaan telah terpenuhi dalam perbuatan Terddakwa, oleh karena itu Terdakwa
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan yang
didakwakan dalam surat dakwaan;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 1575 K / PID / 1992 Tanggal 20
Februari 1993, KAIDAH HUKUM: Dakwaan I (eks Pasal 187 KUHP) seharusnya
tidak secara kumulatif didakwakan bersama – sama dengan dakwaan II (eks Pasal
164 KUHP), karena tindak pidana ex pasal 187 KUHP adalah dalam hal para
Terdakwa didakwa sebagai pelakunya, sedangkan tindak pidana ex pasal 164 KUHP
adalah dalam hal para Terdakwa didakwa mengetahui orang lain bermufakat akan
melakukan tindak pidana termaksud dalam pasal 187 KUHP, tetapi tidak
memberitahukannya kepada pejabat kehakiman atau kepolisian atau kepada yang
terancam;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 71 K / PID / 1993 Tanggal 17
September 1996, KAIDAH HUKUM:
1. Unsur melawan hukum tidak dapat diartikan dalam
pengertian sempit melainkan harus dalam pengertian yang lebih luas, termasuk
didalamnya ketentuan yang tidak tertulis maupun kebiasaan yang seharusnya
dipatuhi; karena Terdakwa telah jelas melanggar ketentuan prosedur pemberian
overdraft, unsur melawan hukum haruslah dinyatakan terbukti;
2. Terdakwa sebagai pembantu tidak dapat dinyatakan terbukti
bersalah hanya berdasarkan perkiraan, sebab unsur kesengajaan dalam memberi
bantuan sebagaimana dalam pasal 56 ayat (1) KUHP tidak dapat hanya disimpulkan
dari keharusan Terdakwa menduga akan terjadinya delik yang akan dilakukan oleh
pelaku, melainkan adanya bantuan tersebut harus nyata dan dirasakan oleh yang
dibantu, juga benar – benar dikehendaki oleh Terdakwa, tidak hanya sekedar
karena culpa / lalai;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 354 K / PID / 1993 Tanggal 19
Agustus 1997, KAIDAH HUKUM: Seorang yang mengaku berhak terhadap suatu
barang, dalam hal ini tanah, tidak dapat mengambil/ menguasainya dari
penguasaan orang lain begitu saja atau bertindak main hakim, melainkan harus
melalui prosedur hukum, yakni gugatan perdata;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 1677 K / PID / 1993 Tanggal 7
Februari 1996, KAIDAH HUKUM: Karena Terdakwa telah mengakui dan
membenarkan keterangan saksi Fransiska Meo Iku yang dibacakan dari Berita Acara
Penyidikan, walaupun tanpa didahului penyumpahan saksi ketika disidik, bahwa ia
telah mencuri barang bukti cincin emas dan menggadaikannya kepada saksi
tersebut, maka keterangan tersebut mempunyai nilai pembuktian yang sah,
sehingga Terdakwa telah terbukti dengan sah dan meyakinkan mengambil barang
milik orang lain secara melawan hukum untuk memiliki barang yang diambilnya;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 863 K / PID / 1994 Tanggal 10
Agustus 1994, KAIDAH HUKUM: Berat ringannya pidana adalah wewenang judex
factie yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali apabila judex factie menjatuhkan
pidana melampaui batas maksimum yang ditentukan UU atau pidana dijatuhkan tanpa
pertimbangan yang cukup. Hukuman yang dijatuhkan adalah 4 tahun dan 6 bulan,
jadi masih kurang dari 8 tahun. Dalam hal Terpidana, sebelum lampau batas 5
tahun setelah dihukum, melakukan tindak pidana sejenis (recidive), hal itu tidak
perlu dirumuskan dalam amar, cukup dalam pertimbangan saja ;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 933 K / PID / 1994 Tanggal 28
Agustus 1997, KAIDAH HUKUM: Syarat khusus mengembalikan uang korban pada
hakikatnya adalah masalah perdata dan oleh karenanya tidak dapat disamakan
dengan keharusan mengganti kerugian dalam putusan perkara pidana, sebagaimana
diatur dalam pasal 14 C (1) KUHP. Akan tetapi kesalahan tersebut tidak
menyebabkan batalnya putusan in casu, melainkan cukup diperbaiki;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 1213 K / PID / 1994 Tanggal 25
Januari 1996, KAIDAH HUKUM: Oleh karena judex factie (Pengadilan Negeri)
telah salah menerapkan hukum dan Penuntut Umum / Jaksa dapat membuktikan
putusan Pengadilan Negeri bebas tidak murni karena judex factie salah
menafsirkan unsur memiliki, maka permohonan kasasi dari Penuntut Umum tersebut
pantas dikabulkan;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 1046 K / PID / 1995 Tanggal 26
Juni 1996, KAIDAH HUKUM: Perbuatan mengakui bahwa suatu barang milik
orang lain seluruhnya atau sebagian sebagai miliknya sudah memenuhi unsur –
unsur tindak kejahatan penggelapan, apalagi barang tersebut kemudian dijual
kepada orang lain;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 55 PK / PID / 1996 Tanggal 25
Oktober 1996, KAIDAH HUKUM: Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung
sendiri dan pertimbangan judex factie yang dinilai telah tepat dan benar,
Mahkamah Agung menyatakan telah cukup bukti secara sah dan meyakinkan, bahwa
Terdakwa bersalah melakukan perbuatan tindak pidana sebagaimana didakwakan
dalam dakwaan kesatu (pasal 160 jo. pasal 164 ayat (1) KUHP) dan dakwaan kedua
(pasal 161 ayat (1) KUHP); oleh karena itu, atas kesalahan tersebut, Terdakwa
dijatuhi pidana;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 329 K / PID / 1996 Tanggal 20
September 1996, KAIDAH HUKUM: Pasal 170 ayat (1) KUHP tidak dapat
dikenakan kepada para Terdakwa, sebab unsur melakukan kekerasan dalam pasal 170
(1) KUHP bukan merupakan alat / usaha untuk mencapai tujuan (niat para
Terdakwa), sehingga seandainyapun terjadi kerusakan, hal itu hanyalah merupakan
akibat perbuatan kekerasan tersebut; oleh karenanya, terhadap para Terdakwa
