Secara konsepsional, maka inti dan
arti PENEGAKKAN HUKUM terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai
– nilai (relationship of values) yang terjabarkan di dalam kaidah –
kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan
kedamaian pergaulan hidup (Soekanto, 1979). Konsepsi yang mempunyai dasar
filosofis tersebut, memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga tampak akan
lebih konkrit.
Dalam pergaulan hidup manusia, pada
dasarnya mempunyai pandangan – pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan
apa yang buruk. Pandangan – pandangan tersebut senantiasa terwujud didalam
pasangan – pasangan tertentu, misalnya, ada pasangan nilai ketertiban dengan
nilai ketenteraman, pasangan nilai kepentingan umum dengan nilai kepentingan
pribadi, pasangan nilai kelestarian dengan nilai inovatisme, dan seterusnya.
Dalam konteks penegakkan hukum (law enforcement), pasangan nilai – nilai
tersebut perlu diserasikan; umpamanya, perlu penyerasian antara nilai
ketertiban dengan nilai ketenteraman. Sebab, nilai ketertiban bertitik tolak
pada keterikatan, sedangkan nilai ketenteraman titik tolaknya adalah kebebasan.
Didalam kehidupannya, maka manusia memerlukan keterikatan (pembatasan) maupun
kebebasan dalam wujud yang serasi atau seimbang.
Pasangan nilai – nilai yang telah
diserasikan tersebut, memerlukan penjabaran secara lebih konkret dan jelas,
oleh karena nilai – nilai lazimnya bersifat abstrak atau nisbi (relative).
Penjabaran lebih konkret terjadi didalam bentuk kaidah – kaidah, dalam hal ini
kaidah – kaidah hukum, yang mungkin berisikan suruhan, larangan atau kebolehan.
Pada aspek Hukum Tata Negara Indonesia, misalnya, terdapat kaidah – kaidah yang
berisikan suruhan atau perintah untuk melakukan tindakan – tindakan tertentu,
atau tidak melakukannya. Dalam kebanyakan kaidah Hukum Pidana (criminal law)
tercantum larangan – larangan untuk melakukan perbuatan – perbuatan tertentu,
sedangkan dalam bidang Hukum Perdata (private law) terdapat kaidah –
kaidah atau norma – norma yang berisikan kebolehan – kebolehan.
Kaidah – kaidah atau norma – norma
yang terdapat dalam Hukum Pidana dan Hukum Perdata (antara lain) kemudian
menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau sikap tindak yang dianggap
pantas, atau yang seharusnya. Perilaku atau sikap tindak tersebut bertujuan
untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian. Deskripsi ini
merupakan konkritisasi daripada penegakkan hukum (law enforcement) secara
konsepsional;
Penegakkan hukum sebagai suatu
proses, pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat
keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi
mempunyai unsur penilaian pribadi (Wayne LaFavre, 1964). Dengan mengutip
pendapat ROSCOE POUND maka LaFavre menyatakan bahwa “Pada
hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit)”.
Gangguan terhadap penegakkan hukum
mungkin terjadi, apabila terdapat atau terjadi/timbul ketidakserasian antara “tritunggal”
nilai, kaidah dan pola perilaku. Gangguan tersebut terjadi apabila terjadi
ketidakserasian antara nilai – nilai yang berpasangan, yang menjelma didalam
kaidah – kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang
mengganggu kedamaian pergaulan hidup.
Penegakkan hukum bukan mengenai
semata – mata hanya pelaksanaan peraturan perundang – undangan, walaupun
didalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga
pengertian LAW ENFORCEMENT begitu populer. Selain itu, ada kecenderungan
yang kuat untuk mengartikan penegakkan hukum sebagai pelaksanaan keputusan –
keputusan Hakim. Perlu diketahui atau dipahami bahwa pendapat – pendapat yang
agak sempit tersebut mempunyai kelemahan – kelemahan, apabila pengertian terbatas
hanya diarahkan mengenai pelaksanaan perundang – undangan atau keputusan –
keputusan Hakim, malahan mengganggu kedamaian didalam pergaulan hidup.
Fokus “penegakkan hukum” pada
hakekatnya terletak pada faktor – faktor yang mungkin mempengaruhi penegakkan
hukum tersebut. Faktor – faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga
dampak positif atau negatifnya terletak pada isi dari faktor – faktor tersebut.
Pada prinsipnya terdapat 5 (lima) faktor yang bersifat esensi dalam penegakkan
hukum bahkan dianggap sebagai tolok ukur efektivitas penegakkan hukum, yaitu:
- Faktor hukumnya sendiri, misalnya undang – undang;
- Faktor penegak hukum, yakni pihak – pihak yang
membentuk maupun yang menerapkan hukum;
- Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan
hukum;
- Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum
tersebut berlaku atau diterapkan;
- Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan
rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant