TEORI PERUNDANG - UNDANGAN DAN YURISPRUDENSI
DALAM PRAKTEK PENEGAKKAN HUKUM
Pada prinsipnya, undang – undang
dalam arti materil dapat dibagi 2 (dua), yaitu:
- Peraturan Pusat (Algemene
Verordening), ialah peraturan tertulis yang dibuat oleh
Pemerintah Pusat, yang berlaku umum diseluruh atau sebagian wilayah
negara, misalnya; Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang – Undang
Kepolisian, Undang – Undang Ketenagakerjaan, Undang – Undang Partai
Politik, Undang – Undang Imigrasi dan sebagainya;
- Peraturan Setempat (Locale
Verordening), ialah peraturan tertulis yang dibuat oleh
penguasa atau Pemerintah Daerah (setempat) dan hanya berlaku di daerah
atau tempat itu saja, misalnya Peraturan Daerah (PERDA), Keputusan
Gubernur Kepala Daerah, Peraturan Gubernur (PERGUB) dan sebagainya.
Dalam praktek penyelenggaraan Tata
Kelola Pemerintahan yang Baik, termasuk penyelenggaraan penegakkan hukum dalam
level semua kelembagaan negara (Legeslatif,
Eksekutif dan Yudikatif), maka dikenal adanya asas – asas
perundang – undangan, sebagai berikut:
- Undang – Undang tidak berlaku surut;
- Undang – undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih
tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;
- Undang – Undang yang bersifat khusus mengenyampingkan
undang – undang yang bersifat khusus (Lex
specialis derogat lex generalis);
- Undang – undang yang berlaku belakangan membatalkan
undang – undang yang berlaku terdahulu (Lex
posteriore derogat lex priori);
- Undang – undang tidak dapat diganggu – gugat;
- Undang – undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin
dapat mencapai kesejahteraan materil dan spiritual bagi masyarakat maupun
individu melalui pembaharuan atau pelestarian (azas Welvaarstaat).
Azas “undang – undang tidak berlaku surut “
terdapat dalam:
- Pasal 3 Agemene Bepalingen
van Wetgeving (AB) yang berbunyi: ”De Wet verbindt alleen voor het toekomende en heeft geen
terugwerkende kracht (undang – undang hanya
mengikat untuk masa mendatang dan tidak mempunyai kekuatan yang berlaku
surut)”;
- Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang berbunyi: ”Geen feit is
strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke
strafbepaling (Tiada peristiwa/perbuatan dapat
dipidana, kecuali atas dasar kekuatan suatu aturan perundang – undangan
pidana berupa hukum pidana tertulis yang mendahulukan /telah
dibuat terdahulu atau telah dibuat sebelumnya)”.
Maksud dari “undang – undang yang
bersifat khusus mengeyampingkan undang – undang yang bersifat umum” adalah
bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diberlakukan undang – undang yang
menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula
diberlakukan undang – undang yang menyebutkan peristiwa yang lebih luas atau
yang lebih umum yang dapat pula mencakup peristiwa khusus tersebut, contoh yang
terdapat dalam pasal 1 ayat 2 KUHP yang berbunyi:”Bij verandering in de
wetgeving na het tijdstip waarop het feit begaan is, worden de voor den
verdachte gunstigste bepalingen toegepast (Apabila terjadi perubahan dalam
perundang – undangan setelah saat peristiwa terjadi, maka diperlakukan
ketentuan yang paling menguntungkan terdakwa)”;
Terhadap azas “undang – undang yang
berlaku belakangan membatalkan undang – undang yang berlaku terdahulu”,
dimungkinkan pengecualian sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) KUHP oleh