tersebut lebih tepat dikenakan pasal 406 (1) KUHP;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 821 K / PID / 1996 Tanggal 29
September 1997, KAIDAH HUKUM: Hukum tidak mengenal keadaan hampir
dewasa, juga dalam perkara ini, dimana saksi korban baru berumur 14 tahun;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 962 K / PID / 1996 Tanggal 5
Maret 1998, KAIDAH HUKUM: Apabila ada dugaan bahwa Terdakwa telah
melakukan tindak pidana perjudian di tempat umum (melanggar pasal 303 bis
KUHP), maka Pengadilan Negeri harus mengembalikan berkas perkara tersebut
kepada pihak kepolisian untuk kemudian diajukan ke persidangan melalui
kejaksaan, bukannya memeriksa dan mengadili perkara itu menurut acara
pemeriksaan tindak pidana ringan;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 52 K / PID / 1997 Tanggal 22 Januari
1998, KAIDAH HUKUM: Judex factie salah menerapkan hukum karena dakwaan
didasarkan pada UU yang telah dinyatakan tidak berlaku lagi, sehingga
penuntutannya tidak dapat diterima. Maka putusan Pengadilan Tinggi dan
Pengadilan Negeri tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dibatalkan;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 366 K / PID / 1997 Tanggal 8
Desember 1999, KAIDAH HUKUM: Hak Cipta termaksud yang sudah terdaftar di
Direktorat Hak Cipta, Patent dan Merek Departemen Kehakiman Republik Indonesia
adalah milik saksi. Maka dakwaan kesatu menurut hukum sesungguhnya telah
terbukti dengan sah. Dalam perkara ini, telah terjadi kesalahan dalam penerapan
hukum oleh judex factie; terhadap pelanggaran Pasal 11 (1) sub k jo. Pasal 44
UU 6 / 1982 yang diubah dengan UU 7 / 1987 tentang Hak Cipta, jo. Pasal 55 (1)
ke – 1 jo. Pasal 65 (1) KUHP, Pengadilan Negeri telah tidak menerapkan hukum
sebagaimana mestinya;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 812 K / PID / 1997 Tanggal 6
Oktober 1997, KAIDAH HUKUM: Meskipun permohonan kasasi dari Pemohon –
kasasi dikabulkan, tetapi karena Pemohon – kasasi tetap dijatuhi pidana, maka
biaya perkara dibebankan kepada Pemohon – kasasi tersebut;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 1156 K / PID / 2000 Tanggal 11
Oktober 2000, KAIDAH HUKUM: Perbuatan Pemohon – kasasi yang belum
memberikan tembusan Surat Perintah Penangkapan adalah sesuai dengan ketentuan
Pasal 18 (3) KUHAP. Menurut ketentuan tersebut, tembusan tersebut harus
diberikan segera setelah penangkapan dilakukan, akan tetapi ternyata Pemohon –
kasasi belum melakukan penangkapan.
Dalam perkara a quo, Pemohon ditangkap dan ditahan atas
perintah dan oleh Polisi Federal Australia, bukan oleh petugas Kepolisian
Negara Republik Indonesia, sedangkan Praperadilan mengenai sah atau tidaknya
penangkapan dan penahanan hanya berlaku bagi penangkapan dan penahanan yang
dilakukan oleh penyidik Indonesia sebagaimana ditentukan dan diatur Pasal 17,
18 dan 20 KUHAP;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 1378 K / PID / 2000 Tanggal 16
November 2000, KAIDAH HUKUM: Menurut pendapat Mahkamah Agung telah
terbukti bahwa perbuatan Terdakwa bukan hanya sekedar memilih atau menyimpan
shabu – shabu / psikotropika tersebut, sehingga perbuatan Terdakwa telah
memenuhi rumusan pasal 60 ayat (1) sub c UU 5 / 1997 tentang Psikotropika;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 202 K / PID / 2001 Tanggal 31
Mei 2001, KAIDAH HUKUM: Judex factie tidak tepat dalam mempertimbangkan
dakwaan Jaksa / Penuntut Umum sebagaimana yang termuat dalam surat dakwaan.
Jaksa / Penuntut Umum menyebutkan bahwa ganja bukan tanaman. Hal itu akan dapat
menimbulkan kerancuan pengertian yang berakibat dakwaan menjadi kabur, dan
dakwaan yang tidak jelas / kabur harus dinyatakan batal demi hukum;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 991 K / PID / 2001 Tanggal 13
Desember 2001, KAIDAH HUKUM: Judex factie telah salah menerapkan hukum,
terutama hukum pembuktian, yaitu hanya memerhatikan keterangan seorang saksi,
sementara hak – hak saksi lainnya diabaikan, sekalipun semua saksi disumpah
menurut agamanya masing – masing (unus testis nullus testis);
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 1572 K / PID / 2001 Tanggal 30
Maret 2001, KAIDAH HUKUM: 1. Judex factie telah salah menerapkan hukum
atau menerapkan hukum tidak sebagaiman mestinya, Psl 185 (6) KUHAP.
2. Judex factie tidak
membuat pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
serta alat pembuktian yang diperoleh dan pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar
penentu kesalahan Terdakwa psl. 197 (1) sub d;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 27 PK / PID / 2003 Tanggal 04
Juli 2003, KAIDAH HUKUM: Judex factie kasasi telah salah dalam
menerapkan hukum dalam pertimbangan hukumnya. dalam pembuktian terhadap unsur
memperdaya publik atau seseorang, jika seseorang tidak pernah didengar
keterangannya di muka persidangan, maka keterangan saksi yang didengar dari
orang lain harus dikategorikan sebagai testimonium de auditu dan oleh karenanya
tidak dapat dijadikan alat bukti;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 38 PK / PID / 2003 Tanggal 6
Juni 2005, KAIDAH HUKUM: Terdapat kekeliruan atau kekhilafan yang nyata
karena judex factie dalam pertimbangan hukumnya sama sekali tidak
mempertimbangkan prinsip keadilan bagi Pemohon PK ;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 218 K / PID / 2004 Tanggal 14
Juli 2004, KAIDAH HUKUM: Judex factie telah salah menerapkan hukum;
judex factie dengan melawan hak tidak mempertimbangkan secara cermat alat bukti
berupa surat – surat yang diajukan di muka persidangan.
