LPS DAN PROBLEMATIKA PENEGAKKAN HUKUM PERBANKAN
Keberadaan LPS terlanjur dipahami hanya sekedar menjalankan fungsi penjaminan simpanan masyarakat yang menabung di bank. Masih banyak yang belum mengetahui bahwa salah satu tugas strategis LPS diluar penjaminan simpanan adalah penanganan bank gagal dan melaksanakan proses dan penyelesaian likuidasi bank.
Bank gagal yang akan ditangani LPS adalah bank gagal yang berdampak sistemik dan tidak sistemik. Pengertian sistemik adalah apabila kegagalan bank akan berdampak luar biasa baik dalam penarikan dana (rush) maupun terhadap kelancaran dan kelangsungan roda perekonomian. Sementara yang tidak sistemik tentunya apabila tidak memenuhi kriteria tersebut diatas.
Dalam menangani bank gagal yang sistemik maupun tidak pihak LPS akan melakukan kajian dan memutuskan apakah akan diselamatkan atau tidak. Jika biaya penyelamatan jauh lebih mahal dari pada dengan menglikuidasi, maka penyelesaiannya singkat saja. Bank diusulkan dicabut ijin usahanya, kemudian dilikuidasi dan LPS membayar klaim atas simpanan masyarakat.
Apabila LPS memutuskan untuk melakukan penyelamatan, maka ada
perbedaan perlakuan antara penyelamatan bank gagal sistemik dan tidak sistemik.
Untuk bank gagal tidak sistemik penyelamatan tidak mengikutsertakan pemegang
saham lama. Artinya segala biaya yang timbul untuk penyelamatan akan menjadi
disediakan oleh pihak LPS.
Untuk bank gagal sistemik dapat dilakukan baik tampa melibatkan
pemegang saham lama maupun dengan cara melibatkan pemegang saham lama
(open bank assistance). Dalam hal pemegang saham lama akan terlibat dalam
penyelematan, maka diwajibkan menyetor minimal 20% dari total biaya
penyelamatan. Sama seperti bank gagal sistemik, maka kekurangannya akan
ditangani LPS.
Untuk penanganan bank gagal dengan skim apapun, pihak LPS
berdasarkan UU No.24/2004 diberikan kewenangan yang sangat memadai. Kewenangan
RUPS dan pengelolaan bank gagal sepenuhnya diserahkan kepada LPS sehingga
program penyelamatan dapat dilakukan lebih efektif. Termasuk dalam kewenangan
yang diberikan kepada LPS adalah untuk melakukan penyertaan sementara,
melakukan merger dan konsolidasi dengan bank lain.
Sekalipun diperbolehkan melakukan penyelamatan, bukan berarti
dana "talangan" dari LPS akan hilang. Semua biaya yang timbul akibat
melakukan penyelamatan suatu bank akan diperhitungkan sebagai penyertaan
sementara. Jangka waktu penyertaan LPS dibatasi dan harus menjual kembali
sahamnya maksimal 2-3 tahun sejak penyelamatan dilakukan.
Dalam hal suatu bank pada akhirnya harus dilikuidasi, maka hasil
penjualan aset bank terlikuidasi akan didistribusikan secara prioritas untuk
biaya gaji dan pesangon pegawai, biaya operasional dan biaya-biaya yang telah
dikeluarkan oleh LPS. Apabila hasil penjualan aset masih belum mencukupi,
maka sisanya akan tetap menjadi kewajiban pihak pemegang saham lama.
Dari skim penanganan bank gagal oleh LPS sebagaimana telah
diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa apabila terjadi kegagalan bank secara
sistem telah ada mekanisme penyelesaian yang lebih pasti dan terstruktur.
Disamping itu ada sangsi yang jelas dan tegas kepada pemegang saham yang
mengakibatkan banknya gagal. Hal tersebut tentunya akan memberikan suatu
perlindungan yang lebih memadai baik bagi masyarakat maupun pemerintah.
Sekalipun demikian harus tetap disadari bahwa keberadaan LPS
belum bisa membebaskan beban pemerintah. Sebab apabila kemampuan LPS baik dari
modal, akumulasi premi dan cadangan serta surplus usaha tidak mencukupi, maka
kekurangannya akan tetap dimintakan kepada pemerintah. Kalau dilihat
bahwa kemungkinan itu ada, maka LPS memang bukan dewa penyelamat yang
handal.