karena berdasarkan pasal tersebut undang – undang lama yang makna atau
tujuannya bertentangan dengan undang – undang baru dapat diberlakukan, asalkan
memenuhi syarat – syarat tertentu;
Berkaitan dengan azas “undang –
undang tidak dapat diganggu – gugat”, maka terhadap sah atau tidaknya
keberlakuan suatu undang – undang dan / atau termasuk pasal – pasal tertentu
dalam undang – undang tersebut hanya dapat diuji secara materil (judicial
review) kepada Mahkamah Konstitusi;
Agar pembuat undang – undang (law
maker) tidak sewenang – wenang membuat suatu peraturan perundang – undangan,
atau undang – undang itu tidak menjadi huruf mati (doode letter / black law
letter) maka perlu dipenuhi beberapa syarat, yaitu:
- Syarat Keterbukaan yaitu bahwa sidang – sidang di Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan perikelakuan anggota fungsi eksekutif dalam
pembuatan undang – undang diumumkan, dengan harapan akan adanya tanggapan
dari masyarakat;
- Memberikan hak kepada warga masyarakat untuk mengajukan
usul – usul tertulis maupun secara lisan kepada penguasa / pemerintah,
dengan cara – cara:
- Penguasa / pemerintah setempat mengundang mereka yang
berminat untuk menghadiri suatu pembicaraan penting yang menyangkut suatu
peraturan di bidang tertentu;
- Suatu departemen mengundang organisasi – organisasi
tertentu untuk memberikan usul – usul tentang rancangan undang – undang
tertentu;
- Diadakan acara dengar pendapat (hearing) di Dewan
Perwakilan Rakyat;
- Pembentukan komisi – komisis penasehat yang terdiri
dari tokoh – tokoh dan ahli – ahli.
Dalam praktek penegakkan hukum (law
enforcement practice), terdapat beberapa cara menafsirkan undang – undang,
antara lain:
- Penafsiran Gramatikal, yaitu penjelasan undang – undang
menurut susunan kata – katanya;
- Penafsiran Sistematikal, yaitu menafsirkan undang – undang
atau pasal – pasalnya dalam hubungan keseluruhannya, antara pasal undang –
undang yang satu dengan yang lain;
- Penafsiran Historikal, mencakup:
- Penafsiran dengan melihat perkembangan terjadinya
undang – undang, melihat bahan – bahan perundingan / parlementer dan
sebagainya (wetshistorisch);
- Penafsiran dengan melihat lembaga hukum yang diatur
dalam undang – undang (rechtshistorisch);
- Penafsiran Teleologikal, yaitu menjelaskan undang –
undang dengan menyelidiki maksud pembuatannya dan tujuan dibuatnya undang
– undang itu;
- Penafsiran ekstensif, yaitu menafsirkan dengan
memperluas arti suatu istilah atau pengertian undang – undang tersebut
atau pasal – pasal dalam undang – undang itu;
- Penafsiran Restriktif, yaitu cara penafsiran yang
mempersempit arti suatu istilah atau pengertian undang – undang tersebut
atau pasal – pasal dalam undang – undang itu;
Dalam ilmu hukum, dikenal cara
mempergunakan (pasal) undang – undang melalui komposisi atau konstruksi, yaitu:
- Analogi atau pengluasan berlakunya kaidah undang
– undang;
- Penghalusan hukum atau pengkhususan berlakunya kaidah
undang – undang;
- Penggunaan “a contrario”, yaitu memastikan sesuatu yang
tidak disebut oleh (pasal) undang – undang secara kebalikan.
Terminologi “yurisprudensi”
berasal dari bahasa latin yaitu Jurisprudentia yang berarti pengetahuan
hukum (rechtsgeleerdheid). Kata “yurisprudensi” sebagai istilah teknis
Indonesia, sama artinya dengan kata “jurisprudentie” (dalam bahasa Belanda),
“jurisprudence” (dalam bahasa Perancis) yaitu Peradilan Tetap atau Hukum
Peradilan.