Yang berwenang memeriksa dan memutus perkara ini adalah
Pengadilan Perdata;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 1077 K / PID / 1997 Tanggal 17
Februari 1998, KAIDAH HUKUM: Pasal 284 KUHP ditujukan kepada orang yang
terhadapnya berlaku ketentuan pasal 27 KUHPerdata yang hanya dapat diberlakukan
bagi golongan Tionghoa. Maka pasal 284 KUHP tidak dapat diterapkan /
diberlakukan terhadap diri Terdakwa I dan II yang tidak termasuk golongan orang
Tionghoa, melainkan orang Indonesia asli / pribumi asli;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 1166 K / PID / 1997 Tanggal 22
Januari 1997, KAIDAH HUKUM: Adalah tepat dan benar beralasan hukum
apabila barang bukti berupa kapal motor, yang terbukti dipergunakan oleh pelaku
tindak pidana dalam melakukan kejahatan atau pelanggaran, dirampas untuk
Negara, tanpa perlu mempertimbangkan siapa pemilik kapal motor tersebut;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 1590 K / PID / 1997 Tanggal 2
Maret 1998, KAIDAH HUKUM: Apabila seseorang mengambil barang yang bukan
merupakan jaminan utang, maka dapat ditafsirkan “dengan maksud memiliki secara
melawan hak”. Dalam kasus ini, Judex factie telah salah menafsirkan unsur
“dengan maksud memiliki secara melawan hukum”;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 1558 K / PID / 1998 Tanggal 29
Januari 1999, KAIDAH HUKUM: Dalam hal seorang Terdakwa masih berumur 17
(tujuh belas) tahun, sesuai dengan asas – asas peradilan anak, maka pemeriksaan
perkara yang bersangkutan dilakukan secara tertutup;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 1658 K / PID / 1998 Tanggal 30
April 1999, KAIDAH HUKUM: Bila pemilik rumah menghendaki penghentian
sewa – menyewa, seharusnya si pemilik mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri
(Pasal 10 ayat 3 tentang PP 55 / 1981 tentang Perubahan atas PP 49 / 1963
tentang Hubungan Sewa – Menyewa Perumahan);
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 144 K / PID / 200 Tanggal 21
Agustus 2000, KAIDAH HUKUM: Oleh karena akta autentik yang merupakan
salah satu unsur dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum, baik di dalam dakwaan kesatu
maupun dakwaan kedua, tidak terpenuhi, maka Terdakwa tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang dimaksud oleh dakwaan – dakwaan
kesatu dan kedua, dan karenanya Terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan –
dakwaan. Berdasarkan pertimbangan itu, putusan PT Bandung tanggal 10 November
1999 No.207 / PID/1999/PT.Bdg yang menguatkan putusan PN. Bekasi tanggal 7
Agustus 1999 No.31/Pid/B/1999/PN.Bks harus dibatalkan, dan permohonan dari
Pemohon kasasi / Terdakwa Dra. Dhanie Saraswati, Msc, dikabulkan;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 972 K / PID / 2000 Tanggal 30
November 2000, KAIDAH HUKUM: Dalam hal unsur memiliki dengan melawan
hukum telah terbukti, maka Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana penggelapan sebagaimana didakwakan oleh Jaksa
Penuntut Umum, sehingga Terdakwa tersebut haruslah dijatuhi hukuman. Unsur
memiliki dengan melawan hukum telah direalisasikan oleh Terdakwa dengan cara
menyewakan gudang sengketa, seolah – oleh Terdakwa adalah pemilik;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 561 K / PID / 1982 Tanggal 30
Juli 1983, KAIDAH HUKUM: Menurut yurisprudensi, pasal 284 ayat 1 KUHP
berlaku bagi seorang suami yang tidak tunduk pada pasal 27 BW. Meskipun
demikian, hal itu tidaklah berarti bahwa untuk diindahkannya pengaduan dari
suami yang dipermalukan harus terlebih dahulu ada perceraian antara dia dan
isterinya yang berzinah;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 587 K / PID / 1982 Tanggal 28
Juli 1983, KAIDAH HUKUM: Dalam hal putusan pidana mengandung pembebasan
terhadap perbuatan yang didakwakan, menurut yurisprudensi, jaksa seharusnya
mengemukakan dalam memori bahwa pembebasan tersebut sebenarnya adalah lepas
dari tuntutan hukum dengan alasan – alasan hukumnya. Tetapi dalam perkara ini
jaksa begitu saja mengatakan bahwa amar putusan Pengadilan Tinggi seharusnya
adalah lepas dari tuntutan hukum, tanpa memberi alasan hukum; oleh karena itu,
permohonan kasasi yang diajukan Jaksa harus dinyatakan tidak dapat diterima;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 39 K / PID / 1984 Tanggal 13
September 1984, KAIDAH HUKUM: Hubungan hukum yang terjadi antara
Terdakwa dan saksi merupakan hubungan perdata dalam bentuk perjanjian jual –
beli dengan syarat pembayaran dalam tempo 1 (satu) bulan, dan tidak dapat
ditafsirkan sebagai tindak pidana penipuan (eks Pasal 378 KUHP);
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 531 K / PID / 1984 Tanggal 09
Mei 1985, KAIDAH HUKUM: Perbuatan Terdakwa terbukti tetapi bukan
merupakan tindak pidana melainkan suatu kasus perdata;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 39 K / PID / 1984 Tanggal 13
September 1984, KAIDAH HUKUM: Tidak terbukti adanya unsur “dengan maksud
untuk memiliki dengan melawan hukum” dalam perbuatan pencurian yang didakwakan
kepada Terdakwa; demikian pula, tidak terbukti adanya unsur “melawan hukum”
dalam perbuatan tidak menyenangkan yang didakwakan kepada Terdakwa. Oleh karena
itu, Terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan - dakwaan;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 606 K / PID / 1984 Tanggal 30
Maret 1985, KAIDAH HUKUM: Judex Factie salah menerapkan hukum karena
dakwaan yang didakwakan kepada Terdakwa bersifat kumulatif. Isi dakwaan
ternyata, bersifat alternatif, meskipun yang tertulis Kesatu dan Kedua, karena
kejahatan yang didakwakan adalah sama. Karena dakwaan primer sudah dinyatakan
terbukti, maka dakwaan subsider tidak perlu dipertimbangkan lagi;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 618 K / PID / 1984 Tanggal 17
April 1985, KAIDAH HUKUM: Penjualan barang – barang jaminan milik saksi
oleh Terdakwa tanpa izin saksi tersebut merupakan penggelapan;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 628 K / PID / 1984 Tanggal 22
Juli 1985, KAIDAH HUKUM: Pengadilan Tinggi, sebelum memutus pokok
perkara, seharusnya menunggu dulu sampai putusan Pengadilan yang akan
menentukan status pemilikan tanah dan rumah tersebut mempunyai kekuatan pasti;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 731 K / PID / 1984 Tanggal 27
Mei 1985, KAIDAH HUKUM: Perkara ini seharusnya diperiksa dengan acara
singkat karena Terdakwa dituntut berdasarkan dakwaan pasal 310 (1) KUHP);