Pada akhirnya harus diyakini bahwa penanganan bank gagal yang
paling ampuh dan mujarab adalah apabila bank yang ada selalu sehat.
Mungkin ada yang berpendapat gagal tidaknya suatu bank tergantung kepada unsur
pengawasannya. Kesan itu tidak salah tetapi juga tidak selalu benar. Sebab
dalam keseharian yang menentukan sehat tidaknya bank kembali kepada pengelola
dan pemiliknya.
Sebagai langkah antisipasi kedepan, tentu ada baiknya dicarikan
suatu pendekatan yang lebih komprhensif dalam rangka menumbuh-kembangkan
perbankan yang kuat sekaligus sehat. Ada pendekatan yang ideal dan perlu dikaji
lebih lanjut. Biarkan BI fokus pada pengelolaan monoter dan regulator, lalu OJK
(Otoritas Jasa Keuangan) fokus kepada pengawasan dan LPS dalam penanganan bank
gagal. Jadi akan ada segitiga pengaman untuk perbankan nasional yang lebih
terstruktur sekaligus terukur.
Secara
garis besar fungsi, tugas dan wewenang Lembaga Penjamin Simpanan (“LPS”)
(Berdasarkan Undang – Undang No. 24
Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjaminan Simpanan
:
1.
Menjamin simpanan nasabah penyimpan
1.1. merumuskan dan menetapkan kebijakan
pelaksanaan penjaminan simpanan;
1.2. melaksanakan penjaminan simpanan
2. Turut aktif dalam memelihara stabilitas
sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya
1.1.
merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara
stabilitas sistem perbankan.
1.2.
merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal yang
tidak berdampak sistemik;
1.3. melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.
Tugas
dan wewenang LPS terkait penyelesaian (resolusi) Bank Gagal pada dasarnya
adalah :
1.
Menyelamatkan bank
1.1.
bank gagal yang tidak berdampak sistemik; Pasal 24 s/d Pasal 31 Undang-Undang
Nomor 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (“UU LPS”)
1.2.
bank gagal berdampak sistemik. Pasal 32 s/d pasal 42 UU LPS.
Catatan: Bank gagal berdampak sistemik adalah
suatu kondisi sulit yang ditimbulkan oleh suatu bank yang apabila tidak diatasi
dapat menyebabkan kegagalan sejumlah bank sehingga menyebabkan hilangnya
kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional. (Perpu Jaring
Pengaman Sistem Keuangan)
2.
Melikuidasi bank gagal yang tidak diselamatkan Pasal 43 s/d 60 UU LPS
FUNGSI,
TUGAS DAN WEWENANG LPS
Dalam
rangka melaksanakan tugas dan fungsi LPS di bidang penjaminan dan memelihara
stabilitas sistem perbankan, UU LPS telah memberikan beberapa ketentuan yang
dapat dijadikan acuan bagi LPS guna melaksanakan optimalisasi fungsinya,
diantaranya :
a. Ancaman sanksi pidana bagi pemegang saham,
direksi, dewan komisaris, pegawai dan/atau pihak lain yang terkait dengan bank
yang dicabut izin usahanya atau bank dalam likuidasi yang menghambat
pelaksanaan likuidasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 95 ayat (1) jo Pasal 47
ayat (2) dan ayat (3).
b. Meminta pertanggungjawaban direksi,
komisaris dan pemegang saham yang menyebabkan bank gagal sebagaimana dimaksud
dalam pasal 9 huruf a.
c. Menuntut pemegang saham yang terbukti
menyebabkan bank menjadi bank gagal apabila seluruh asset bank telah habis
dalam proses likudasi namun masih terdapat kewajiban, sebagaimana dimaksud
dalam pasal 54 ayat (5).
KEWENANGAN LPS DALAM MELAKUKAN PEMERIKSAAN TERKAIT FRAUD
Pasal 42 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK menyebutkan : LPS dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya, serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK.
Penjelasan
Pasal 42 UU OJK :
Pada dasarnya wewenang pemeriksaan terhadap
bank adalah wewenang OJK. Dalam hal LPS melaksanakan fungsi, tugas, dan
wewenangnya membutuhkan kegiatan pemeriksaan Bank, LPS dapat melakukan
pemeriksaan bank dan tetap berkoordinasi dengan OJK terlebih dahulu.
