SISTEM PEMAKSAAN SEKUNDER PENEGAKKAN HUKUM DIKAITKAN
DENGAN KELAMBANAN PROSES PERADILAN
Menurut Alvin Toffler dalam bukunya Power Shift,
"pada setiap kehidupan masyarakat dijumpai “Sistem pemaksaan sekunder”
(secondary enforcement system) dalam penegakkan hukum. Sistem tersebut sering
dioperasikan pihak yang lebih kuat status sosial ekonominya kepada pihak yang
lemah".
Sistem Pemaksaan Sekunder
berupa tindakan upaya penegakkan hukum diluar jalur sistem “pemaksaan hukum
resmi dan formal (the formal official law – enforcement system)” melalui
kekuasaan kehakiman (badan peradilan). Dengan demikian operasional sistem
pemaksaan hukum sekunder berada di pinggir bahkan di luar jalur sistem
pemaksaan hukum resmi dan formal.
Hakekatnya, sistem pemaksaan hukum sekunder mengandung “pelanggaran
hukum” (against the law). Model demikian merupakan upaya dan
tindakan “main hakim sendiri (eigenrichting)” dalam ungkapan:
mendahulukan kekerasan secara paksa dan membelangkangkan hukum. Untuk mencapai
suatu pemenuhan kewajiban hukum oleh seseorang, sistem ini mempergunakan cara –
cara pemaksaan oleh orang upahan atau tukang pukul. Atau bisa juga menggunakan
tangan suatu instansi yang tidak berwenang untuk itu (without under the
authority of law). Sebagai contoh dalam film yang menceritakan pembayaran
hutang rentenir dengan kekerasan memaksa debitur menandatangani jual – beli
tanah milik debitur kepada kreditur dengan harga murah. Tayangan sinetron Siti
Nurbaya memperagakan sosok Datuk Maringgi merampas dan menghancurkan kekayaan
keluarga Siti Nurbaya melalui jalur sistem pemaksaan sekunder. Pelaku
pelaksananya, para jagoan yang diupah Datuk Maringgih. Begitu pula
apabila terdapat fakta dimana pihak kreditur meminjam kekuasaan
oknum Polisi atau oknum ABRI untuk menakuti debitur supaya segera membayar
hutang. Tengah malam tukang pukul mendatangi janda malang, agar besok pagi
mesti melunasi hutangnya yang berlipat ganda jumlahnya.
Sistem penegakkan hukum sekunder, tidak saja mewarnai
penyelesaian kasus sengketa bidang perdata. Penyelesaian kasus pidana juga bisa
dimasuki sistem PENEGAKKAN HUKUM SEKUNDER. Seorang yang merasa dihina
mengupah orang lain untuk menganiaya atau membunuhnya. Pekerja atau karyawan
yang dinilai majikannya sering melakukan tuntutan akan hak – hak mereka,
dibungkam dengan ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pekerja tersebut
didatangi KELOMPOK BAYARAN, dengan ancaman akan dihabisi nyawanya
apabila menuntut haknya terhadap majikannya. Dalam kultur sebagian
masyarakat Indonesia, dikenal “carok” di Madiun dan ‘siri” di
Sulawesi Selatan sebagai perwujudan sistem sekunder penegakkan hukum di bidang
pidana.
Penggunaan sistem pemaksaan sekunder bukan hanya terdapat di
Indonesia. Di beberapa negara, sistem ini banyak dipraktekkan dalam skala yang
lebih besar dan lebih luas diantara sesama usahawan maupun di tengah – tengah
kehidupan masyarakat. Bahkan d Mereka sama – sami beberapa negar,
berusaha mendekati geng penjahat yang brutal dan terorganisasi. Di Jepang
masyarakat mengenal “Yakuza” sebagai kekuatan pemaksa sekunder yang
mengerikan. Bukan hanya Yakuza, masyarakat Jepang juga mengenal “SARAKIN”,
Sarakin banyak dimanfaatkan untuk memenuhi pembayaran hutang yang berlipat
ganda melalui pemaksaan persuasip fisik. Masayarakat Amerika memiliki
organisasi “MAFIOSA” yang dapat diminta bantuan untuk memaksakan
pemenuhan sesuatu melalui cara penegakkan kekerasan sekunder. Berkembangnya
penggunaan sistem pemaksaan sekunder oleh masyarakat atau pihak swasta dengan
meminjam tenaga perorangan atau bandit yang terorganisir rapi, kekuasaan dan
pemaksaan negara digantikan oleh kekuasaan dan pemaksaan swasta. Dalam hal
seperti ini, monopoli pemaksaan dan kekerasan legal yang dimiliki aparat
penegak hukum (polisi, kejaksaan dan pengadilan), direbut oleh geng atau
organisasi swasta. Apabila tingkat perkembangan sistem sekunder sudah meluas
dan dicenderungi ke masyarakat, maka batas kontrol kekuasaan swasta dan
penguasa publik, sudah tidak ada lagi.
