METODE DAN ALIRAN ILMU NEGARA
ILMU NEGARA dikualifikasikan sebagai Ilmu Murni (the pure science). Dalam dunia keilmuan, "TEORI" merupakan pemahaman yang penting, sebab memberikan sarana (facility) untuk bisa merangkum serta memahami masalah secara lebih baik. Teori (theory) memberikan penjelasan (explanation) dengan cara mengorganisasikan dan melakukan sistemasi pokok permasalahan (principal problem).
Teori mengandung sifat subyektivitas, apalagi jika berhadapan dengan fenomena (gejala) yang cukup kompleks seperti hukum dan negara (law and state). Oleh karena itu muncul berbagai aliran dalam Ilmu Hukum, juga dalam Ilmu Negara, sesuai dengan sudut pandang (viewpoint) dari penganut aliran atau disiplin ilmu faham masing - masing.
Sebagai bahan perbandingan maka dapat dijelaskan bahwa Ilmu Hukum memandang hukum dari dua aspek; yaitu (1) hukum sebagai sistem nilai dan (2) hukum sebagai aturan sosial. Mempelajari hukum berarti mencoba memahami kondisi intrinsik aturan hukum. Pengertian inilah yang membedakan ilmu hukum dengan disiplin lain yang mempunyai kajian hukum disiplin - disiplin lain tersebut yang memandang hukum dari luar. Berbagai sosial tentang hukum memposisikan hukum sebagai gejala sosial. Dilain pihak, studi - studi yang bersifat evaluatif menghubungkan hukum dengan etika dan moralitas.
Perkembangan Ilmu Negara di Eropa Kontinental (negara yang menganut Civil Law System) melahirkan 2 (dua) faham atau aliran besar, yaitu: 1) Aliran Normatif – Yuridis, dan 2) Aliran Empiris – Genetis. Secara prinsip dapat dijelaskan bahwa Aliran Normatif – Yuridis, mengkaji fenomena negara dari sudut pandang hukum. Sedangkan Aliran Empiris – Genetis menelaah negara dari sudut pandang realita dalam pengalaman yang dapat diamati oleh panca indera. Dengan demikian, kedua aliran tersebut dalam mempelajari dan mengembangkan Ilmu Negara, menggunakan metode berbeda – beda (different methods).
Penganut Aliran Normatif – Yuridis, memiliki ciri - ciri metode yang rasionalistis, aprioristis, spekulatif, deduktif, filosofis. Metode yang dianut Aliran Normatif – Yuridis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.
Metode deduksi, cara
kerja apriori, beranjak dari pemikiran umum sampai pada kesimpulan khusus
(spesifik) dengan menggunakan ketentuan – ketentuan dasar dan kaidah – kaidah
atau norma - norma umum untuk memperoleh keterangan – keterangan bagi
fenomena yang beraneka ragam tentang negara. Metode deduksi digunakan oleh
Plato (filsuf Yunani Kuno) dalam menyusun suatu konsepsi mengenai negara yang
ideal dikemukakan dalam bukunya The Republic.
2.
Metode filosofis, dalam
proses penyelidikannya meninjau serta membahas negara secara abstrak – ideal
dan transcendental atau bersifat metafisika atau melampaui dunia nyata. Metode
filosofis ini berpangkal pada pemikiran deduktif – spekulatif transcendental.
3.
Metode sistematis,
metode ini dengan cara penyelidikannya menggunakan bahan – bahan yang sudah
dihimpun oleh ilmuwan lain. Kemudian terhadap bahan – bahan itu dilakukan
pelukisan (deskripsi), penguraian (analisis), dan evaluasi (penilaian) terhadap
fenomena negara. Berdasarkan deskripsi, analisis, dan evaluasi tersebut
dilakukan klasifikasi kedalam penggolongan secara sistematik. Metode ini
digunakan Carl Schmitth dalam mengklasifikasi konstitusi menjadi 4 (empat)
kelompok, yaitu; konstitusi absolut, konstitusi relatif, konstitusi positif,
konstitusi ideal.
4. Metode hukum (juridische atau legalistische methode) dinamakan juga metode monismus, yaitu suatu metode yang di dalam proses penyelidikan menggunakan pendekatan yuridis atau semata – mata melihat fenomena negara dari sudut pandang hukum, sehingga faktor – faktor non – hukum dikesampingkan. Metode hukum atau monism, digunakan oleh Hans Kelsen dalam bukunya: The Pure Theory of Law. Ia menulis: “the methodology analysis to be positive because it is concerned solely with the law as it is, it pays no attention to ideology, moral, ect (J.B. Curzon, 1979: 121). Dari kutipan Curzon itu, metode yang digunakan Hans Kelsen metode hukum positif dengan mengesampingkan fenomena non – hukum, seperti ideologi dan moral. Dengan demikian negara sebagai obyek penyelidikan, dipandang selaku badan hukum (legal person) dan Hans Kelsen memandang negara identik dengan hukum, sehingga hukum merupakan personifikasi dari negara.
