HUBUNGAN SISTEM HUKUM DAN SISTEM POLITIK
DARI SUDUT PANDANG HAK ASASI MANUSIA
Pengakuan atas eksistensi atau keberadaan negara
menurut aliran hukum alam (natural law) adalah didasarkan pada perjanjian masyarakat (social contract)
untuk membentuk negara (state, staat). Oleh karena itu negara
merupakan “wujud atau bentuk” lebih lanjut dari upaya “memperkuat” hegemoni masyarakat yang semula
hanya merupakan kelompok/komunitas kecil yang berproses menjadi negara.
Sedangkan negara menurut aliran hukum positif (positive law)
adalah tertib hukum (orderly law) yang
tumbuh bersamaan dengan pembentukan hukum melalui peraturan perundang – undangan,
termasuk Undang – Undang Dasar atau Konstitusi. Rumusan mengenai bentuk negara (form of state), dan sistem pemerintahan
(government system) ditentukan
dalam Undang – Undang Dasar atau
Konstitusi. Pada hakekatnya, negara (state, staat) merupakan organisasi
kekuasaan yang memiliki monopoli otoritas untuk mengendalikan, mengatur bahkan
memaksakan kehendaknya sesuai dengan kehendak bersama (mutual will) yang telah ditetapkan dalam hukum dan peraturan
perundang – undangan sebagai suatu kesepakatan.
I Dewa Gede Atmaja dalam
bukunya yang berjudul “Ilmu Negara”
mengintrodusir pendapat Belefroid (seorang ahli hukum) yang mendefinisikan, “Negara
adalah suatu persekutuan hukum yang mempunyai suatu wilayah dan dilengkapi
dengan kekuasaan tertinggi untuk menyelenggarakan kemakmuran rakyat sebesar –
besarnya”[1]. Berdasarkan
konsepsi tersebut, maka dapat dipahami bahwa, antara negara dengan sistem hukum
(sebagai produk negara) tidak dapat dipisahkan, dan mempunyai hubungan kausalitas
yang bersifat satu kesatuan terutama dalam kaitannya dengan asas legalitas (the principle of legality).
Dalam konteks wacana pembahasan mengenai sistem hukum (legal system), hal itu berarti membahas
hukum positif suatu negara, yang selalu terkait dengan peraturan perundang –
undangan yang berlaku yang disebut TATA HUKUM. Sistem Hukum Nasional
(national legal system) adalah dapat
dikatakan baik, apabila muatan materi/substansi yang terkandung dalam pasal – pasal dari berbagai peraturan
perundang - perundangan yang terkait saling mendukung/melengkapi dan tidak
bertentangan antara yang satu dengan yang lain, misalnya di Indonesia hubungan
antara Undang – Undang Advokat, Undang –
Undang Kepolisian, Undang – Undang Kejaksaan dan Undang – Undang Kekuasaan
Kehakiman, Undang - Undang Kepolisian dan Undang – Undang Mahkamah Agung yang
merupakan regulasi untuk merefleksikan semangat penegakkan hukum (law enforcement) adalah tidak boleh
saling bertentangan diantara peraturan perundang – undangan tersebut. Selain
itu, parameter untuk menilai baik atau buruk “Sistem Hukum Nasional” suatu negara adalah syarat keberlakuan
secara yuridis, keberlakuan secara sosiologis dan keberlakuan secara filosofis
yang harus dipenuhi dalam pembentukan setiap peraturan perundang – undangan. Soerjono Soekanto menyatakan, “Secara
konsepsional, maka inti dari penegakkan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan huungan nilai – nilai yang terjabarkan di dalam kaidah – kaidah
yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai penjabaran nilai tahap
akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup”[2]. Dalam
bukunya yang lain yang berjudul “Beberapa
Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia”, Soerjono Soekanto menyatakan pula, “Adanya
perlindungan yang effektif terhadap mereka yang terkena oleh aturan – aturan
hukum, halmana antara lain mencakup usaha – usaha menghindari pembentukan hukum
yang bersifat retroaktif, mengusahakan tak adanya peraturan – peraturan yang
saling bertentangan dan menghindari terlalu banyaknya perubahan – perubahan
pada hukum”[3].
