KWALIFIKASI MODEL TINDAK PIDANA KORUPSI
Korupsi (corruption) adalah masalah global yang dianggap sebagai TRAGEDI KEMANUSIAAN bahkan BERTENTANGAN DENGAN PERADABAN UMAT MANUSIA. Praktek perilaku KORUPSI dapat dianggap sebagai pengingkaran nilai – nilai demokrasi (denial of democratic values) yang lazim diterapkan dalam konsep pemerintahan totaliter (dictator) atau otoritarianisme yang berorientasi pada hegemoni kekuasaan berada dalam kungkungan (genggaman) tangan segelintir orang yang dijadikan boneka atau wayang (puppet) oleh DALANG (puppet master) sebagai pengendali kekuasaan. Perilaku korupsi juga merupakan PERBUATAN TIDAK BERMORAL (Immoral Behaviour) yang ministakan bahkan menginjak – injak Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam sistem kekuasaan diktator, masyarakat dan media tidak memiliki akses dan kebebasan untuk mengungkap berbagai praktek perilaku korupsi. Secara factual harus diakui bahwa kebebasan dan partisipasi publik untuk membongkar dan mengungkap praktek korupsi hanya dapat terwujud pada sistem pemerintahan yang demokratis. Potensi untuk mengungkap dan membongkar praktek korupsi hanya dapat terjadi dalam lingkungan masyarakat yang pluralistik, toleran, masyarakat memiliki kebebasan menyampaikan pendapat, dan ketika semua orang merasa ada jaminan keamanan tidak diancaman atau dikriminalisasi, dan bebas dari tekanan secara sosial maupun politis, selain yang paling penting dan paling utama adalah para petugas penegakkan hukum (law enforcement officer) tidak digunakan sebagai ALAT KEKUASAAN untuk memberangus aksi – aksi moral movement dari kalangan masyarakat yang memiliki komitmen dan eksistensi untuk melakukan social control dan upaya preventive terhadap kinerja birokrat yang berpotensi korupsi.
Pada beberapa waktu
yang lalu Indonesia pernah menempati peringkat pertama negara terkorup di Asia
Pasifik, yang menyebabkan masyarakat kurang percaya (bahkan ada tidak percaya
sama sekali) dengan kinerja, perilaku
dan program aparatur pemerintahan, berkaitan dengan tata kelola pemerintahan. Secara
umum dapat disimpulkan bahwa paling
sedikit terdapat 7 (tujuh) klasifikasi
peristiwa hukum yang dapat dikwalifikasikan sebagai TINDAK PIDANA KORUPSI yang
lazim terjadi di Indonesia, antara lain:
1.
Transactive corruption
Korupsi ini dilakukan saat terjadi transaksi. Biasanya terjadi saat ada pekerjaan publik dengan bargaining harga bersih dan harga kotor, dan kedua belah pihak mengambil keuntungan dan merugikan negara.
2. Extortive
corruption
Model ini disebut korupsi dengan modus suap atau sogokan, oleh pengusaha kepada penguasa.
3. Investive
coruption
Tindakan korupsi seperti ini terjadi ketika timbul kesalahan dalam kebijakan, yakni investasi yang belum memiliki kepastian dalam memperoleh keuntungan.
4. Nepotistive coruption
Korupsi jenis ini dapat terjadi antara lain melalui pemberian pekerjaan atau proyek dalam lingkungan lingkungan keluarga atau kekerabatan.
5. Devensive coruption
Adalah korupsi untuk mempertahankan diri, (memberikan sesuatu pada pihak lain ) sehingga merugikan negara.
6. Autogenic coruption
Korupsi yang dilakukan seseorang dan tidak melibatkan orang lain, seperti saat pembuatan Undang-undang yang dapat menguntungkan dirinya.
7. Supportive coruption
Korupsi yang dilakukan untuk melindungi tindaka korupsi lain.