Kata “Jurisprudence” (dalam bahasa
Inggris) berarti teori ilmu hukum (Algemene Rechtsleer, General Theory of Law),
sedangkan untuk pengertian yurisprudensi dipergunakan istilah – istilah “Case
Law”, atau “Judge made Law”. Kata “Jurisprudenz” (dalam bahasa Jerman)
berarti ilmu hukum dalam arti yang sempit (aliran Ajaran Hukum), misalnya:
Begriff – jurisprudenz, Interressen – jurisprudenz, dan sebagainya. Sedangkan
istilah teknis bahasa Jerman untuk pengertian yurisprudensi adalah
“Ueberliefferung”;
Mengenai pentingnya yurisprudensi
dalam peradilan (tugas hakim), ada beberapa anggapan yaitu:
- Anggapan dari aliran Legisme, menyatakan yurisprudensi
tidak atau kurang penting, oleh karena dianggap bahwa semua hukum terdapat
dalam undang – undang. Hakim dalam melakukan tugasnya terikat pada undang
– undang, sehingga pekerjaannya hanya melakukan pelaksanaan undang –
undang belaka (wetstoepassing) dengan jalan
jurisdische – syllogism yaitu suatu deduksi logis dari
suatu perumusan yang luas (preposisi mayor) kepada suatu keadaan khusus
(preposisi minor) sehingga sampai pada suatu kesimpulan (conclusion). Aliran Legisme,
yang primer dalam hukum adalah pengetahuan tentang undang – undang,
sedangkan mempelajari yurisprudensi adalah masalah sekunder;
- Anggapan dari aliran Freie Rechtsbewegung,
menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya seorang hakim bebas
untuk melakukannya menurut undang – undang atau tidak. Hal tersebut
disebabkan pekerjaan hakim adalah melakukan penciptaan hukum
(rechtsschepping), akibatnya adalah bahwa memahami yurisprudensi merupakan
hal yang primer, sedangkan undang – undang merupakan hal yang sekunder;
- Anggapan dari aliran Rechtsvinding menyatakan
memang benar bahwa hakim terikat pada undang – undang, akan tetapi
tidaklah seketat sebagaimana dimaksud oleh aliran legisme, oleh karena
hakim juga mempunyai kebebasan. Akan tetapi kebebasan hakim bukanlah
seperti anggapan aliran freie rechtsbewegung, sehingga dalam melakukan
tugasnya hakim mempunyai apa yang disebut sebagai kebebasan yang terikat
(gebonden – vrijheid) atau keterikatan yang bebas (vrije – gebondenheid). Oleh sebab itu,
tugas hakim disebutkan sebagai melakukan rechtsvinding yang artinya adalah
menyelaraskan undang – undang pada tuntutan zaman (aanpassen van de wet de eisen van de tijd).
Kebebasan yang terikat atau
keterikatan yang bebas dalam tugas hakim terbukti dari adanya beberapa wewenang
hakim, yaitu:
- Penafsiran undang – undang (wetsinterpretatie);
- Komposisi, yang mencakup:
- Analogi (abstraksi)
- Rechtsverfijning (Determinatie), yaitu membuat
pengkhususan dari suatu azas dalam undang – undang yang mempunyai arti
luas (dari luas ke khusus).
Azas – azas yurisprudensi terdiri
dari:
- Azas Precedent (Stare
Decisis), dianut di negara – negara Anglo Saxon (seperti
Inggris, Amerika Serikat), menyatakan bahwa petugas peradilan (hakim)
terikat atau tidak boleh menyimpang dari putusan – putusan yang terlebih
dahulu dari hakim yang lebih tinggi atau sederajat tingkatnya;
- Azas Bebas, dianut di negara – negara Eropa Kontinental
(seperti Belanda, Perancis), menyatakan bahwa petugas Pengadilan (Hakim)
tidak terikat pada putusan – putusan yang terlebih dahulu dari Hakim
yang lebih tinggi atau sederajat tingkatnya.
Meskipun dalam praktek peradilan
terdapat kekangan (atau kekakuan) dalam asas Precedent (Stare Decisis), namun demikian terhadap azas
precedent tersebut iberlakukan pengecualiannya, dalam hal:
- Apabila putusan terdahulu diterapkan pada peristiwa
yang sedang dihadapi dipandang “plainly
unreasonable and inconvenient”;
- Sepanjang mengenai dictum yaitu “whatever else the judges said that not necessary to
their decision”.
Created and Posted By:
Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant
Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002