IDEA NEGARA KESEJAHTERAAN YANG DICITA – CITAKAN PENDIRI BANGSA INDONESIA
Konsepsi Negara Kesejahteraan yang dicita-citakan para
pendiri negara (founding Parents) Republik Indonesia harus senantiasa berkembang bersamaan dengan
kemajuan peradaban umat manusia. Konsepsi Negara Kesejahteraan Indonesia akan
langgeng dan lestari apabila masyarakat Indonesia belajar banyak dan berpedoman
pada nilai – nilai (values) kearifan
lokal di tanah air yang berkaitan dengan kerja sama sosial, tidak sebaliknya
justeru mengabaikan nilai – nilai budaya bangsa yang telah mengejawantah dalam
Pancasila sebagai way of life bangsa
Indonesia, dan Undang – Undang Dasar 1945. Secara berurutan dalam konteks ini,
faham negara mengalami perkembangan dari political
state menjadi Legal state dan
akhirnya Welfare state. Ketiga faham
tersebut semuanya memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki negara sebagai penentu
kehendak terhadap aktifitas rakyat yang dikuasainya. Pada faham Negara
Kesejahteraan sudah dikenal adanya pembagian (distribution) dan pemisahan (separation)
kekuasaan. Negara memiliki freies
ermessen, yaitu kebebasan untuk turut serta dalam seluruh kegiatan sosial,
politik dan ekonomi dengan tujuan akhir menciptakan kesejahteraan umum (bestuurszorg, yaitu kepada negara (administrasi / aparatur
negara) diberikan kebebasan dengan inisiatif sendiri melakukan perbuatan –
pernuatan (hukum) untuk menyelesaikan permasalahan – permasalahan yang mendesak
dan peraturan penyelesaiannya belum ada, belum dibuat oleh badan kenegaraan
yang bertugas membuat undang – undang.
Mengenai freies ermessen ini selanjutnya Bachsan Mustafa menyebutkan, “Dengan diberinya freies ermessen kepada administrasi negara, ini berarti
bahwa sebagian kekuasaan yang dipegang oleh badan pembentuk undang – undang
(legeslatif) dipindahkan ke dalam tangan pemerintah, administrasi negara,
sebagai badan eksekutif. Jadi, supremasi badan legeslatif diganti oleh
supremasi badan eksekutif, ini sebagai
konsekwensi logis dari suatu Welfare State yaitu ekonomi yang lebih dipimpin
oleh pemerintah, memperbesar kekuasaan pemerintah / eksekutif”[1].
Negara
kesejahteraan adalah suatu bentuk pemerintahan demokratis yang menegaskan bahwa
negara atau pemerintah bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kesejahteraan
rakyat, setidak – tidaknya terhadap kebutuhan hidup minimum rakyat. Dengan
pengertian lain dapat dikatakan bahwa negara kesejahteraan mengandung unsur
sosialisme, mementingkan kesejahteraan di bidang politik maupun di bidang
ekonomi, yang berdasarkan asas kebebasan (liberty),
asas kesetaraan hak (equality) maupun asas persahabatan (fraternity) atau kebersamaan (mutuality),
asas persahabatan atau kebersarnaan yang mengandung prinsip – prinsip
kekeluargaan.
Pada
aspek / bidang perekonomian, secara mendasar ada 4 (empat) fungsi negara, yaitu sebagai penjamin (provider) kesejahteraan rakyat, negara
sebagai pengatur (regulator), negara
sebagai pengusaha (entrepreneur)
yaitu menjalankan sektor-sektor tertentu
melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan negara sebagai wasit (umpire) untuk merumuskan standar –
standar yang adil mengenai sektor
ekonomi termasuk perusahaan negara (state
corporation). Fungsi negara seperti yang dikatakan oleh W. Friedmenn menunjukkan bahwa pada hakekatnya dalam faham negara kesejahteraan, negara
diperbolehkan untuk campur tangan dalam
bidang perekonomian. Hal tersebut berbeda dengan Negara Penjaga Malam (Nachtwachtersstaat)
yang berpendirian bahwa
pemerintah sebaiknya tidak ikut campur dalam bidang perekonomian, tetapi hanya
diperbolehkan campur tangan pada batas – batas yang sangat sempit dalam kehidupan
rakyatnya. Doktrin umum dari Negara Penjaga Malam yaitu Laissez
Faire, laissez aller (Leave it - economic system - alone), yakni ajaran
yang menyatakan bahwa kesejahteraan rakyat dapat meningkat bila pemerintah
tidak ikut campur tangan mengurus perekonomian, dengan semboyan
"Pemerintah yang terbaik adalah pemerintah yang tidak mencampuri
urusan perekonomian" (The least
government is the best government atau dengan istilah staatonthouding). Sedangkan
ideologi utama Negara Penjaga Malam adalah unsur capitalism.
