MODEL SISTEM PEMERINTAHAN
Mac Iver dalam bukunya berjudul “Modern State”, (tahun 1950: halaman 3 – 4) menjelaskan bahwa negara dijadikan obyek pendefinisian yang paling kontroversial (dipertentangkan) oleh karena, antara lain: Pertama, beberapa penulis mendefinisikan Negara adalah suatu struktur kelas (a class structure) yaitu suatu organisasi dari suatu kelas yang mendominasi atau menguasai kelas lain dan berdiri pada seluruh komunitas. Penulis lainnya, mendefinisikan negara adalah organisasi yang melebihi kelas dan berdiri atas seluruh komunitas; Kedua, mendefinisikan negara sebagai suatu sistem kekuasaan (a power system). Pakar yang lainnya mendefinisikan negara sebagai suatu sistem kesejahteraan (a welfare sate); Ketiga, sebagian ahli mengkonstruksikan negara sepenuhnya sebagai suatu konstruksi hukum, seperti yang dikemukakan oleh Austinian, yaitu memahami negara adalah hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah; atau dalam modern jurisprudence, didefinisikan “a state as a community organized for action under legal rules”; dan Keempat, yaitu menyamakan negara dengan bangsa. Sedangkan yang lainnya menyatakan negara identik dengan nasionalitas atau kebangsaan; hal yang ini dapat menyesatkan hakekat dan fungsi negara.
Istilah “NEGARA” berasal dari kata “polis” dalam lingkungan kota pada masa Yunani kuno, karena itu “polis” diartikan sama dengan negara kota (city state). Plato dalam bukunya yang berjudul “Politea” membahas masalah – masalah “polis” atau tentang “negara kota”. Begitupula Aristoteles dalam bukunya yang berjudul “Politica”, yang artinya ilmu tentang polis atau negara kota, membahas tentang fenomena negara. Sedangkan di Romawi digunakan terminus “civitas”, yang artinya sama dengan “polis” tetapi maksud pokoknya lebih condong pada “warga masyarakat Romawi”. Pada tataran lingkungan akademis, dapat dimengerti bahwa dari kata civitas di Romawi dahulu kemudian dikenal dan populer istilah “civitas academica” yang berarti “warga akademis”. Dalam kepustakaan ilmu pengetahuan pada masa sekarang, maka istilah “NEGARA” mengalami perkembangan sesuai dengan kemajuan peradaban bangsa – bangsa.
Hal yang paling prinsip dan mendasar adalah setiap negara di
dunia mempunyai “BENTUK
NEGARA” dan “BENTUK
PEMERINTAHAN” serta memiliki “SISTEM PEMERINTAHAN” yang mungkin sama atau berbeda antara negara yang satu
dengan negara yang lain. Rachmat
Kusmiadi dalam bukunya yang berjudul “Kerangka Pokok Sistem Pemerintahan RI” memberi penjelasan sebagai berikut: “Kita mengenal adanya dua bentuk negara, yaitu
Negara Kesatuan (unitary state) dan Negara Serikat (Federation). a) Negara Kesatuan
adalah suatu negara dimana kekuasaan
negara sepenuhnya dipegang oleh pemerintahan pusat. Di dalam negara kesatuan
ini dikenal adanya pembagian kekuasaan pemerintahan secara desentralisasi dan
secara dekonsentrasi. Pembagian kekuasaan desentralisasi ialah apabila kepada
daerah – daerah di negara kesatuan tersebut diberikan kewenangan untuk mengurus
dan mengatur rumah tangga daerahnya sendiri (hak otonomi), sedangkan dekonsentrasi
adalah penyebaran kekuasaan pusat ke dalam wilayah – wilayah negara kesatuan
tersebut, b)
Negara Serikat (Federation) adalah suatu negara yang terdiri dari gabungan
negara – negara bagian, yang pada mulanya sebelum mereka menggabungkan
diri adalah negara – negara bebas yang
merdeka dan berdaulat atas wilayahnya, kemudian karena mereka menggabungkan
diri, maka negara – negara tersebut melepaskan sebagian kekuasaannya kepada