Lingkup pemeriksaan meliputi pemeriksaan premi, posisi simpanan bank, tingkat bunga, kredit macet dan tercatat, bank bermasalah, kualitas aset dan kejahatan di sektor perbankan.
KEWENANGAN LPS DALAM MEMINTA PERTANGGUNGJAWABAN PEMEGANG SAHAM, DEWAN KOMISARIS DAN PENGURUS:
Dalam
menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya di depan, LPS berwenang untuk:
1. Bank yang beroperasi normal Meminta pertanggungjawaban pidana pemegang saham, dewan komisaris, pengurus dan pihak lain yang: 1.1. Tidak menyerahkan anggaran dasar/akta pendirian, dokumen perijinan, surat pernyataan pertanggungjawaban, dll (Pasal 94 UU LPS) 1.2. Menyebabkan bank tidak membayar premi penjaminan (Pasal 94 ayat (2)) 1.3. Memberikan laporan dan/atau informasi yang tidak benar, palsu, menyesatkan berkaitan dengan penjaminan simpanan (Pasal 95 ayat (3)) 1.4. Menolak memberikan data/informasi/dokumen (Pasal 95 ayat (4) UU LPS).
Untuk Bank Gagal Bank Gagal Yang Diselamatkan 2.1. Meminta pertanggungjawaban pemegang saham, dewan komisaris dan pengurus yang menyebabkan bank gagal dengan mempergunakan pernyataan pertanggungjawaban dalam Pasal 9 huruf a ke 4 UU LPS. 2.2. idem butir 1.1 s/d 1.4 Bank Gagal Yang Tidak Diselamatkan 2.3. Meminta pertanggungjawaban pidana pemegang saham, dewan komisaris dan pengurus yang menyebabkan bank gagal dengan mempergunakan pernyataan pertanggungjawaban dalam Pasal 9 huruf a ke 4 UU LPS. 2.4. Meminta pertanggungjawaban pidana pemegang saham, dewan komisaris, pengurus, pegawai bank serta pihak lain yang tidak membantu memberikan data dan informasi dalam proses rekonsiliasi dan verifikasi dalam Pasal16 ayat (5) jo. 95 ayat (1) UU LPS.
Meminta
pertanggungjawaban pidana pemegang saham, dewan komisaris, pengurus dan pegawai
bank yang menghalang-halangi proses likuidasi dalam Pasal 47 ayat (3) jo. Pasal
95 ayat (1) UU LPS. 2.6. Mengacu pada kewenangan LPS yang bersumber pada pasal
9 huruf a ke 4 UU LPS maka LPS dapat meminta pertanggungjawaban pemegang saham,
dewan komisaris, pengurus dan pihak-pihak lain yang diduga melanggar : a.
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (“UU Perbankan”): Pasal 49
(1) (a.l. pencatatan palsu dalam pembukuan/laporan); Pasal 49 (2) (melanggar
asas kehati-hatian); Pasal 50 (pihak terafiliasi yang melanggar asa
kehati-hatian); Pasal 50 A (pemegang saham yang meyuruh dewan komisaris,
direksi atau pegawai bank untuk tidak mentaati asas kehatihatian. b. Ketentuan
dalam perundang-undangan lainnya a.l: diduga melanggar ketentuan dalam Pasal
372 (penggelapan), 374 (penggelapan dalam jabatan) dan 378 (penipuan) KUHP.
KERJASAMA DALAM PENANGANAN PERMASALAHAN HUKUM
LPS
dengan POLRI telah menandatangani Nota Kesepakatan Bersama tentang Kerja Sama
dalam pelaksanaan Fungsi, Tugas dan Wewenang LPS Nomor : MOU-1/DK/VI/2013 Nomor
: B/22/VI/2013 Tanggal 11 Juni 2013 2. LPS dengan JAM DATUN telah
menandatangani Nota Kesepakatan Bersama tentang Penanganan Masalah Hukum Bidang
Perdata dan Tata Usaha Negara Nomor : MOU-001/KE/X/2012 Nomor :
B-397/G/Gs.1/10/2012 3. Mou LPS dengan BPKP tentang Kerjasama dalam rangka
kelancaran pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang LPS Nomor :
MOU-001/DK-LPS/VI/2007 MOU-779K/D5/2007 4. MOU LPS dengan PPATK tentang
Kerjasama dalam rangka Pencegahan dan Pemberantasan tindak pidana pencucian
uang Nomor : MOU-001/DK/XI/2009 NK-21/1.02/PPATK/11/2009 5. MOU LPS dengan OJK
tentang Kerjasama dalam rangka Keterkaitan Pelaksanaan Fungsi dan tugas OJK
dengan LPS Nomor : PRJ-30/D.01/2014 MOU-1/DK/VII/2014.