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 808 K / PID / 1984 Tanggal 09
Mei 1985, KAIDAH HUKUM: Dakwaan yang tidak cermat, tidak jelas dan tidak
lengkap harus dinyatakan batal demi hukum;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 818 K / PID / 1984 Tanggal 30
Mei 1985, KAIDAH HUKUM: Tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa
adalah pelanggaran pasal 310 KUHP, tetapi perbuatan yang terbukti dilakukan
Terdakwa adalah p;asal 315 KUHP. Kendati demikian, mengingat bahwa tindak
pidana menurut pasal 315 KUHP tersebut adalah tindak pidana yang sejenis – cuma
lebih ringan ancaman hukumannya – Terdakwa dapat dipersalahkan dan dihukum
melanggar padsal 315 KUHP, sehingga kualifikasi putusan Pengadilan Tinggi dan
Pengadilan Negeri perlu diperbaiki;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 325 K / PID / 1985 Tanggal 27
Oktober 1986, KAIDAH HUKUM: Dakwaan yang hanya menyebutkan bahwa
Terdakwa telah menjual sawah dengan harga Rp. 1.500.000,- yang ternyata tanah
tersebut tidak ada, bukan merupakan delik penipuan ex pasal 378 KUHP ataupun
tindak pidana lainnya, melainkan masalah perdata biasa, sehingga meskipun hal
itu terbukti dilakukan oleh Terdakwa, ia harus dilepas dari segala tuntutan
hukum dan hak Terdakwa harus dipulihkan dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat
serta martabatnya;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 464 K / PID / 1985 Tanggal 13
September 1985, KAIDAH HUKUM: Menurut yurisprudensi tetap, terhadap
putusan praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 1130 K / PID / 1985 Tanggal 18
Desember 1987, KAIDAH HUKUM: Apabila Terdakwa tidak mengetahui / menduga
/ menyangka barang – barang tersebut berasal dari kejahatan, karena itu adalah
salah satu unsur dari pasal 480 KUHP tidak dapat dibuktikan, maka Terdakwa harus
dibebaskan dari dakwaan dan bukan dilepas dari tuntutan hukum;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 1205 K / PID / 1985 Tanggal 23
Juni 1987, KAIDAH HUKUM: Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana
termaksud dalam pasal 310 (2) KUHP, karena kata – kata yang Terdakwa tulis
dalam surat kontramemori banding ditujukan kepada Pengadilan Tinggi Agama,
tanpa maksud diketahui oleh umum;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 1295 K / PID / 1985 Tanggal 02
Januari 1986, KAIDAH HUKUM: Mahkamah Agung tidak menyetujui pertimbangan
judex factie bahwa unsur niat / kesengajaan untuk menghilangkan nyawa orang
lain harus terbukti dengan beberapa tusukan, karena bagi seorang yang ahli,
satu tusukan yang tepat sudah mematikan. Bahwa korban tidak meninggal seketika,
itu tidak berarti bahwa Terdakwa tidak punya niat / kesengajaan untuk
menghilangkan nyawa orang lain. Kesengajaan untuk menghilangkan nyawa orang
lain dapat dibuktikan dengan alat yang dipergunakan untuk melakukan tindak
pidana tersebut dan tempat yang dilukai alat itu pada badan korban. Dalam
perkara ini, alatnya adalah pisau dapur, yang umum diketahui sebagai alat yang
dapat menimbulkan kematian. Sedangkan tempat pada badan korban adalah dada
sebelah kiri sehingga tusukan dengan pisau dapur tersebut menimbulkan saluran
luka. Dengan demikian, Terdakwa telah terbukti dengan sah dan meyakinkan
melakukan pembunuhan;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 693 K / PID / 1986 Tanggal 12
Juli 1986, KAIDAH HUKUM: Dalam dakwaan pencurian dengan pemberatan
(gekwalificeerde diefstal), dengan sendirinya pencurian – pencurian yang lebih
ringan termasuk di dalamnya, i.c. Pasal 363 (1) ke – 4 KUHP;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 1690 K / PID / 1987 Tanggal 16
Desember 1987, KAIDAH HUKUM: Putusan Pengadilan Tinggi yang menyatakan
bahwa Pengadilan Tinggi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan
terhadap Terdakwa harus dibatalkan karena berdasarkan pasal 27 KUHAP,
Pengadilan Tinggi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling
lama 30 (tiga puluh) hari ;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 169 K / PID / 1988 Tanggal 17
Maret 1988, KAIDAH HUKUM: Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum sebab
tidak mencantumkan dengan lengkap dalam amar putusannya identitas Terdakwa dan
status tahanan Terdakwa sebagaimana dimaksud pada pasal 197 ayat 1 sub B dan
sub K KUHAP. Oleh karena itu, sesuai dengan pasal 197 (2) KUHAP, putusan
Pengadilan Tinggi tersebut harus dinyatakan batal demi hukum;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 736 K / PID / 1988 Tanggal 25
Oktober 1990, KAIDAH HUKUM: Dalam amar putusan cukup disebutkan bahwa
Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan
mempunyai, menaruh, memamer-kan, memakai, dan menyediakan untuk dipakai alat
ukur, takaran, timbangan atau alat perlengkapan yang tidak bertanda tera sah
yang berlaku atau setidak – tidaknya disertai dengan keterangan pengesahan yang
berlaku. Adapun pasal – pasal dari UU yang dilanggar tidak perlu dicantumkan
dalam amar putusan ;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 1804 K / PID / 1984 Tanggal 12
Februari 1992, KAIDAH HUKUM: Dalam ilmu hukum pidana, “menyuruh
melakukan” mengandung arti bahwa si pelaku langsung tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana. Tetapi dalam perkara ini keadaannya tidak
demikian; dengan melihat bukti – bukti perbuatan Terdakwa, jelas bahwa apa yang
dilakukan oleh Terdakwa adalah suatu perbuatan yang langsung dilakukan oleh
Terdakwa. Jadi, Terdakwa adalah pelaku langsung, bukan menyuruh lakukan seperti
pendapat judex factie ;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 1953 K / PID / 1988 Tanggal 23
Januari 1993, KAIDAH HUKUM: Berat ringannya pidana adalah wewenang judex
factie yangb tidak tunduk pada kasasi, kecuali apabila judex factie menjatuhkan
pidana melampaui batas maksimum yang ditentukan UU atau pidana yang dijatuhkan
tanpa pertimbangan yang cukup;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 1036 K / PID / 1989 Tanggal 31
Agustus 1992, KAIDAH HUKUM: Karena sejak semula Terdakwa telah dengan
sadar mengetahui bahwa cek – cek yang diberikan kepada saksi korban tidak ada
dananya atau dikenal sebagai cek kosong, tuduhan penipuan harus dianggap
terbukti;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 1828 K / PID / 1989 Tanggal 5
Juli 1990, KAIDAH HUKUM: Permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa
Agung karena jabatan demi kepentingan hukum tidak terikat pada tenggang waktu.