Korupsi pada dasarnya berawal dari suatu
kebiasaan (habitual action) yang tidak disadari atau disadari (diinsafi) subyek
hukum tertentu, mulai dari kebiasaan menerima upeti, hadiah, suap, pemberian
fasilitas tertentu atau cara – cara lain yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara. Selain model KORUPSI sebagaimana diuraikan diatas,
pengklasifikasian yang hampir serupa dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Penyuapan (bribery) mencakup
tindakan memberi dan menerima suap, baik berupa uang maupun barang.
2. Embezzlement, merupakan
tindakan penipuan dan pencurian sumber daya yang dilakukan oleh pihak-pihak
tertentu yang mengelola sumber daya tersebut, baik berupa dana publik atau
sumber daya alam tertentu.
3. Fraud, merupakan suatu tindakan
kejahatan ekonomi yang melibatkan penipuan (trickery or swindle). Termasuk
didalamnya proses manipulasi atau mendistorsi informasi dan fakta dengan tujuan
mengambil keuntungan-keuntungan tertentu.
4.
Extortion, tindakan meminta uang atau sumber daya lainnya dengan cara
paksa atau disertai dengan intimidasi-intimidasi tertentu oleh pihak yang
memiliki kekuasaan. Lazimnya dilakukan oleh mafia-mafia lokal dan regional.
5.
Favouritism, adalah mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi
pada tindakan privatisasi sumber daya.
6. Melanggar hukum yang berlaku dan merugikan negara.
7. Serba kerahasiaan, meskipun dilakukan secara kolektif atau
korupsi berjamaah.
.
Jeremy Pope (2007: xxvi) mengutip dari Gerald E.
Caiden dalam Toward a General Theory of Official Corruption menguraikan
secara rinci bentuk-bentuk korupsi yang umum dikenal, yaitu:
- Berkhianat, subversif, transaksi
luar negeri ilegal, penyelundupan.
- Penggelapan barang milik lembaga,
swastanisasi anggaran pemerintah, menipu dan mencuri.
- Penggunaan uang yang tidak tepat,
pemalsuan dokumen dan penggelapan uang, mengalirkan uang lembaga ke
rekening pribadi, menggelapkan pajak, menyalahgunakan dana.
- Penyalahgunaan wewenang,
intimidasi, menyiksa, penganiayaan, memberi ampun dan grasi tidak pada
tempatnya.
- Menipu dan mengecoh, memberi kesan
yang salah, mencurangi dan memperdaya, memeras.
- Mengabaikan keadilan, melanggar
hukum, memberikan kesaksian palsu, menahan secara tidak sah,
menjebak.
- Tidak menjalankan tugas, desersi,
hidup menempel pada orang lain seperti benalu.
- Penyuapan dan penyogokan, memeras,
mengutip pungutan, meminta komisi.
- Menjegal pemilihan umum, memalsukan
kartu suara, membagi-bagi wilayah pemilihan umum agar bisa unggul.
- Menggunakan informasi internal dan
informasi rahasia untuk kepentingan pribadi; membuat laporan palsu.
- Menjual tanpa izin jabatan
pemerintah, barang milik pemerintah, dan surat izin pemrintah.
- Manipulasi peraturan, pembelian
barang persediaan, kontrak, dan pinjaman uang.
- Menghindari pajak, meraih laba
berlebih-lebihan.
- Menjual pengaruh, menawarkan jasa
perantara, konflik kepentingan.
- Menerima hadiah, uang jasa, uang
pelicin dan hiburan, perjalanan yang tidak pada tempatnya.
- Berhubungan dengan organisasi
kejahatan, operasi pasar gelap.
- Perkoncoan, menutupi
kejahatan.
- Memata-matai secara tidak sah,
menyalahgunakan telekomunikasi dan pos.
- Menyalahgunakan stempel dan kertas
surat kantor, rumah jabatan, dan hak istimewa jabatan.