ISI DAN SIFAT KAIDAH HUKUM
Ditinjau dari "isi
kaidah hukum", maka dapat diklasifikasikan 3 (
tiga) macam kaidah hukum (legal norms), yaitu:
1. Kaidah
– kaidah hukum yang berisikan suruhan (gebod);
2. Kaidah
– kaidah hukum yang berisikan larangan (verbod);
3. Kaidah
– kaidah hukum yang berisikan kebolehan (mogen);
Kaidah hukum yang
berisikan "suruhan" di bidang hukum perdata
yaitu Pasal 45 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
yang menyatakan bahwa "kedua orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak – anak mereka sebaik – baiknya". Sedangkan ketentuan
Pasal 8 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, secara eksplisit berisikan "larangan",
oleh karena didalam ketentuan Pasal 8 tersebut pada pokoknya
dinyatakan "mengenai larangan perkawinan".
Hazairin berpendapat bahwa
perkawinan dilarang antara dua orang yang:
1. Berhubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun lurus ke atas;
2. Berhubungan
darah dalam garis keturunan menyamping, antara saudara,
antara seorang dengan suadara orang tua dan antara seorang dengan
saudara neneknya;
3. Berhubungan
semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
4. Berhubungan
susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman
susuan;
5. Berhubungan
saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal
seorang suami beristeri lebih dari satu;
6. Mempunyai
hubungan yang oleh agama atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin;
Sedangkan menurut ajaran
agama Islam, yaitu: "Islam melarang seorang laki-laki menikahi
perempuan yang termasuk dalam maḥram muabbad dan maḥram gairu muabbad. Pertama,
maḥram muabbad, yaitu larangan menikahi perempuan - perempuan tertentu
selamanya. Kedua, maḥram gairu muabbad, yaitu larangan menikahi
perempuan-perempuan tertentu sementara". Terlepas dari norma
agama (religious norms) dan norma hukum (legal
norms), pada hakekatnya adanya ketentuan mengenai larangan
perkawinan/pernikahan merupakan konsep yang tidak bersesuaian
dengan (not in accordance with) pendekatan konsep hak -
hak asasi manusia.
Kaidah hukum yang
berisikan "kebolehan", yang terdapat dalam Undang –
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu pada Pasal 29 ayat (1) yang
menyatakan, "pihak – pihak yang menikah dapat mengadakan
perjanjian tertulis pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, asalkan
tidak melanggar batas – batas hukum, agama dan kesusilaan".
Ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan sebelumnya telah membatasi dibuatnya suatu "perjanjian
perkawinan pisah harta", yaitu hanya dapat dibuat sebelum atau pada
saat perkawinan berlangsung. Akan tetapi, dengan adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Tahun 2015, maka
perjanjian perkawinan tak lagi dimaknai hanya sebagai perjanjian yang dibuat
sebelum perkawinan (prenuptial agreement) tetapi juga bisa dibuat
setelah perkawinan berlangsung (postnuptial agreement). Meskipun Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Tahun 2015 tersebut
pada awalnya dimohonkan oleh Warga Negara Indonesia (WNI) yang
melangsungkan pernikahan/perkawinan dengan Warga Negara Asing (WNA)
dalam suatu "perkawinan campuran", namun demikian Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Tahun 2015 tersebut
berlaku juga terhadap pasangan menikah sesama Warga Negara
Indonesia (WNI).
Sedangkan apabila ditinjau
dari segi sifatnya, maka kaidah hukum dapat dibedakan menjadi:
1. Kaidah
– kaidah hukum yang bersifat Imperatif atau "norma hukum
yang memaksa" (berupa kaidah hukum yang
berisikan suruhan dan larangan);
2. Kaidah
– kaidah hukum yang bersifat fakultatif atau "norma hukum
yang tidak memaksa" (kaidah hukum yang berisikan
kebolehan);
Penulis: Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.