HUKUM PIDANA SUPRANASIONAL
Asas universalitas hukum pidana berkaitan
dengan efektivitas keberlakuan HUKUM
INTERNASIONAL, yang
didasarkan pada KONVENSI INTERNASIONAL, dimana terhadap suatu macam delik diancam
dengan pidana maka yang diberlakukan adalah
hukum pidana negara peserta konvensi tersebut. Dengan pengertian lain,
yang diberlakukan terhadap tindak pidana tersebut adalah hukum pidana negara peserta konvensi atau
dapat pula hukum pidana nasional atau IUS CONSTITUTUM negara
yang bersangkutan. Dengan demikian, hukum pidana supranasional pada hakekatnya ditentukan dalam
hukum bangsa – bangsa yang terdiri dari perjanjian – perjanjian tertutup antar
negara dan juga kesepakatan – kesepakatan tidak tertutup berupa kebiasaan – kebiasaan dan asas – asas hukum
yang bersifat universal. Sumber formil konsepsi pranata hukum pidana
supranasional didasarkan pada niveau (level urgensi) negara masing – masing peserta konvensi. Penerapan pranata Hukum Pidana Supranasional berkaitan dengan kepentingan besar dari tiap
– tiap negara dan kewenangan dari negara bersangkutan. Dapat dikemukakan
sebagai contoh, misalnya, tentang kejahatan penerbangan yang diterapkan dalam
Konvensi Tokyo, The Hague Convention dan
Montreal Convention, kemudian diinkorporasikan ke dalam Kitab Undang – Undang
Hukum Pidana (KUHP) dan kejahatan
tersebut diadili oleh hakim – hakim nasional, paradigma seperti demikian disebut
sebagai metode tidak langsung (indirect enforcement model).
Variabel
yang paling penting dan menentukan berfungsinya hukum pidana supranasional, ialah
diterimanya sejumlah peraturan – peraturan supranasional oleh negara – negara
berupa delik – delik yang mempunyai sifat internasional, ditetapkan sebagai
perbuatan yang “DAPAT DIPIDANA” berdasarkan ketentuan umum yang seragam, dipidana oleh Hakim yang
supranasional.
Copy Right: Appe Hamonangan Hutauruk