Di Indonesia pernah muncul suatu ide di kalangan
industri perbankan untuk mempergunakan sejenis sistem penegakkan hukum
sekunder. Majalah Warta Ekonomi, terbitan No. 45 dan 46/III/6 – 13, April 1992,
mengungkapkan beberapa bank menggunakan geng penagih hutang (debt collector)
secara paksa, kekerasan fisik dan intimidasi. Alasan yang dikemukakan
memunculkan sistem ini, didasarkan pada dua faktor. Pertama, membengkaknya
kredit macet pihak nasabah. Kedua, panjangnya liku – liku formalisme proses
peradilan mulai dari tingkat pertama, banding dan kasasi. Malahan timbul mode
mempergunakan upaya peninjauan kembali. Penyelesaian kredit macet melalui jalur
resmi dan formal badan peradilan, sangat berlawanan
dengan kepentingan dunia bisnis yang menuntut penyelesaian yang
cepat dan sederhana. Dunia bisnis menghendaki penyelesaian
“informal procedure and can be put in motion quickly”.
Dalam konteks kepentingan bisnis, gagasan pengusaha
perbankan menggalakan semacam sistem pemaksa sekunder sering dilakukan.
Kegiatan merefleksikan gagasan sama sekali tidak diperbolehkan karena
cenderung dilakukan secara paksa dan dalam bentuk – bentuk
persuasif fisik, ancaman, penculikan, pengambilan paksa, penyanderaan dan
sebagainya. Dengan demikian dapat dianggap mengarah kepada penghancuran
sendi – sendi negara hukum. Dapat pula terjadi, suatu sistem sekunder,
operasionalnya mempergunakan jasa Pengacara (Penasehat Hukum), hal inipun
tidak dibenarkan dalam konteks law enforcement.
Salah satu faktor yang mempengaruhi masyarakat
memanfaatkan jasa "PREMANISME" atau "organisasi yang
mempergunakan sistem kekerasan sekunder", disebabkan lambat, sulit,
dan berlikunya cara – cara penyelesaian melalui jalur aparat penegak
hukum, bahkan kepercayaan masyarakat saat ini telah berkurang terhadap wibawa
dan profesionalisme para petugas penegak hukum (law enforcement officers)
seperti pihak Polisi, Jaksa dan Hakim atau yang lainnya. Peristiwa pidana
yang dilaporkan secara resmi kepada polisi, sering dialami masyarakat tidak
ditangani secara sungguh – sungguh. Penanganannya setengah – setengah. Penjahat
yang tertangkap tangan oleh masyarakat, beberapa hari kemudian sudah keluar
bebas. Bahkan, mungkin juga ada Laporan atau Pengaduan yang direkayasa dalam
bentuk KRIMINALISASI bekerja sama antara Pelapor/Pengadu dengan
petugas hukum.