negara serikat (pemerintahan federal). Pada umumnya kekuasaan yang diserahkan
kepada pemerintah federal adalah kekuasaan militer, luar negeri, keuangan, pos
dan hal – hal lain yang dianggap perlu. Negara bagian tetap mempunyai
pemerintahan sendiri yang kedaulatannya lebih bersifat ke dalam, yaitu hanya
mengurus urusan dalam negeri dan terbatas pada wilayah negara bagian yang
bersangkutan”[1]. Selanjutnya Rachmat
Kusmiadi dalam bukunya yang berjudul “Kerangka Pokok Sistem Pemerintahan RI” juga menjelaskan,
“Mengenai pembagian bentuk – bentuk pemerintahan, ada beberapa pendapat,
terlebih – lebih lagi adanya kesimpangsiuran antara bentuk pemerintahan serta
bentuk negara. Dalam hal ini penulis mengambil salah satu pendapat yang paling
maju, dan ternyata sejalan dengan apa yang ada di dalam UUD 1945, yaitu dengan
pembagian sebagai berikut: a) Bentuk Pemerintahan Monarchi, ialah apabila suatu negara dikepalai oleh seorang raja
atau sultan atau kaisar dan sifatnya turun temurun tanpa ada pembatasan masa
jabatan yang pasti. Artinya masa jabatan seorang monarch (raja) dapat seumur
hidup; b)
Bentuk Pemerintahan Reublik, yang berasal dari bahasa Latin – Yunani, Res berarti
pemerintah, Publica berarti rakyat. Jadi
bentuk pemerintahan republik adalah
pemerintahan yang dijalankan oleh dan untuk kepentingan orang banyak (rakyat).
Bentuk pemerintahan ini erat kaitannya dengan teori kedaulatan rakyat, serta
demokrasi, yang berarti kekuasaan berada di tangan rakyat”[2].
Sistem pemerintahan merupakan suatu
sistem ketatanegaraan dimana BIROKRAT
sebagai alat untuk mengatur jalannya pemerintahan sesuai dengan kondisi negara dengan tujuan menjaga
stabilitas negara negara pada semua
aspek. Terminologi “Sistem Pemerintahan” berasal dari 2 (dua) kata, yakni “sistem” dan “pemerintahan”. Sistem dapat disebut sebagai susunan, tatanan,
dan jejaring yang mempunyai hubungan fungsional baik
antar bagian maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhan bagian.
Implikasi apabila hubungan fungsional tersebut tidak berjalan/bekerja dengan
baik, atau salah satu bagian tidak
befungsi dengan baik maka
akan mempengaruhi keseluruh tatanan sistem pemerintahan tersebut. Secara
umum dapat dikatakan bahwa Pemerintah dalam arti sempit yaitu organ negara
pelaksana tugas – tugas eksekutif saja (Presiden beserta pembantu –
pembantunya/Para Menteri dalam kabinet pemerintahan). Sedangkan Pemerintah dalam
arti luas meliputi seluruh aparatur negara (MPR, DPR, DPD, MA, MK, dan BPK)
termasuk Pemerintah Daerah yang seluruhnya diseut Pemerintahan Negara. Berkaitan
dengan Sistem Pemerintahan, maka “tujuan utama dibentuknya penerintahan
negara adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban umum di dalam mana setiap
warga masyarakat dapat menjalankan kehidupannya secara wajar”[3].
Secara
Umum bentuk “Pemerintahan Monarchi” dapat
dibagi 3 (tiga) yaitu:
1.
MONARCHI
MUTLAK (ABSOLUT), yaitu apabila seluruh kekuasaan dan wewenang pemerintahan
terletak pada seorang raja dengan
kekuasaan yang tidak terbatas, dimana setiap perintah atau ucapan raja
merupakan undang – undang yang harus dipatuhi atau dilaksanakan oleh rakyat
(Prancis pada masa pemerintahan Raja Louis Ke – 14 yang terkenal dengan
pernyataannya “L’etat cest moi” yang
berarti “Negara adalah Saya”).
2.
MONARCHI
KONSTITUSIONAL, dimana negara diperintah oleh seorang raja, kaisar atau sultan
tetapi kekuasaannya dibatasi oleh suatu Undang – Undang Dasar (Konstitusi) baik
yang tertulis (written constitution) atau tidak tertulis (unwritten constitution);
3.
