Hukum Acara Perdata adalah ketentuan – ketentuan atau peraturan – peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya mempertahankan atau menjamin ditaatinya Hukum Perdata materil dengan perantaraan Hakim/Pengadilan di persidangan. Secara konkrit dapat ditegaskan bahwa Hukum Acara Perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa, mengadili serta memutus suatu perkara di persidangan, dan pelaksanaan (eksekusi) dari putusan tersebut.
Law Enforcement atau “Penegakkan Hukum” pada prinsipnya dimaksudkan agar tidak terjadi tindakan “MAIN HAKIM SENDIRI”. Akan tetapi, kenyataannya dalam Hukum Acara Perdata tidak dijumpai ketentuan yang tegas melarang tindakan menghakimi sendiri (eigenrichting). Larangan eigenrichting tersebut terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Tanggal 10 Desember 1973 No. 366 K/Sip/1973.
Sumber – sumber Hukum Acara Perdata, meliputi:
- HIR (Het Herziene Indonesich Reglement) atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (untuk Jawa dan Madura).
- RBg (Rechtsreglement Buitengewesten) atau Reglemen Daerah Seberang (untuk luar Jawa dan Madura).
- Rv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) atau Reglemen Hukum Acara Perdata untuk Golongan Eropa.
- RO (Reglement op de Rechtsterlijke Organisatie in het beleid der Justitie in Indonesia (Reglemen tentang Organisasi Kehakiman).
- Kitab Undang – Undang Hukum Acara Perdata (KUHPerdata).
- Yurisprudensi.
- Perjanjian Internasional.
- Doktrin.
Asas – Asas Hukum Acara Perdata, meliputi:
1. Hakim Bersifat Menunggu.
Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, tidak ada Hakim (Wo kein Klager ist, ist kein Richter; nemo judex sine actore).
2. Hakim Pasif.
3. Sifat Terbukanya Persidangan.
4. Mendengar kedua belah pihak.
Audi et alteram partem, atau Eines Mannes Rede, ist keines mannes rede, man soll sie horen alle beide.
5. Putusan harus disertai alasan – alasan.
6. Beracara Dikenakan Biaya.
7. Tidak ada Keharusan Mewakilkan.
Sehubungan dengan konsepsi yang dikemukakan diatas, Hakim dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewajibannya memiliki kewenangan atau kekuasaan yang secara normatif – imperatif diatur dalam peraturan perundang – undangan. Ketentuan mengenai Kekuasaan kehakiman diatur dalam UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum, UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung.
Copy Right: Appe Hamonangan Hutauruk