Sama halnya di bidang perdata, kelambanan dan keangkeran
formalistik proses penyelesaian pengadilan, termasuk salah satu faktor
pendorong penggunaan sistem kekerasan sekunder. Melangkah memasuki proses
penyelesaian sengketa ke ruang pengadilan, terkadang seolah – olah “adventure
unto the unknown”. Tak ubahnya memasuki belantara yang tidak bertepi. Linglung
dann resah menunggu pada penantian yang tidak berakhir. Kematian sudah datang
menjelang, tetapi penyelesaian perkara yang didambakan, masih di alam antah
berantah. Akan tetapi tepatkah sudah jika formalisme dan pihak pengadilan saja
yang disesali? Tidak memperkalut formalisme menjadi benang kusut, seiring
datang dari keculasan dan kekeruhan sanubari kita semua. Kekusutan
benang formalismesering semakin diacak – acak oleh pihak yang berperkara atau
oleh penasehat hukum. Hari ini dalam perkara yang itu, penasehat
hukum mencaci maki pihak lawan yang tidak hadir. Dan gusar terhadap pihak lawan
yang mengajukan banding, kasasi. Tetapi pada esok hari dan dalam kasus yang
lain, dia sendiri membuat seribu macam alasan untuk mengacau jalannya sidang,
dan mengajukan banding, kasasi sampai peninjauan kembali; meskipun nuraninya
yakin dan berbisik bahwa tindakannya licik dan omong kosong, dengan
bertamengkan alasan bahwa semua tindakannya itu adalah sah guna menegakkan hak
dan kepentingan kliennya.
Kalau begitu, demikian keadaan kita semua. Begitulah corak
penegakkan hukum melalui sistem pemaksaan yang resmi dan formal melalui badan
peradilan, yang membuat kondisi formalisme semakin kusut adalah kita semua.
Jika timbul gejala berkembangnya sistem pemaksaan penegakkan hukum sekunder,
adalah tanggung jawab kita semua. Oleh karena itu jika terjadi pergesaran peran
dan sistem pemaksaan penegakkan hukum yang resmi dan formal dari tangan
pengadilan ke tangan bandit, geng dan semacamnya, disebabkan ulah perilaku
semua pihak. Dan suatu hal yang pasti, praktek sitem pemaksaan sekunder baik
yang terang – terangan maupun yang sembunyi – sembunyi, tetap merupakan
pelanggaran hukum. Dan apabila perkembangannya sudah sampai menggantikan
kedudukan lembaga penegak hukum, runtuhlah sendi negara hukum yang kita
tegakkan. Kalau negara – negara lain berusaha sekuat tenaga menghancurkan
keagresifan fisik secara langsung melalui sistem pemaksaan sekunder,
sebagaimana Jepang memperkecil peran “yakuza” dan Amerika memerangi “mafiosa”,
dengan cara mensublimasi kekuasaan kedalam hukum, sangat prihatin sekali, jika
pihak perbankan bergerak membudayakan sistem pemaksaan sekunder. Langkah yang
benar, bukan membudayakan sistem tersebut. tetapi menggantungkan semua
penyelesaian permasalahan kehidupan bisnis, sosial dan ekonomi kepada hukum
melalui sistem pemaksaan yang resmi dan formal. Paling tidak, kita harus
menumbuhkan suatu sistem yang semi pemaksaan resmi dan formal, yang dianggap masih
dalam batas – batas toleransi yakni mempergunakan jasa pengacara. Budaya
penegakkan yang seperti itu misalnya, telah dikembangkan di Amerika. Hampir
semua perusahaan yang menyewa pengacara yang mereka sebut “senjata sewaan” atau
“hired gun”. Mereka berpendapat, cara penyelesaian menurut hukum dengan sistem
pemaksaan resmi dan formal, merupakan penggunaan pemaksaan yang tepat, beradab
dan adil dalam dunia bisnis. Lebih dari seribu perkara kasus perdata yang
diproses melalui sistem peradilan distrik setiap hari di seluruh Amerika.
Pada kenyataanya, banyak hakim yang kaku dicekoki
“formalistic legal thinking”, sehingga proses peradilan yang sudah lamaban dan
formal itu semakin dijangkiti penyakit formalisme. Betapa banyak pejabat yang
dicekoki sikap perilaku mengkristalkan formalisme itu dengan keangkuhan
superioritas dan resistensi terhadap setiap upaya dan gerak mendinamikakan
kelincahan penyelesaian perkara! Semua fakta ini berbicara didepan wajah kita.
Namun demikian, apakah Anda setuju dan rela untuk menggantikan peran dan
kewenangan sistem pemaksaan penegakkan hukum resmi dan formal (the formal,
official law – enforcement system) dengan sistem pemaksaan sekunder (secondary
enforcement system) melalui kebengisan dan keberutalan agresif seperti geng “yakuza”
dan “mafiosa”.
Writer and Copy Right:
Dr. (Cand.) Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant
Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002