MONARCHI
PARLEMENTER, dalam pemerintahan
parlementer maka selain di negara tersebut terdapat konstitusi yang harus
ditaati dan dijalankan oleh pelaksana pemerintahan, juga ada pemisahan antara
Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan serta adanya Parlemen. Raja. Kaisar atau
Sultan sebagai Kepala Negara tidak dapat digulingkan oleh Parlemen. Pemimpin
pemerintahan adalah Perdana Menteri, yang dalam menjalankan pemerintahannya
diawasi oleh Parlemen sebagai wakil rakyat yang terbentuk dan dipilih melalui
Pemilihan Umum.
Selain
sistem pemerintahan seperti yang disebutkan diatas, dalam studi Ilmu Negara dan
Ilmu Politik dikenal adanya 3 (tiga) Sistem Pemerintahan Negara, yaitu:[4]
1.
Sistem
Presidental
Di dalam sistem
presidental dapat dicatat adanya prinsip – prinsip sebagai berikut:
a.
Kepala Negara menjadi Kepala Pemerintahan
(eksekutif).
b.
Pemerintah tidak bertanggung jawab kepada
parlemen (DPR). Pemerintah dan Parlemen adalah sejajar.
c.
Menteri – menteri diangkat dan bertanggung
jawab kepada Presiden.
d.
Eksekutif dan Legeslatif sama – sama kuat.
2.
Sistem
Parlementer
Di dalam sistem
parlementer prinsip – prinsip yang dianut adalah:
a.
Kepala Negara tidak berkedudukan sebagai
Kepala Pemerintahan karena ia lebih bersifat simbol nasional (pemersatu
bangsa).
b.
Pemerintah dilakukan oleh sebuah kabinet
yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri.
c.
Kabinet bertanggung jawab kepada dan dapat
dijatuhkan oleh parlemen melalui mosi.
d.
(Karena itu) kedudukan eksekutif (kabinet)
lebih rendah dari (dan tergantung pada) parlemen.
e.
Kabinet dapat meminta kepada Kepala Negara
untuk membubarkan parlemen (DPR) dengan alasan yang sangat kuat sehingga
parlemen dinilai tidak representatif.
3.
Sistem Referendum
Dalam sistem referendum,
badan eksekutif merupakan bagian dari badan legeslatif, dimana badan eksekutif yang merupakan bagian
badan legeslatif (seperti di Swiss disebut Bundesrat) adalah badan pekerja legeslatif (yang di
Swiss disebut Bundesversammlung).
dalam sistem ini, badan legeslatif membentuk sub badan didalamnya sebagai
pelaksana tugas pemerintah. Kontrol terhadap badan legeslatif dalam sistem ini
dilakukan langsung oleh rakyat melalui lembaga REFERENDUM.
Pembuatan undang –
undang dalam sistem referendum diputuskan langsung oleh seluruh rakyat melalui
dua macam mekanisme, yaitu:
a.
REFERENDUM
OBLIGATOR, yakni referendum untuk menentukan disetujui atu tidaknya oleh
rakyat berlakunya satu peraturan atau undang – undang yang baru. Referendum ini
disebut referendum wajib.
b.
REFERENDUM
FAKULTATIF, yakni referendum untuk menentukan apakah suatu peraturan atau undang
– undang yang sudah ada dapat terus diberlakukan ataukah harus dicabut.
Referendum ini merupakan referendum tidak wajib.
Writer and Copy Right:
Dr. (Cand.) Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant
Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002
[1])
Rachmat Kusmiadi. Kerangka Pokok Sistem Pemerintahan RI. Penerbit Ilham Jaya.
Bandung, tahun 1986. halaman 25 – 26.
[2])
Rachmat Kusmiadi.Ibid. halaman 29.
[3])
Delly Mustafa. Birokrasi Pemerintahan . Penerbit CV. Alfa Beta. Bandung,
tahun 2013. halaman 79.
[4])
Moh. Mahfud MD. Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Penerbit Rineka
Cipta. Yogyakarta, tahun 2001. halaman
74 – 75.