Putusan kasasi terhadap permohonan kasasi oleh Jaksa Agung karena jabatan demi
kepentingan hukum tidak mempunyai akibat hukum. Penyitaan terhadap sebuah kapal
menurut pasal 77 KUHAP bukan objek praperadilan; larangan bagi kapal untuk
meninggalkan pelabuhan bukanlah penahanan yang dimaksud dalam pasal 20 dan 21
KUHAP; pemilik kapal yang dilarang meninggalkan pelabuhan bukan subjek yang
berhak menuntut ganti rugi berdasarkan pasal 95 KUHAP;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 531 K / PID / 1984 Tanggal 09
Mei 1985 , KAIDAH HUKUM: Perbuatan Terdakwa terbukti tetapi bukan
merupakan tindak pidan;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 39 K / PID / 1984 Tanggal 13
September 1984, KAIDAH HUKUM: Hubungan hukum yang terjadi antara
Terdakwa dan saksi merupakan hubungan perdata dalam bentuk perjanjian jual – beli
dengan syarat pembayaran dalam tempo 1 (satu) bulan, dan tidak dapat
ditafsirkan sebagai tindak pidana penipuan (eks Pasal 378 KUHP);
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 401 K / PID / 1983 Tanggal 19
April 1984, KAIDAH HUKUM: Sesuai dengan pasal 83 ayat (1) KUHAP,
terhadap putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding; kecuali terhadap
putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan, dapat dimintakan putusan akhir pada Pengadilan Tinggi. Dengan pertimbangan
itu, terhadap putusan – putusan praperadilan tidak dimungkinkan permintaan
pemeriksaan kasasi, karena keharusan cepat dari perkara – perkara praperadilan
tidak akan terpenuhi kalau masih dimungkinkan pemeriksaan kasasi ;
- Putusan MAHKAMAKAH AGUNG RI Nomor Register: 587 K / PID / 1982 Tanggal 28
Juli 1983, KAIDAH HUKUM: Dalam hal putusan pidana mengandung pembebasan
terhadap perbuatan yang didakwakan, menurut yurisprudensi, jaksa seharusnya
mengemukakan dalam memori bahwa pembebasan tersebut sebenarnya adalah lepas
dari tuntutan hukum dengan alasan – alasan hukumnya. Tetapi dalam perkara ini
jaksa begitu saja mengatakan bahwa amar putusan Pengadilan Tinggi seharusnya
adalah lepas dari tuntutan hukum, tanpa memberikan alasan hukum; oleh karena itu,
permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa harus dinyatakan tidak dapat
diterima ;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 840
K/Sip/1975 Tanggal 4 Juli 1978,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Surat gugatan bukan merupakan akta dibawah
tangan, maka surat gugatan tidak terikat pada ketentuan – ketentuan Pasal 286
(2) RBg jo. Stb. 1916 – 46 jo. Stb. 1919 – 776”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 769
K/Sip/1975 Tanggal 24 Agustus 1978,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan bercap jempol yang tidak dilegalisir,
berdasarkan Yurisprudensi bukanlah batal menurut hukum, tetapi selalu
dikembalikan untuk dilegalisasi kemudian”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1149
K/Sip/1975 Tanggal 17 April 1979,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena surat gugatan tidak disebutkan dengan
jelas letak/batas – batas tanah sengketa, gugatan tidak dapat diterima”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 415
K/Sip/1975 Tanggal 27 Juni 1979,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan yang ditujukan lebih dari seorang
Tergugat, yang antara Tergugat – Tergugat itu tidak ada hubungan hukumnya,
tidak dapat diadakan dalam satu gugatan, tetapi masing – masing Tergugat harus
digugat sendiri – sendiri”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
1075 K/Sip/1980,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum,
karena petitum bertentangan dengan posita gugatan, gugatan tidak dapat
diterima”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
663 K/Sip/1973 Tanggal 6 Agustus 1973,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Petitum yang tidak mengenai hal yang menjadi
obyek dalam perkara harus ditolak”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 28 K/Sip/1973 Tanggal 5 Nopember 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena
rechtfeiten yang diajukan bertentangan dengan petitum, gugatan harus ditolak”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 582 K/Sip/1973 Tanggal 18 Desember 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena
petitum gugatan adalah tidak jelas, gugatan harus dinyatakan tidak dapat
diterima”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 492 K/Sip/1970 Tanggal 21 Nopember 1970, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan
yang tidak sempurna, karena tidak menyebutkan dengan jelas apa – apa yang
dituntut, harus dinyatakan tidak dapat diterima”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 1391 K/Sip/1975 Tanggal 26 April 1979, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena
dari gugatan Penggugat tidak jelas batas – batas dusun sengketa yang digugat,
hanya disebutkan (bertanda II) saja, gugatan tidak dapat diterima”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 439 K/Sip/1968 Tanggal 8 Januari 1969, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Tentang
tuntutan pengembalian barang/harta warisan dari tangan pihak ketiga kepada para
ahli waris yang berhak, tidak perlu diajukan semua ahli waris”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 6 K/Sip/1973 Tanggal 21 Agustus 1973, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan
harus dinyatakan tidak dapat diterima karena dasar gugatan tidak sempurna,
dalam hal in karena hak Penggugat atas tanah sengketa tidak jelas”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
995 K/Sip/1975,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Bahwa terbanding semula Penggugat sebagai seorang
debitor hanya sekedar mempunyai kewajiban – kewajiban, ialah untuk melunasi
hutangnya dan tidak mempunyai hak terhadap kreditornya, sedangkan bagi
pengajuan gugatan haruslah ada sesuatu hak yang dilanggar oleh orang lain,
untuk dapat menarik yang bersangkutan sebagai Tergugat dalam suatu proses
peradilan”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
1360 K/Sip/1973 Tanggal 17 Juni 1976,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Pengadilan Tinggi telah terlalu formal dengan
menyatakan gugatan tidak dapat diterima, hanya karena Penggugat minta supaya
tanah terperkara disahkan menjadi hak miliknya, sedangkan Penggugat mendasarkan
gugatannya pada Hak Guna Usaha (HGU); Karena walaupun petitum menyebut milik,
tetapi yang dimaksud adalah tanah dalam Hak Guna Usaha”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
4 K/Sip/1958 Tanggal 13 Desember 1958,
Kaidah Hukumnya: “Syarat mutlak untuk menuntut seseorang di depan Pengadilan
adalah adanya perselisihan hukum antara kedua pihak”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
175 K/Sip/1974 Tanggal 17 Juni 1976,
Kaidah Hukumnya: “Bahwa Hakim pertama telah menjadikan isteri kedua dari
Tergugat sebagai pihak ke III dalam perkara ini, dengan tiada lawan. Bahwa
lebih tepat kepadanya diberi kedudukan dalam perkara sebagai Tergugat II
disamping suaminya sebagai Tergugat I, mengingat ia masih tinggal bersama dan
bersama – sama pula menguasai barang – barang cidra”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
457 K/Sip/1975 Tanggal 18 November 1975, Kaidah Hukumnya: “Tidak dapat dibenarkan apabila
Pengadilan Tinggi memerintahkan Pengadilan Negeri untuk menarik pihak ketiga
sebagai Turut Tergugat (yang dalam gugatan asal dijadikan pihak dalam perkar”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
305 K/Sip/1971 Tanggal 16 Juni 1971,
Kaidah Hukumnya: “Pengadilan Tinggi tidak berwenang untuk karena jabatannya
menempatkan seseorang yang tidak digugat sebagai Tergugat, karena hal tersebut
adalah bertentangan dengan azas acara perdata, bahwa hanya penggugatlah yang
berwenang untuk menentukan siapa – siapa yang digugatnya”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 1411 K/Sip/1978 Tanggal 13 Maret 1979, Kaidah Hukumnya berbunyi:
“Pengikutsertaan pihak ketiga dalam suatu proses perdata yang sedang berjalan,
ditentukan oleh ada tidaknya permintaan untuk itu dari para pihak atau pihak
ketiga diluar perkara yang merasa berkepentingan”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 880 K/Sip/1973 Tanggal 6 Mei 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Bahwa
oleh Hakim pertama, ketiga buah gugatan tersebut digabungkan menjadi satu
perkara dan diputuskan dalam satu putusan tertanggal 24 Januari 1969 No.