KEWAJIBAN MENYAMPAIKAN LAPORAN HASIL AUDIT INTERNAL
Pemenuhan Struktur Organisasi – Peraturan Otoritas Jasa Keuangan no 4/POJK.03/2015 tentang Penerapan Tata Kelola bagi BPR
dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan no 7/SEOJK.03/2016 tentang
Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern BPR mewajibkan BPR:
§ membentuk Satuan Kerja Audit Intern (bagi BPR
yang memiliki modal inti paling sedikit Rp 50 miliar) atau
§ menunjuk seorang Pejabat Eksekutif yang
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan fungsi audit intern (bagi BPR yang
memiliki modal inti kurang dari Rp 50 miliar).
Pembentukan SKAI atau
penunjukkan PE Audit Intern selambat-lambatnya 31-03-2017. Tugas dan tanggung
jawab SKAI/PE Audit Intern adalah:
§ membantu tugas Direktur Utama dan Dewan
Komisaris dalam melakukan pengawasan operasional BPR yang mencakup perencanaan,
pelaksanaan maupun pemantauan hasil audit;
§ membuat analisis dan penilaian di bidang
keuangan, akuntansi, operasional dan kegiatan lainnya paling sedikit dengan
cara pemeriksaan langsung dan analisis dokumen;
§ mengidentifikasi segala kemungkinan untuk
memperbaiki dan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana; dan
§ memberikan saran perbaikan dan informasi yang
objektif tentang kegiatan yang diperiksa pada semua tingkatan manajemen.
Etika Auditor Intern – Auditor Intern harus memiliki Kode
Etik Profesi yang antara lain mengacu pada Code of Ethics dari The
Institute of Internal Auditors. Kode etik
tersebut paling sedikit memuat keharusan untuk:
§ berperilaku jujur, santun, tidak tercela,
objektif dan bertanggung jawab;
§ memiliki dedikasi tinggi;
§ tidak menerima dan tidak akan menerima apapun
yang dapat mempengaruhi pendapat profesionalnya;
§ menjaga prinsip kerahasiaan sesuai ketentuan
dan peraturan perundang-undangan; dan
§ terus meningkatkan kemampuan profesionalnya.
Sikap Mental Auditor Intern – Auditor Intern harus memiliki sikap
mental yang baik yang tercermin dari:
§ Kejujuran,
§ Objektivitas,
§ Ketekunan, dan
§ Loyalitasnya kepada profesi.
Kewajiban Penyampaian Laporan – BPR wajib menyampaikan Laporan Pelaksanaan dan
Pokok-pokok Hasil Audit Intern kepada Otoritas Jasa Keuangan setiap tahunnya,
dan untuk pertama kalinya adalah periode yang berakhir 31-12-2017.
1.
Laporan pelaksanaan
dan pokok-pokok hasil audit intern paling sedikit memenuhi standar yaitu
tertulis, diuraikan secara singkat dan mudah dipahami, objektif, konstruktif,
dan sistematis.
2.
Laporan disusun oleh
SKAI atau PE Audit Intern dan disampaikan kepada Direktur Utama dan Dewan
Komisaris dengan tembusan kepada anggota Direksi yang membawahkan fungsi
kepatuhan.
3.
Berdasarkan laporan
sebagaimana dimaksud pada angka 2), BPR menyampaikan laporan pelaksanaan dan
pokok-pokok hasil audit intern termasuk informasi hasil audit yang bersifat
rahasia kepada Otoritas Jasa Keuangan.
4.
Laporan ditandatangani
oleh Direktur Utama dan Komisaris Utama serta disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat pada tanggal 31 Januari tahun berikutnya.
Laporan hasil audit
periode 31-12-2017 disampaikan ke Otoritas Jasa Keuangan selambat-lambatnya
31-01-2018.
APPE HAMONANGAN HUTAURUK, SH., MH.