Secara
historis konstitusional melalui penelaahan terhadap substansi seluruh Undang Undang Dasar yang pernah diberlakukan di Indonesia, maka
dapat dibuktikan bahwa negara hukum Indonesia menganut faham negara
kesejahteraan (welfare state / welfaart
staat) atau negara yang memberi
pelayanan kepada masyarakat (social
service state). Prinsip demokrasi ekonomi yang menjadi ciri khas dari
negara kesejahteraan terkandung pula
dalam Penjelasan UUD 1945 Pasal 33, yang menyatakan:
“Dalam
pasal 33 tencantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua,
untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat.
Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab
itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi”.
“Perekonomian
berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang
banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan
orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya”.
“Hanya
perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan
orang-seorang”.
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi
adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Konsepsi Negara Kesejahteraan tidak
semata – mata berhubungan dengan kesejahteraan ekonomi rakyat, tetapi masih
banyak elemen – elemen fundamental yang harus terpenuhi. Secara konseptual,
konsepsi Negara Kesejahteraan dalam Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 yang
menjadi tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia, adalah:
a. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia;
b. Memajukan kesejahteraan umum;
c. Mencerdaskan kehidupan bangsa;
d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;
Oleh karena itu, fungsi dan peranan
negara sangat significant agar
kebutuhan – kebutuhan dasar masyarakat tersebut dapat terpenuhi. Sehingga
campur tangan negara / pemerintah dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya
masih sangat relevan dan diperlukan. Menurut Prajudi Atmosudirjo, “Dalam setiap negara modern masa kini banyak
sekali campur tangan penguasa negara dalam kehidupan masyarakat sehari – hari,
yakni (a) campur tangan di bidang politik, (b) dalam bidang ekonomi, (c) dalam
bidang sosial budaya: kehidupan keluarga, perkawinan, perhimpunan, hiburan,
kesenian, olah raga, dan sebagainya, (d) dalam bidang agama dan kepercayaan,
dan (e) dalam bidang teknologi”[2].
Setiap negara
kesejahteraan selalu menerapkan asas good
governance atau pemerintahan yang baik, sebagaimana tercantum di dalam pasal 20
Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah (sekarang Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah telah dicabut dan diganti dengan Undang
– Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, yang selanjutnya telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah), sebagai berikut:
a.) Asas kepastian hukum, b.) Asas
tertib penyelenggaraan negara, c.) Asas kepentingan umum, d.) Asas keterbukaan,
e.) Asas proporsionalitas, f.) Asas profesionalitas, g.) Asas akuntabilitas,
h.) Asas efektifitas, dan yang terakhir, i.) Asas efisiensi. Namun demikian,
pada kenyataan yang sebenatnya (in
concreto) ada beberapa asas good
governance yang belum sepenuhnya diaplikasikan di Indonesi,
seperti asas keterbukaan. Sampai
sekarang kinerja pemerintah, terutama
yang menyangkut keuangan negara sama
sekali tidak bersifat transparan.
Anasir
yang paling penting dalam kriteria negara kesejahteraan adalah kesejahteraan
rakyat/kesejahteraan umum (bonum
publicum), sesuai dengan semboyan “kesejahteraan rakyat adalah hukum utama (bonum populi supreme lex). Sebuah
negara dapat dikatakan sebagai welfare
state, apabila kesejahteraan dan kemakmuran dalam negara tersebut dapat diwujud –
distribusikan secara seimbang dan
merata. Kondisi paradox dalam negara
Indonesia sekarang ini adalah sebagian besar rakyat Indonesia belum sepenuhnya dapat merasakan
kesejahteraan, yang seharusnya dijamin dan diewejantahkan oleh pemerintah,
terutama hak – hak mendasar yang dinyatakan dalam Undang – Undang Dasar 1945.
Pada pokoknya, dalam era pasca reformasi sekarang ini, asas good governance belum
diterapkan secara ideal untuk mewujudkan negara kesjahteraan sebagaimana yang
dicita – citakan oleh para pendiri negara Indonesis (the
Founding Fathers of Indonesia).
Sesuai
dengan konsep good governance, rechtsstaat/rule of law, welfare state, yang telah diformulasikan
sebagai konsensus nasional (national
consensus), maka pemerintah harus dapat mewujudkan masyarakat adil dan
makmur (fair and prosperous society)
melalui pengelolaan sumber daya alam, termasuk sumber daya alam mineral dan
batubara. Oleh karena itu, menjadi sangat relevan apabila pemerintah melakukan
pembenahan dan perbaikan terhadap berbagai regulasi di bidang pertambangan
mineral dan batubara. Selain itu, pemerintah harus berani dengan tegas
melakukan tindakan represif dalam rangka penegakkan hukum (law enforcement) bagi pelaku usaha yang mengabaikan ketentuan
untuk melaksanakan usaha pertambangan
yang baik dan benar, berkesinambungan dan berwawasan lingkungan. Kebijakan
legislasi dan tindakan represif tersebut sangat penting dan mendesak
ditindaklanjuti pemerintah agar negara Indonesia tidak terjebak di pusaran
krisis mineral dan batubara. Disamping itu, justeru kebijakan tersebut akan
memberikan efek domino yaitu terwujudnya negara kesejahteraan Indonesia melalui
pengelolaan sumber daya alam mineral dan batubara tersebut.