Penganut aliran empiris – genetis, menurut Djokosutono memakai metode historis, sosiologis, kausal (sebab – akibat), penganutnya antara lain Machiavelli, Jean Bodin, Thomas Hobbes, Montesquieu, Herman Heller. Secara rinci, beberapa penganut aliran empiris – genetis, memakai metode:
1. Metode Historis – Perbandingan, suatu
metode gabungan, secara historis penyelidikan dilakukan dengan analisis
terhadap kenyataan – kenyataan sejarah, yaitu dicermati pertumbuhan dan
perkembangan fenomena negara, sebab akibatnya sebagaimana terwujud dalam
sejarah. Kemudian dilakukan perbandingan fenomena negara di dunia dengan
memanfaatkan ilmu – ilmu lain seperti ekonomi, sosiologi politik, dan
kebudayaan. Metode ini digunakan oleh Mac Iver dalam dua bukunya, Web of
Government dan Modern State. Karena dalam metode historis – perbandingan, Mac
Iver juga memanfaatkan ilmu – ilmu lain. Dari sisi pendekatannya, ia dapat
dikatakan menggunakan metode interdisipliner.
2. Metode Dialektika, dalam bentuknya yang
klasik metode ini digunakan oleh filsuf Yunani, Socrates dengan cara tanya –
jawab atau dialogis disebut juga dengan metode elenchus sebagai suatu upaya
untuk mendapatkan pengetahuan dan kebenaran (J.H. Rapar, 1988:47). Pada abad ke
– 19 metode dialektika, dikembangkan oleh Wilhel Frederich Hegel (1770 – 1831)
berpangkal pada epistemologi “idealisme absolut” (negara dipandang bangunan
manusia yang merupakan penjelmaan dari absolute – moraal / moral yang absolut).
Dibalik itu, Karl Marx mengembangkan dialektika bertumpu pada “materi”
atau “benda” berdasarkan filsafat “historis – materialisme” (memandang negara
hasil dari perjuangan kelas, dan yang paling sempurna negara komunis). Sesudah
revolusi Rusia tahun 1917, metode dialektika digunakan oleh Lenin pemimpin
Komunis Uni Soviet, dalam bukunya State and Revolution.
Terlepas dari
pertentangan Hegel dan Marx, cara kerja metode dialektika, mendalilkan 3 (tiga)
unsur:
a.
These atau tesis,
merupakan satu dalil atau pendirian (stelling);
b.
Antithese (antitesis),
merupakan kontra atau serangan terhadap dalil atau pendirian, dengan kata lain
merupakan perlawanan.
c.
Synthese atau sintesis,
suatu pendirian atau pendapat yang lebih baik atau lebih maju (progress).
Sjahran Basah, memberikan contoh penggunaan metode ialektika, sebagai berikut:
These: negara kekuasaan;
Antithese: negara hukum formal dalam arti sempit atau negara hukum formil
atau negara undang – undang;
Synthese: negara hukum arti luas atau negara hukum materil atau negara
kesejahteraan.
3. Metode
fungsional, dalam penyelidikan meninjau fenomena negara di dunia tidak terlepas
satu dengan yang lainnya, sehingga dapat dikatakan terdapat hubungan
interdependensi. Metode fungsional ini digunakan oleh Herman Heller dalam melakukan
penyelidikan terhadap negara. Ia berkesimpulan bahwa manusia dalam pergaulan
masyarakat di dunia memerlukan negara. Oleh karena itu harus dilihat negara
dalam kenyataan masyarakat. Terdapat hubungan yang timbal balik dan saling
pengaruh – mempengaruhi antara negara dengan masyarakat, dan tidak dapat
dilepaskan. Hal ini relevan dengan apa dikemukakan oleh Mac Iver dalam
pengantar bukunya Modern State, antara lain: “The state is an instrument of
social man” ... To present the modern state as a product of social evolution;
to explain how it acquires specific functions and specific means of
service ...”. Jadi bagi Mac Iver negara adalah sarana sosial manusia. Negara
modern hasil evolusi masyarakat; dapat dijelaskan bagaimana negara menjalankan
fungsi dan pelayanan khusus kepada masyarakatnya.