10/1968/MKl. Bahwa ketiga gugatan itu ada hubungan satu dengan lainnya,
sehingga meskipun menggabungkan gugatan – gugatan itu tidak diatur dalam
RBg (juga HIR) akan tetapi karena penggabungan itu akan memudahkan proses dan
menghindarkan kemungkinan putusan – putusan yang saling bertentangan, maka
penggabungan itu memang bermanfaat ditinjau dari segi acara (procesueel
doelmatig)”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 1043 K/Sip/1971 Tanggal 3 Desember 1974, Kaidah Hukumnya berbunyi: “HIR tidak
mengatur hal penggabungan gugatan, maka terserah pada pandangan hakim dalam hal
mana penggabungan itu diizinkan asal tidak bertentangan dengan prinsip cepat
dan murah”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 677
K/Sip/1972 Tanggal 13 Desember 1972,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Dalam perkara yang berhubungan erat satu dengan
lainnya tetapi masing – masing tunduk pada hukum acara yang berbeda tidak boleh
digabungkan, seperti halnya dalam perkara ini. Perkara yang satu adalah suatu
gugatan (permohonan) berdasarkan Undang – Undang No. 21 Tahun 1961, yang
perkara demikian ini; terikat pada suatu jangka waktu 9 bulan; terhadap putusan
tidak dapat diajukan banding; putusan baru dapat didaftarkan kepada Kantor
Milik Perindustrian setelah putusan memperoleh kekuatan hukum pasti, sehingga
tidak lebih dahulu (uitvoerbaar bij voorrad). Perkara yang lainnya adalah
gugatan berdasarkan Pasal 1365 BW, yang terhadap putusannya dapat diajukan
banding; lagipula gugatan ini sebenarnya baru dapat diajukan setelah terhadap
gugatan tentang merk diperoleh putusan yang memperoleh kekuatan hukum pasti”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 201
K/Sip/1974 Tanggal 28 Agustus 1976,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena sawah – sawah tersebut pemiliknya
berlainan, seharusnya masing – masing pemilik itu secara sendiri – sendiri
menggugat masing – masing orang yang merugikan hak mereka dan kini memegang
sawah – sawah itu; cumulatie gugatan – gugatan yang tidak ada hubungannya satu
sama lain seperti yang dilakukan sekarang ini, tidak dapat dibenarkan”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 677
K/Sip/1972 Tanggal 13 Desember 1972,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Menurut yurisprudensi dimungkinkan penggabungan
gugatan – gugatan dari satu pihak dalam hal antara gugatan – gugatan itu
terdapat hubungan yang erat, tetapi adalah tidak layak penggabungan dua perkara
dalam bentuk, perkara yang satu (i.C. perkara No. 53/1972 G) dijadikan gugatan
rekonpensi terhadap perkara yang lain (i.c. perkara No. 521/1971 G)”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
123 K/Sip/1963 Tanggal 13 Juli 1963, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Dengan
digabungkannya 3 perkara menjadi satu, surat – surat kuasa yang oleh salah satu
pihak diberikan kepada seorang kuasa yang ada pada ke 3 perkara tersebut
seharusnya juga dipertimbangkan sebagai satu kesatuan; sehingga
ketidaksempurnaan yang terdapat pada salah satu dari surat – surat kuasa itu
haruslah dianggap telah diperbaiki oleh surat kuasa yang lain”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
343 K/Sip/1975 Tanggal 17 Februari 1977, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena
antara Tergugat – Tergugat I s/d IX tidak ada hubungannya satu dengan lainnya,
tidaklah tepat mereka digugat sekaligus dalam satu surat gugatan; seharusnya
mereka digugat satu per satu secara terpisah. Gugatan Penggugat harus
dinyatakan tidak dapat diterima”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
1652 K/Sip/1975 Tanggal 22 September 1976, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Kumulasi
dari beberapa gugatan yang berhubungan erat satu dengan lainnya tidak
bertentangan dengan hukum acara yang berlaku”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
415 K/Sip/1975 Tanggal 20 Juni 1979, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan yang ditujukan
kepada lebih dari seorang Tergugat, yang antara Tergugat – Tergugat itu
tidak ada hubungan hukumnya, tidak dapat diadakan didalam satu gugatan, tetapi
masing – masing Tergugat harus digugat tersendiri”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
1367 K/Pdt/1986 Tanggal 25 Juli 1987, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Penggabungan gugatan
terhadap dua subyek hukum yang berbeda (Tergugat asal I dan Tergugat asal II)
dengan dua peristiwa hukum yang berlainan (perjanjian utang – piutang dan
perjanjian jual – beli mobil), sekalipun akibat hukum yang ditimbulkan akan
berupa wanprestasi, namun kewajiban yang ditimbulkan dari keadaan wanprestasi
tersebut adalah berbeda satu sama lain yang menurut hukum acara tidak dapat
digabungkan dalam satu gugatan (tuntutan)”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 840
K/Sip/1975 Tanggal 4 Juli 1978,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Surat gugatan bukan merupakan akta dibawah
tangan, maka surat gugatan tidak terikat pada ketentuan – ketentuan Pasal 286
(2) RBg jo. Stb. 1916 – 46 jo. Stb. 1919 – 776”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 769
K/Sip/1975 Tanggal 24 Agustus 1978,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan bercap jempol yang tidak dilegalisir,
berdasarkan Yurisprudensi bukanlah batal menurut hukum, tetapi selalu
dikembalikan untuk dilegalisasi kemudian”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1149
K/Sip/1975 Tanggal 17 April 1979,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena surat gugatan tidak disebutkan dengan
jelas letak/batas – batas tanah sengketa, gugatan tidak dapat diterima”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 415
K/Sip/1975 Tanggal 27 Juni 1979,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan yang ditujukan lebih dari seorang
Tergugat, yang antara Tergugat – Tergugat itu tidak ada hubungan hukumnya,
tidak dapat diadakan dalam satu gugatan, tetapi masing – masing Tergugat harus
digugat sendiri – sendiri”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
1075 K/Sip/1980,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum,
karena petitum bertentangan dengan posita gugatan, gugatan tidak dapat
diterima”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
663 K/Sip/1973 Tanggal 6 Agustus 1973,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Petitum yang tidak mengenai hal yang menjadi
obyek dalam perkara harus ditolak”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 28 K/Sip/1973 Tanggal 5 Nopember 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena
rechtfeiten yang diajukan bertentangan dengan petitum, gugatan harus ditolak”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 582 K/Sip/1973 Tanggal 18 Desember 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena
petitum gugatan adalah tidak jelas, gugatan harus dinyatakan tidak dapat
