PENGERTIAN HUKUM ACARA PERDATA
Perancang H.I.R. adalah Ketua Mahkamah Agung dan Mahkamah
Agung Tentara pada tahun 1846 di Batavia, yang bernama Jhr. Mr. H.L.
Wichers, seorang jurist bangsawan kenamaan pada
waktu itu. Oleh karena dalam sejarahnya, tercatat bahwa pada tanggal 5
Desember 1846, Jhr. Mr. H.L. Wichers diberi tugas oleh
Gubernur Jenderal (Gouverneur Generaal) Jan Jacob
Rochussen untuk merencanakan sebuah REGLEMENT tentang
administrasi, polisi, acara perdata dan acara pidana bagi golongan Indonesia.
Bagi mereka pada waktu itu berlaku Staatblad 1819 No. 20 yang memuat 7
(tujuh) pasal perihal Hukum Acara Perdata. Momentum tersebut kemudian dianggap
sebagai asal muasal (awal mula) ide dibentuknya Hukum Acara Perdata.
Hukum Acara Perdata juga disebut Hukum Perdata Formil, yaitu
kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana
melaksanakan, mempertahankan kepentingan hukum (legal interest)
dan mengajukan tuntutan - tuntutan hak – hak dan
kewajiban – kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam Hukum Perdata
Materil. Dalam rangka melaksanakan, mempertahankan kepentingan hukum (legal interest)
dan mengajukan tuntutan - tuntutan hak – hak dan
kewajiban – kewajiban perdata dalam suatu proses peradilan maka dikenal adanya
terminus PERMOHONAN dan GUGATAN yang kerapkali dihubungkan
dengan PERADILAN VOLUNTAIRE (voluntaire jurisdictie, jurisdiction voluntaria )
dan PERADILAN CONTENTIOUS (contentieuse jurisdictie).
Perbedaan antara gugatan dan permohonan adalah bahwa dalam perkara gugatan ada
suatu sengketa atau konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh
Pengadilan, sedangkan dalam permohonan tidak terdapat sengketa hukum (disputes).
Perbedaan antara PERMOHONAN dan GUGATAN yang kerapkali dihubungkan
dengan PERADILAN VOLUNTAIRE (voluntaire jurisdictie, jurisdiction voluntaria )
dan PERADILAN CCONTENTIOUS (contentieuse jurisdictie) harus dipahami secara cermati dan
serious, oleh karena khusus mengenai fenomena yuridis yang demikian,
telah terdapat YURISPRUDENSI TETAP
Mahkamah Agung sebagaimana termaktub dalam:
- Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1210 K /Pdt/1987, yang kaidah
hukumnya berbunyi: "PN yang telah memeriksa dan memutus
permohonan secara voluntair, padahal didalamnya terkandung sengketa, tidak
ada dasar hukumnya".
- Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 130 K/Sep/1957 Tanggal
5 November 1957, kaidah hukumnya berbunyi: "Permohonan atau
Voluntair yang diajukan meminta agar pengadilan memutuskan
siapa ahli waris dan pembagian ahli waris, sudah melampaui batas
kewenangan".
Menurut Sudikno Mertokusumo,
hukum acara perdata ialah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya
menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil dengan perantaraan Hakim. Perdata
yang dipakai sebagai aturan main (rule of game)
dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara perdata di persidangan
pengadilan yaitu Burgerlijke Wetboek (BW), Herzien Indonesis Reglement
(HIR), Rechtsglement Buitengewesten (RBg), Reglement op de Rechtterlijke
Organisatie (RO), Reglemet op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv), Wetboek van
Koophandel (WvK), Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA - RI),
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA - RI), dan sebagainya. Namun
demikian, sampai dewasa ini harus diakui bahwa khusus dalam bidang Hukum
Acara Perdata belum memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang
bersifat nasional dan sumber- sumber hukum acara perdata yang tersebar di
berbagai peraturan perundang - undangan. Berbagai kajian yang dilakukan,
hanya dalam wacana dan tataran akademis, apalagi fakta demikian
tidak direspon secara optimal oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
untuk melakukan pembahasan mengenai keberlakuan Hukum Acara Perdata sesuai
dengan perubahan sesuai dengan tuntutan jaman dan kemajuan teknologi. Sedangkan Wirjono Prodjodikoro merumuskan Hukum Acara
Perdata itu sebagai rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana
orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana
pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya
peraturan-peraturan hukum perdata. Namun demikian, Wirjono Prodjodikoro juga mengakui bahwa Hakim
seringkali pula menerapkan ADAT KEBIASAAN
dalam melakukan pemeriksaan sebagai sumber dari Hukum Acara Perdata.
Selain DOKTRIN mengenai Hukum Acara Perdata yang
diintrodusir oleh Sudikno Mertokusumo
dan Wirjono Prodjodikoro tersebut, terdapat pula berbagai batasan makna yang
dirumuskan oleh beberapa ahli hukum, antara lain:
- Abdul kadir Muhamad
menyebutkan bahwa Hukum
Acara Perdata adalah peraturan Hukum yang berfungsi untuk
mempertahankan berlakunya Hukum perdata sebagaimana mestinya. Hukum
Acara Perdata dirumuskan sebagai peraturan Hukum yang mengatur
proses penyelesaian perkara perdata melalui Pengadilan (hakim), sejak
diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim.
- Retnowulan Sutantio merumuskan
Hukum Acara Perdata Hukum Perdata Formil adalah kesemuanya
kaidah Hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur
dalam Hukum Perdata Materiil.
- Soesilo menegaskan
bahwa Hukum Acara Perdata Hukum Perdata Formal yaitu
kumpulan peraturan-peraturan Hukum yang menetapkan cara memelihara Hukum
perdata material karena pelanggaran hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
timbul dari Hukum perdata material itu, atau dengan perkataan lain
kumpulan peraturan-peraturan Hukum yang menentukan syarat-syarat yang
harus dipenuhi pada melangsungkan persengketaan dimuka hakim perdata, supaya
memperoleh suatu keputusan daripadanya, dan selanjutnya yang menentukan
cara pelaksaan putusan hakim itu.
Secara umum dapat dikatakan, Hukum acara perdata adalah
serangkaian kaidah, prosedur, dan peraturan hukum yang mengatur tentang
pelaksanaan formil hukum perdata dalam tata hukum positif sebuah
negara. Dengan perkataan lain, Hukum Acara perdata dirumuskan sebagai peraturan
hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui hakim
(pengadilan) sejak dimajukannya gugatan, dilaksanakannya gugatan, sampai dengan
pelaksanaan putusan hakim.
Dengan demikian, merujuk pada deskripsi diatas maka
dapat dikemukakan conclusie yaitu Hukum Acara Perdata adalah
peraturan Hukum yang memiliki karakteristik esensial sebagai berikut:
- Ketentuan
- ketentuan yang mengatur yang menjamin menjamin dan
mempertahankan Hukum Perdata Materiil agar ditaati
atau dipatuhi dalam tataran pelaksanaanya.
- Perauran
yang menentukan syarat-syarat dan asas - asas yang harus dipenuhi
dalam proses dan prosedur BERACARA
di persidangan Pengadilan (Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan
Tinggi/Banding, Kasasi di Mahkamah Agung, Peninjauan Kembali di Mahkamah
Agung serta upaya - upaya hukum perdata lainnya), diantaranya tata cara
mengajukan Gugatan, Banding, Kasasi, Peninjuan Kembali, Perlawanan
(termasuk Perlawanan Pihak Ketiga, serta tata cara mengadili dan
memutuskan perkara oleh Pengadilan, dan sebagainya.