TEORI KEHENDAK DAN TEORI PERKIRAAN
Simons mengatakan bahwa "dengan demikian, kesengajaan itu
adalah merupakan kehendak (de will), ditujukan kepada perwujudan dari suatu
tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang – undang. Ajaran ini disebut
sebagai Teori Kehendak (wilstheorie)". Teori kehendak ini
dibantah oleh beberapa ahli hukum
lain dengan mengemukakan Teori Perkiraan
(voorstelingstheorie) yang
menyatakan bahwa "seseorang
hanya dapat mengharapkan suatu wujud perbuatan tertentu. Untuk suatu
akibat yang (akan) timbul dari perbuatan itu, tidak mungkin ia secara tepat
menghendakinya. Kemungkin ia hanya dapat mengharapkan atau memperkirakannya".
Andi Hamzah mengatakan, "Pertama - tama timbul pertanyaan
apakah sebenarnya sengaja itu? Sebagai
kebiasaan dalam mencari arti sesuatu istilah hukum orang menengok ke penafsiran
otentik atau penafsiran pada waktu undang - undang yang bersangkutan disusun,
dalam hal ini Memori Penjelasan (Memorie van Toelichting). Dengan sendirinya
Memori Penjelasan (MvT) WvS Belanda tahun 1886 yang juga mempunyai arti bagi
KUHP Indonesia, karena yang tersebut terakhir bersumber pada yang tersebut
pertama. Menurut penjelasan tersebut, "sengaja" (opzet) berarti
"de (bewuste) richting van den wil op een bepaald misdrif", (kehendak
yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu). Menurut
penjelasan tersebut, "sengaja" (opzet) sama dengan willens en wetens
(dikehendaki dan diketahui)".[1] Selanjutnya Andi Hamzah menjelaskan pula, "Jika dipandang katanya bahwa sengaja
itu tidak berwarna berarti tidak adil, maka dapat diperhatikan aturan dasar
hukum pertama: "Tidak ada hukum tanpa kesalahan" (geen straf zonder
schuld/keine Strafe ohne Schuld)". [2]
Dalam rangka memahami dasar pemikiran (basic of thinking) ajaran "Teori
Kehendak" dan "Teori
Perkiraan" harus dicermati
pendapat Simons yang mengatakan bahwa, "tindak
pidana itu terdiri dari dua golongan unsur; yaitu unsur obyektif dan unsur
subyektif. Unsur obyektif adalah perbuatan/tindakan yang dilarang/diharuskan,
akibat dan keadaan – keadaan atau masalah tertentu. Sedangkan unsur subyektif adalah kesalahan dan
pertanggungjawaban pidana". Jika ditujukan kepada perbuatan, maka
disebut sebagai kesengajaan formal, dan jika ditujukan kepada akibat yang
timbul dari perbuatan tersebut, disebut sebagai kesengajaan material. Dalam hal
kehendak itu dutujukan kepada perbuatan seperti halnya dalam delik – delik
formal (misalnya tentang "Perusakan
Barang" pasal 406 KUHP), maka tidak
ada perbedaan jalan pikiran dari kedua ajaran itu. Dalam contoh diatas, memang
perbuatan merusak adalah merupakan kehendak dari pelaku. Lain halnya jika
kehendak itu ditujukan kepada akibat yang timbul, seperti halnya
delik merampas jiwa orang, misalnya dengan mempergunakan senjata api. Matinya
seseorang itu adalah sebagai akibat dari perbuatan menembak. Menurut ajaran
yang kedua hanyalah dapat diharapkan atau diperkirakan oleh pelaku dan tidak
mungkin sebagai kehendak yang sesungguhnya. Sebab ada pula kemungkinan lain yaitu bahwa yang
tertembak adalah justeru orang ketiga (orang lain).
Teori kehandak yang diajarkan oleh Von
Hippel (Jerman) dalam bukunya “Die
Grenze von Vorzatz und Fahrlassigkeit” Tahun 1903 menerangkan bahwa "sengaja adalah kehendak untuk membuat
suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan akibat dari perbuatan itu,
dengan kata lain apabila seseorang melakukan perbuatan yang tertentu, tentu
saja melakukannya atas kehendak
untuk menimbulkan akibat tertentu pula,
karena ia melakukan perbuatan itu justru dapat dikatan bahwa ia menghendaki
akibatnya, ataupun hal ikhwal yang menyertai".
Teori Pengetahuan atau Teori Dapat
Membayangkan atau Teori Persangkaan,
yang diintrodusir oleh Frank
(Jerman) dengan bukunya
tentang “Vorstelung un Wille in der Moderner Doluslehre” Tahun
1907, menerangkan bahwa "Tidaklah
mungkin sesuatu akibat atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat
dibayangkan/disangka oleh pembuatnya, tetapi
tentu dapat dikehendakinya pula, karena manusia hanya dapat membayangkan atau menyangka
terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai".
Apabila "Teori kehendak" dikomparasi
dengan "Teori Perkiraan",
sesungguhnya dalam kenyataan (in concreto) tidak jauh berbeda, walaupun berbeda fokus
kajiannya. "Teori Kehendak" mengajarkan bahwa apabila seseorang
melakukan perbuatan, maka bukan hanya perbuatan itu saja yang dikehendaki,
tetapi juga akibat dari perbuatan itu. Sebab bilamana memang ia tidak
menghendaki akibat dari perbuatan itu, tentunya tidak akan melakukannya.
Justeru akibat itulah yang dikehendakinya yang mendorongnya untuk melakukan
perbuatan tersebut. Jelaslah pada akhirnya tidak terdapat perbedaan yang
prinsipal antara “menghendaki akibat”
dan “memperkirakan akibat”.
Kedua ajaran teori hukum tersebut sama –
sama menunjukkan hubungan yang erat sekali (casuality,
oorzakelijk verband) antara kejiwaan
pelaku dengan akibat yang ditimbulkannya.
Teori Kehendak (willstheorie)
menjelaskan bahwa hal baik terhadap perbuatnya maupun terhadap akibat atau hal
ikhwal yang menyertai, dapat dikehendaki oleh si pembuat, sehingga kesengajaan
si pembuat dapat ditujukan kepada perbuatan, akibat dan hal ikhwal yang
menyertai. Sedangkan menurut Teori
Pengetahuan atau Teori Membayangkan atau Teori Persangkaan (voorstellingstheorie)
yaitu akibat atau hal ikhwal yang
menyertai itu tidak dapat dikehendaki oleh si pembuat, sehingga kesengajaan si
pembuat hanya dapat dtujukan kepada perbuatannya saja.
Penulis: Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.