diterima”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 492 K/Sip/1970 Tanggal 21 Nopember 1970, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan
yang tidak sempurna, karena tidak menyebutkan dengan jelas apa – apa yang
dituntut, harus dinyatakan tidak dapat diterima”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 1391 K/Sip/1975 Tanggal 26 April 1979, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena
dari gugatan Penggugat tidak jelas batas – batas dusun sengketa yang digugat,
hanya disebutkan (bertanda II) saja, gugatan tidak dapat diterima”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 439 K/Sip/1968 Tanggal 8 Januari 1969, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Tentang
tuntutan pengembalian barang/harta warisan dari tangan pihak ketiga kepada para
ahli waris yang berhak, tidak perlu diajukan semua ahli waris”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 6 K/Sip/1973 Tanggal 21 Agustus 1973, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan
harus dinyatakan tidak dapat diterima karena dasar gugatan tidak sempurna,
dalam hal in karena hak Penggugat atas tanah sengketa tidak jelas”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
995 K/Sip/1975,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Bahwa terbanding semula Penggugat sebagai seorang
debitor hanya sekedar mempunyai kewajiban – kewajiban, ialah untuk melunasi
hutangnya dan tidak mempunyai hak terhadap kreditornya, sedangkan bagi
pengajuan gugatan haruslah ada sesuatu hak yang dilanggar oleh orang lain,
untuk dapat menarik yang bersangkutan sebagai Tergugat dalam suatu proses
peradilan”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
1360 K/Sip/1973 Tanggal 17 Juni 1976,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Pengadilan Tinggi telah terlalu formal dengan
menyatakan gugatan tidak dapat diterima, hanya karena Penggugat minta supaya
tanah terperkara disahkan menjadi hak miliknya, sedangkan Penggugat mendasarkan
gugatannya pada Hak Guna Usaha (HGU); Karena walaupun petitum menyebut milik,
tetapi yang dimaksud adalah tanah dalam Hak Guna Usaha”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
4 K/Sip/1958 Tanggal 13 Desember 1958,
Kaidah Hukumnya: “Syarat mutlak untuk menuntut seseorang di depan Pengadilan
adalah adanya perselisihan hukum antara kedua pihak”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
175 K/Sip/1974 Tanggal 17 Juni 1976,
Kaidah Hukumnya: “Bahwa Hakim pertama telah menjadikan isteri kedua dari
Tergugat sebagai pihak ke III dalam perkara ini, dengan tiada lawan. Bahwa
lebih tepat kepadanya diberi kedudukan dalam perkara sebagai Tergugat II
disamping suaminya sebagai Tergugat I, mengingat ia masih tinggal bersama dan
bersama – sama pula menguasai barang – barang cidra”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
457 K/Sip/1975 Tanggal 18 November 1975, Kaidah Hukumnya: “Tidak dapat dibenarkan apabila
Pengadilan Tinggi memerintahkan Pengadilan Negeri untuk menarik pihak ketiga
sebagai Turut Tergugat (yang dalam gugatan asal dijadikan pihak dalam perkar”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
305 K/Sip/1971 Tanggal 16 Juni 1971,
Kaidah Hukumnya: “Pengadilan Tinggi tidak berwenang untuk karena jabatannya
menempatkan seseorang yang tidak digugat sebagai Tergugat, karena hal tersebut
adalah bertentangan dengan azas acara perdata, bahwa hanya penggugatlah yang
berwenang untuk menentukan siapa – siapa yang digugatnya”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
1411 K/Sip/1978 Tanggal 13 Maret 1979, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Pengikutsertaan pihak
ketiga dalam suatu proses perdata yang sedang berjalan, ditentukan oleh ada
tidaknya permintaan untuk itu dari para pihak atau pihak ketiga diluar perkara
yang merasa berkepentingan”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
880 K/Sip/1973 Tanggal 6 Mei 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Bahwa oleh Hakim pertama,
ketiga buah gugatan tersebut digabungkan menjadi satu perkara dan diputuskan
dalam satu putusan tertanggal 24 Januari 1969 No. 10/1968/MKl. Bahwa
ketiga gugatan itu ada hubungan satu dengan lainnya, sehingga meskipun
menggabungkan gugatan – gugatan itu tidak diatur dalam RBg (juga HIR)
akan tetapi karena penggabungan itu akan memudahkan proses dan menghindarkan
kemungkinan putusan – putusan yang saling bertentangan, maka penggabungan itu
memang bermanfaat ditinjau dari segi acara (procesueel doelmatig)”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
1043 K/Sip/1971 Tanggal 3 Desember 1974, Kaidah Hukumnya berbunyi: “HIR tidak mengatur hal
penggabungan gugatan, maka terserah pada pandangan hakim dalam hal mana
penggabungan itu diizinkan asal tidak bertentangan dengan prinsip cepat dan
murah”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 840
K/Sip/1975 Tanggal 4 Juli 1978,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Surat gugatan bukan merupakan akta dibawah
tangan, maka surat gugatan tidak terikat pada ketentuan – ketentuan Pasal 286
(2) RBg jo. Stb. 1916 – 46 jo. Stb. 1919 – 776”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 769
K/Sip/1975 Tanggal 24 Agustus 1978,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan bercap jempol yang tidak dilegalisir,
berdasarkan Yurisprudensi bukanlah batal menurut hukum, tetapi selalu
dikembalikan untuk dilegalisasi kemudian”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1149
K/Sip/1975 Tanggal 17 April 1979,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena surat gugatan tidak disebutkan dengan
jelas letak/batas – batas tanah sengketa, gugatan tidak dapat diterima”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 415
K/Sip/1975 Tanggal 27 Juni 1979,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan yang ditujukan lebih dari seorang
Tergugat, yang antara Tergugat – Tergugat itu tidak ada hubungan hukumnya,
tidak dapat diadakan dalam satu gugatan, tetapi masing – masing Tergugat harus
digugat sendiri – sendiri”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
1075 K/Sip/1980,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum,
karena petitum bertentangan dengan posita gugatan, gugatan tidak dapat
diterima”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
663 K/Sip/1973 Tanggal 6 Agustus 1973,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Petitum yang tidak mengenai hal yang menjadi
obyek dalam perkara harus ditolak”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 28 K/Sip/1973 Tanggal 5 Nopember 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena
rechtfeiten yang diajukan bertentangan dengan petitum, gugatan harus ditolak”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 582 K/Sip/1973 Tanggal 18 Desember 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena
petitum gugatan adalah tidak jelas, gugatan harus dinyatakan tidak dapat
diterima”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 492 K/Sip/1970 Tanggal 21 Nopember 1970, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan
