KEBEBASAN
BERPENDAPAT DAN BERSERIKAT HARUS STERIL DARI HOAX DAN HATE SPEECH
Kata kunci:
- Berita Bohong
- Ujaran Kebencian
Pada masa yang lampau, termasuk pada jaman Orde Baru terdapat larangan dan pembatasan yang ketat terhadap hak – hak warga negara termasuk Buruh/Pekerja/Tenaga Kerja, meskipun hak – hak tersebut dijamin dan dilindungi oleh Konstitusi (UUD 1945). Pasca amandemen UUD 1945, hak – hak tersebut diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”.
Tetapi kemudian, keadaan tersebut berubah secara
drastis dan siknifikan setelah negara Indonesia meratifikasi Konvensi ILO No.
87/1948 Tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi,
pada tanggal 9 Juni 1998. Esensi dan fokus tujuan dari Konvensi meratifikasi Konvensi ILO No. 87/1948 Tentang
Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi adalah untuk
memberikan jaminan kepada pekerja/buruh dan pengusaha akan kebebasan untuk mendirikan
dan menjadi anggota organisasinya, demi kemajuan dan kepastian dari
kepentingan-kepentingan pekerjaan mereka, tanpa sedikitpun ada keterlibatan
negara, pasal 2 “Para
pekerja dan pengusaha, tanpa perbedaan apapun, berhak untuk mendirikan dan,
menurut aturan organisasi masing-masing, bergabung dengan organisasi-organisasi
lain atas pilihan mereka sendiri tanpa pengaruh pihak lain.”
Dalam
perkembangan selanjutnya, berkaitan dengan ratifikasi Konvensi ILO tersebut maka Pemerintah
Indonesia mengesahkan UU No. 21/2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh,
yang pada pokoknya . Undang-undang ini bertujuan untuk menjamin:
- Hak
pekerja untuk mendirikan dan menjadi anggota serikat pekerja (Pasal 5 ayat
1: setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh)
- Hak
serikat pekerja untuk melindungi, membela dan meningkatkan kesejahteraan
pekerja beserta keluarganya; dan
- Perlindungan
terhadap pekerja dari tindakkan diskriminatif dan intervensi serikat
pekerja (pasal 28 ” siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa
pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau
tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota
dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerj/serikat
buruh dengan cara: (a) melakukan PHK, memberhentikan sementara, menurunkan
jabatan, atau melakukan mutasi; (b) tidak dibayar atau mengurangi upah
pekerja/buruh; (c) melakukan intimidasi dalam bentuk apapun; (d) melakukan
kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh. Pasal ini
dikuatkan melalui pasal 43 bilamana melanggar pasal 28 “….dikenakan sanksi
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,0 (seratus juta) dan
paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta).
Selanjutnya hak – hak Kebebasan berserikat
dikalangan Buruh atau Pekerja juga dapat
dihubungkan dengan Universal Declaration of Human Rights, dan Undang – Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Akan tetapi pada prinsipnya, terhadap hak – hak
warga negara termasuk Buruh atau Pekerja untuk berserikat, berorganisasi dan
mengeluarkan pikiran atau pendapat secara lisan dan tulisan tersebut, juga
dilakukan pembatasan – pembatasan agar tidak mengganggu atau menyerang hak –
hak orang atau pihak lain terutama untuk kepentingan bangsa dan negara.
Dewasa ini, fenomena yang menjadi aktual sebagai
bahan perbincangan disemua kalangan adalah mengenai “HOAX” atau Berita/Kabar
Bohong, dan “HATE SPEECH” atau Ujaran Kebencian.
Pengertian dari perkataan BOHONG dan MENYESATKAN
adalah 2 (dua) hal istilah yang berbeda. Dalam frasa “menyebarkan berita bohong” yang diatur adalah perbuatannya, sedangkan dalam kata “menyesatkan” yang diatur adalah akibat dari perbuatan tersebut yang membuat orang berpandangan
salah/keliru. Ketentuan mengenai “Berita Bohon” (HOAX) diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pasal
28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik
(atau disebut “UU ITE”)
sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
(“UU 19/2016”) menyatakan:
“Setiap
orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan
yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik”.
Sedangkan Pasal 390 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (disingkat “KUHP”) menyebutkan rumusan yang agak berbeda yaitu digunakannya frasa “menyiarkan kabar bohong”. Ketentuan Pasal 390 KUHP tersebut berbunyi sebagai berikut:
Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak menurunkan atau menaikkan harga barang dagangan, fonds atau surat berharga uang dengan menyiarkan kabar bohong, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan.
Berita Bohong dapat juga dihubungkan dengan Undang-Undang No.40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta ketentuan yang diatur dan diancam dalam Pasal 310 dan 311 KUHP.
Selanjutnya
mengenai “UJARAN KEBENCIAN” diatur dalam Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pada hakekatnya, dasar dari
pengaturan “Ujaran Kebencian” sebagaimana dimaksudkan dalam UU ITE mengacu
pada Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). "Unsurnya yang
kunci ada dalam Pasal 156 KUHP, lebih bagus kalau dia (terdakwa) ada niat
menimbulkan rasa permusuhan antar-golongan, golongannya juga sudah ditentukan
(dalam Pasal 156 KUHP).
-
Ketentuan
Pasal 156 KUHP berbunyi, "Barang
siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan
terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp 4.500".
- Ketentuan Pasal 156a KUHP berbunyi, "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia".
Secara
berjenjang, maka Undang
- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
bersesuaian dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika
No.19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Bermuatan Negatif, yang merupakan
PERATURAN YANG BERSIFAT ORGANIK. Dalam hal ini hubungannya terlihat dengan jelas dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE
yang berbunyi, "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi
yang ditujukkan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA)".
Dr.(Cand.) Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.