
KESADARAN HUKUM, SUATU
ORIENTASI
Menurut sejarahnya,
fenomena permasalahan kesadaran hukum (legal awareness) timbul
dalam rangka mencari dasar sahnya hukum
yang merupakan konsekwensi dari masalah yang timbul didalam penerapan tata
hukum atau hukum positif tertulis (written positve law).
Dalam perkembangannya, kajian mengenai
kesadaran hukum selanjutnya menjadi wacana diskusi mencakup persoalan "apakah dasar sahnya hukum adalah
pengendalian dari penguasa atau kesadaran warga masyarakat".
Wacana “dasar
sahnya hukum”, menjadi perdebatan yuridis karena dalam kenyataan ada hukum yang berlaku
tetapi tidak ditaati oleh warga masyarakat sebagai suatu
aturan yang mengikat. Fokus masalahnya berorientasi pada hukum didalam
arti tata hukum. Sebagai perbandingan dapat dikemukakan misalnya berkaitan dengan pertanyaan: "apakah yang menjadi dasar sahnya
Undang – Undang Pokok Agraria (Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960), yaitu
pengendalian dari penguasa atau kesadaran warga masyarakat". Jawaban
atas pertanyaan tersebut sangat penting, agar dapat mengukur efektivitas keberlakuan suatu
undang – undang dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang antara lain
tergantung pada ketaatan atau kepatuhan para warga masyarakat, termasuk
pemimpin – pemimpinnya.
Disamping fenomena yuridis
mengenai "KESADARAN HUKUM",
terdapat pula anggapan yang menyatakan bahwa "kesadaran hukum bukan
merupakan suatu penilaian hukum terhadap peristiwa – peristiwa konkrit.
Kesadaran hukum merupakan suatu penilaian terhadap apa yang dianggap sebagai
hukum yang baik dan/atau hukum yang tidak baik". Dalam hal ini,
penilaian terhadap hukum didasarkan pada
tujuannya, yaitu apakah hukum tadi adil atau tidak (fair or unfair),
oleh karena pada hakekatnya warga masyarakat mengharapkan atau menghendaki
adanya keadilan dalam interaksi kehidupan bersama.
Apabila tata hukum (hukum
positif) yang ada dipakai sebagai titik tolak kajian diskusi/perdebatan, maka
pungutan liar (illegal fees) adalah bertentangan dengan
peraturan perundang - undangan maupun
bertentangan dengan hukum (onwetmatig dan onrechtmatig).
Karakter, perilaku, sikap dan budaya PUNGUTAN
LIAR (PUNGLI) demikian bukan merupakan "kesadaran
hukum". Suatu kesadaran hukum dianggap ada, bila misalnya, seseorang
memberikan penilaian apakah peraturan tertulis yang mengatur soal pemakaman di
wilayah DKI Jakarta adalah adil atau tidak adil.
Kesadaran hukum merupakan
suatu proses psikis yang terdapat dalam diri pribadi manusia, yang mungkin
timbul dan mungkin pula tidak timbul (dipengaruhi oleh berbagai situasi dan
kondisi). Namun demikian, "kesadaran hukum" pada
hakekatnya terdapat pada setiap diri manusia, oleh karena setiap manusia mempunyai
rasa keadilan (each people has a sense of justice). Oleh
karena itu secara umum dapat
disimpulkan bahwa kurang tepat untuk merumuskan
postulat bahwa tata hukum Indonesia harus dibentuk atas dasar
kesadaran hukum masyarakat atau rakyat., akan tetapi yang tepat adalah tata
hukum Indonesia harus dibentuk atas dasar asas kesadaran hukum warga
masyarakat, yaitu rasa keadilan.
Penilaian mengenai hal "adil tidaknya" hukum positif tertulis senantiasa tergantung pada taraf persesuaian antara rasa keadilan pembentuk hukum dengan rasa keadilan warga masyarakat yang kepentingan – kepentingannya diatur oleh hukum tersebut. Secara logis maka prosesnya adalah bahwa seseorang harus memahami hukum tersebut, sebelum dia mempunyai kesadaran hukum. Munculnya Kesadaran hukum masyarakat didorong oleh sejauhmana kepatuhan kepada hukum yang didasari oleh indoctrination, habituation, utility dan group identification. Menurut Yahya Harahap (Heri Tahir 2010:116) bahwa faktor - faktor yang mempengaruhi kesadaran hukum yaitu: (1) Faktor kecerdasan masyarakat, (2) faktor tingkat kehidupan sosial ekonomis (3) faktor latar belakang budaya yang masih diliputi sikap paternalism, dan (4) faktor penyuluhan hukum yang efektif..
APPE HAMONANGAN HUTAURUK, SH., MH.