yang tidak sempurna, karena tidak menyebutkan dengan jelas apa – apa yang
dituntut, harus dinyatakan tidak dapat diterima”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 1391 K/Sip/1975 Tanggal 26 April 1979, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena
dari gugatan Penggugat tidak jelas batas – batas dusun sengketa yang digugat,
hanya disebutkan (bertanda II) saja, gugatan tidak dapat diterima”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 439 K/Sip/1968 Tanggal 8 Januari 1969, Kaidah Hukumnya berbunyi:
“Tentang tuntutan pengembalian barang/harta warisan dari tangan pihak ketiga
kepada para ahli waris yang berhak, tidak perlu diajukan semua ahli waris”;
Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 6 K/Sip/1973 Tanggal 21 Agustus 1973, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan
harus dinyatakan tidak dapat diterima karena dasar gugatan tidak sempurna,
dalam hal in karena hak Penggugat atas tanah sengketa tidak jelas”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
995 K/Sip/1975,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Bahwa terbanding semula Penggugat sebagai seorang
debitor hanya sekedar mempunyai kewajiban – kewajiban, ialah untuk melunasi
hutangnya dan tidak mempunyai hak terhadap kreditornya, sedangkan bagi pengajuan
gugatan haruslah ada sesuatu hak yang dilanggar oleh orang lain, untuk dapat
menarik yang bersangkutan sebagai Tergugat dalam suatu proses peradilan”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
1360 K/Sip/1973 Tanggal 17 Juni 1976,
Kaidah Hukumnya berbunyi: “Pengadilan Tinggi telah terlalu formal dengan
menyatakan gugatan tidak dapat diterima, hanya karena Penggugat minta supaya
tanah terperkara disahkan menjadi hak miliknya, sedangkan Penggugat mendasarkan
gugatannya pada Hak Guna Usaha (HGU); Karena walaupun petitum menyebut milik,
tetapi yang dimaksud adalah tanah dalam Hak Guna Usaha”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
4 K/Sip/1958 Tanggal 13 Desember 1958,
Kaidah Hukumnya: “Syarat mutlak untuk menuntut seseorang di depan Pengadilan
adalah adanya perselisihan hukum antara kedua pihak”;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
279 K/Sip/1957 Tanggal 11 Juni 1958, Kaidah Hukumnya: “Tergugat asli
yang karena merasa berhak atas sawah terperkara yang ada pada Penggugat asli,
dengan bertindak sendiri merampas sawah tersebut dari Penggugat asli,
tindakannya tidak dapat dibenarkan dan sawah harus dikembalikan kepada
Penggugat asli untuk memulihkan keadaan semula. Dengan senantiasa terbuka
kemungkinan bagi Tergugat asli untuk mengajukan gugat terhadap Penggugat asli
untuk ditentukan siapa yang berhak atas sawah itu";
Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia No. 726 K/Sip/1976
Tanggal 15 Pebruari 1977, Kaidah Hukumnya berbunyi: "Karena perkawinan dilangsungkan
sebelum Undang - Undang No.1 Tahun 1974 berlaku secara efektif, maka berlaku
ketentuan - ketentuan hukum sebelumnya, yang dalam hal ini adalah ketentuan -
ketentuan perkawinan menurut BW sekalipun yang bersangkutan beragama
Islam";
Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia No. 1650 K/Sip/1974
Tanggal 13 Nopember 1974, Kaidah Hukumnya
berbunyi:"Menurut hukum, peralihan
agama tidak menyebabkan batalnya/gugurnya perkawinan (Pasal 72 HOCI).
Berdasarkan Pasal 66 UU No.1/1974 jo. Pasal 47 PP No. 9/1975, Pasal 72 HOCI
tersebut masih berlaku, karena hal ini belum diatur dalam Undang - Undang
Perkawinan yang baru dan Peraturan Pemerintahnya";
Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia No. 435 K/Kr/1979
Tanggal 17 April 1980, Kaidah Hukumnya
berbunyi:"Keberatan penuntut
kasasi:"bahwa Pasal 279 KUHP adalah merupakan pasal yang berlaku bagi
perkawinan monogami, sedang penuntut kasasi tidak terikat dengan perkawinan
monogami". Tidak dapat diterima, karena penuntut kasasi I yang masih
terikat tali perkawinan dengan Rubaidah, tidak dapat kawin lagi sebagaimana
diatur dalam Pasal 9 Undang - Undang Perkawinan, kecuali memenuhi pelbagai
persyaratan yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Pasal 4, dan 5 undang - undang
ini";
Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia No. 561 K/Pid./1982
Tanggal 2 Juli 1982, Kaidah
Hukumnya berbunyi:"Meskipun menurut yurisprudensi Pasal 284 ayat (1) KUHP berlaku
bagi seorang suami yang tidak tunduk pada Pasal 27 BW, hal ini tidaklah berarti
bahwa untuk diindahkannya pengaduan dari
suami yang dipermalukan haruslah terlebih dahulu ada perceraian antara dia dan
isterinya yang berzina itu";
Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Reg. No. 1400
K/Pdt/1986 Tanggal 20
Januari 1989, Kaidah Hukumnya berbunyi:
" - Pasal 63
(1)a UU No.1/1974 menyatakan bahwa apabila diperlukan campur tangan Pengadilan,
maka hal ini merupakan wewenang Pengadilan Agama, namun Pengadilan Agama
menolak melaksanakan perkawinan dengan alasan perbedaan agama, akan tetapi
alasan tersebut tidak merupakan larangan untuk melangsungkan perkawinan
sebagaimana dimaksud Pasal 8 UU No. 1/1974;
- Dengan tidak
diaturnya perkawinan antar agama di dalam UU No.1/1974 dan di segi lain
merupakan UU produk kolonial yang mengatur hal tersebut, akan tetapi UU ini
tidak mungkin dapat dipakai karena perbedaan prinsip dan falsafah";
Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia No. 1448
K/Sip/1974 Tanggal 9
Nopember 1974, Kaidah Hukumnya
berbunyi:"Sejak berlakunya Undang -
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, hanya benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama, sehingga pada saat terjadinya perceraian
harta bersama tersebut harus dibagi sama rata antara bekas suami isteri";
Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia No. 1476 K/Sip/1982 Tanggal
19 Juli 1982, Kaidah Hukumnya
berbunyi: "Menurut hukum adat,
meskipun seorang isteri nusyus (ingkar, atau lari dari suami) tidaklah hilang
haknya untuk mendapatkan bagiannya dari barang - barang gono - gini (harta
seharkat) yang diperolehnya semasa perkawinan";
Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia No. 392
K/Sip/1969 Tanggal 30
Agustus 1969, Kaidah Hukumnya berbunyi:"Pembagian harta guna kaya antara
bekas suami isteri masing - masing 50%. Pemeliharaan anak - anaknya yang belum
dewasa diserahkan kepada si ibu. Biaya penghidupan, pendidikan dan pemeliharaan
anak - anak tersebut dibebankan kepada ayah dan ibu, masing - masing 50%";
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Reg. No. 3180 K/Pdt/1985 Tanggal 28 Januari 1987, Kaidah Hukumnya berbunyi:"Pengertian cekcok yang terus - menerus yang tidak dapat didamaikan (onheelbare tweespalt) bukanlah ditekankan kepada penyebab cekcok yang harus dibuktikan, akan tetapi melihat dari kenyataannya adalah benar terbukti adanya cekcok yang terus - menerus sehingga tidak dapat didamaikan lagi";
Dipublikasikan oleh:
Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.