4. Metode Sinkretis atau Sinkritismus, digunakan oleh G. Jellinek, menyelidiki fenomena negara dari dua sudut pandang, yaitu dari aspek sosial khususnya sosiologi dan aspek yuridis. Dengan demikian metode sinkritismus, melakukan penyelidikan terhadap negara melalui cara kerja menggabungkan faktor hukum dan non – hukum.
Pengertian negara sebagai organisasi kekuasaan dipelopori oleh Prof. j. H. A. Logemann dalam buku Over De Theorie van Een Stelling Staatsrecht. Dalam buku itu, dikatakan bahwa keberadaan negara bertujuan untuk mengatur serta menyelenggarakan masyarakat yang dilengkapi dengan kekuasaan tertinggi. Pandangan Logemann ini kemudian diikuti oleh Harold J. Laski, Max Weber, dan Leon Duguit.
Konsepsi negara sering pula dihubungkan pembahasannya dengan negara hukum atau sistem pemerintahan. Negara Hukum atau dikenal dengan istilah rechtsstaat maupun the rule of law, walaupun keduanya berasal dari 2 (dua) tradisi yang berbeda. Sistem ketatanegaraan yang menganut ajaran rechtsstaat pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental (civil law). Paham rechtsstaat dikembangkan oleh ahli - ahli hukum Eropa Kontinental seperti Immanuel Kant dan Friederich Julius Stahl, bahwa ide tentang rechtsstaat mulai populer pada abad ke XVII sebagai akibat dari situasi politik Eropa yang didominir oleh absolutisme Raja, sedangkan paham the rule of law bertumpu pada sistem hukum anglo saxon atau common law system. Ajaran aliran the rule of law mulai dikenal setelah Albert Venn Dicey pada tahun 1885 menerbitkan bukunya Introduction to Study of the Law of the Constitution. Negara hukum bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik. Terdapat 2 (dua) unsur dalam negara hukum, yaitu: (1) hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan melainkan berdasarkan suatu norma objektif, yang juga mengikat pihak yang memerintah; (2) norma objektif itu harus memenuhi syarat bahwa tidak hanya secara formal, melainkan dapat dipertahankan berhadapan dengan idea hukum.
Pada sisi lain perlu dipahami bahwa "Nasion adalah
suatu bangsa negara, yakni bangsa yang selain sadar budaya (kultuurbewust) juga sadar politik
(politiekbewust) sehingga mempunyai tekad dan rasa kuat untuk ikut bertanggung jawab atas nasib dan jalannya
negara". [1]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembahasan teori kekuasaan
negara yang merupakan cakupan ilmu
negara dan teori negara, harus berkenaan pula
dengan teori kekuasaan negara yang merupakan turunan
dari teori negara. Pembahasan teori kekuasaan negara berkaitan pula dengan kajian mengenai
teori negara atau nasion sebagai suatu bangsa negara.
Penulis: Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.
[1] S.
Prajudi Admosudirjo, Hukum Administrasi Negara,
Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, Ceyakan ke - 10, 1995, hlm. 23
________________________
HIMBAUAN PARTISIPASI:
Sebagai PEMILIK dan PENULIS artikel - artikel
dalam Website https://beritahukum-kebijakanpublik.com
dan Blogger www.beritahukumkebijakanpublik.com
saya menyatakan:
·
Mengajak ENDORSE untuk memasang iklan pada artikel – artikel di
website https://beritahukum-kebijakanpublik.com
dan Blogger www.beritahukumkebijakanpublik.com
dengan langsung menghubungi saya;
·
Mempersilahkan rekan - rekan dan khalayak umum
untuk mengcopy seluruh konten yang terdapat dalam website https://beritahukum-kebijakanpublik.com dan Blogger www.beritahukumkebijakanpublik.com,
akan tetapi sebagai ungkapan KEPEDULIAN kiranya berkenan memberikan partisipasi
umpan balik dalam bentuk komentar.
Semoga dengan kepedulian yang diberikan, saya dapat terus
berkarya memposting artikel - artikel yang bermanfaat bagi dunia pendidikan,
masyarakat serta bangsa dan negara.
#appehamonanganhutauruk
@appehamonangan68(appehamonangan68)TikTok
Salin Kode Undangan SnackVideo Appe
Hamonangan Hutauruk: 873 879 381
https://www.youtube.com/channel/UCedp8eUSKI0upnkURG7TRmw
#SalamPersasaudaraan:
APPE HAMONANGAN HUTAURUK