Indonesia adalah
negara hukum (rule of law/rechtsstaat) sehingga memiliki
relevansi kausalitas dengan sistem
politik Demokrasi Pancasila (yang juga memiliki prinsip – prinsip yang sama
dengan Demokrasi Konstitusional). Jalinan harmonisasi hubungan Sistem Hukum dan Sistem Politik dalam tataran
kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, dapat diwujudkan apabila setiap komponen
negara (Rakyat dan Pemerintah termasuk alat – alat perlengkapan kekuasaan
negara yang disebut Aparatur Negara/Pemerintaha) bersedia secara sadar,
sukarela dan bertanggung jawab mematuhi/mentaati dan mengikuti pola hubungan – hubungan yang telah
diatur dalam Sistem Hukum yang dibentuk melalui kesepakatan politik melalui
lembaga – lembaga representatif. Melalui perilaku interaksi kerjasama kehidupan
berbangsa dan bernegara yang berpedoman pada Sistem Hukum (Tata Hukum) yang
terbentuk melalui Sistem Politik, maka akan tercipta/terjalinnnya interaksi sosial (social interactions) yang ajeg, yang
ditetapkan melalui kebijakan sosial (social policy) Pemerintah. Dalam
interaksi sosial yang tertata dengan baik, akan terjalin semangat kerjasama dalam
rangka membangun sistem politik dan sistem hukum yang relevan untuk mewujudkan
kesejahteraan kehidupan masyarakatnya. Dalam
hal ini Sistem Politik yang dibangun oleh Pemerintah termasuk jejaring jabatan
bahwannya yang bersifat subordinasi dalam negara demokrasi yang berdasarkan
hukum, harus menjadikan Sistem Hukum (Tata Hukum) sebagai pedoman kebijakan
(kebijakan sosial dan kebijakan politik) menuju terbentuknya Negara
Kesejahteraan (welfare state). Jejaring
jabatan yang merupakan suordinasi dari Pemerintah (executive), merupakan Mesin
Pemerintahan (the Administrative Machinery) yang menjalankan atau mengeksekusi
seluruh kebijakan Pemerintah. Berkaitan dengan postulat Penulis tersebut,
menurut C.F.G. Sunaryati Hartono
dalam bukunya yang berjudul “Bhinneka
Tunggal Ika Sebagai Asas Hukum Bagi Pembangunan Hukum Nasional” bahwa yang
dimaksud dengan “mesin pemerintahan” itu adalah seluruh bagian dari sistem pemerintahan
Republik Indonesia, baik yang bertugas:
1.
Menyelenggarakan fungsi eksekutif/pemerintahan dan
policy making;
2.
Menyelenggarakan tugas keamanan dan penegakkan hukum;
3.
Menyelenggarakan pelayanan publik; serta
4.
Secara khusus menyelenggarakan administrasi kenegaraan
an – sich;
5.
Mengelola keuangan negara; serta
6.
Mengadakan pengawasan terhadap kinerja semua lembaga
negara/pemerintahan.[4]
Kajian pendekatan aspek sosiologi, mendeskripsikan
bahwa pola hubungan tetap antar sesama warga masyarakat menimbulkan interaksi
sosial dan pada tataran terakhir membangun sistem sosial dalam negara. Talcot
Parsons mengatakan bahwa pada
hakekatnya interaksi antar individu yang
membentuk sistem sosial (social system).
Manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon) sebagaimana
digambarkan Aristoteles, selain didalamnya ada aturan yang membentuk hubungan
antar sesamanya, sekaligus juga ada langkah – langkah konkret dan jalan
keluarnya jika terjadi perbedaan untuk meredamnya. Hal ini penting, karena
didalam setiap masyarakat adanya perbedaan pendapat merupakan kewajaran.
Karenanya, makna zoon politicon, yaitu “man is a social and political
being”, kata Dean Pound, menjadi tepat. Karenanya, dalam masyarakat, selain
mengandung potensi untuk bersatu sebagai konsekwensi sifat dasar manusia hidup
bersama dalam suatu masyarakat, potensi konflikpun selalu ada. Konflik – dari
pandangan Pound – terkait dengan sifat ingin berbeda sekaligus ingin “berkuasa”
mengatur masyarakat. Untuk itu, adanya pengawasan, toleransi, dan juga rasa
afeksi/saling menyayangi antar warga menjadi penting. Tanpa adanya kehendak
tersebut, kehidupan bersama berlangsung tidak mulus, bahkan malahan konflik
yang terjadi. Dengan demikian, hukum merupakan satu sistem yang memiliki fungsi
integratif dalam masyarakat. Begitu eratnya hubungan hukum dan sosiologi
sehingga dalam sosiologi dikenal istilah pemegang peranan, peranan, pelaksanaan
peranan, hubungan antar peran, objek peranan dalam hukum yang berubah menjadi
subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, dan objek
hukum. Fakta – fakta tersebut sebagai suatu fenomena membuktikan bahwa terdapat
hubungan yang sangat erat antara hukum dan sosiologi dalam menata dan
mempersiapkan masa depan kehidupan
manusia menjadi kearah yang lebih baik.
Demikian pula, hubungan hukum dan politik
hukum tidak dapat dipisahkan, terutama
dalam konteks Hukum Tata Negara.
Dalam kajian Hukum Tata Negara, dikenal istilah negara (state), jabatan (institution),
pendapat umum (public opinion), dan
pendidikan kewarganegaraan (citizenship
training). Jika dilihat dari pendekatan politik, berubah menjadi sistem
politik (political system), peran
politik (political role), struktur
politik (political structure),
sosialisasi politik (political
socialization), dan budaya politik (plotical
culture). Dengan demikian harus dipahami bahwa batasan makna (definition) Sistem Politik (political
system) adalah multi dimensi bahkan sangat luas apabila
dihubungkan/dikaitkan dengan berbagai sistem ketatanegaraan yang masing –
masing dianut oleh negara – negara di dunia..
Oleh karena dalam politik dikenal adigium, “make
possible what seem impossible” (membuat sesuatu yang mungkin dari yang
terlihat tidak mungkin) mengakibatkan banyak pemain politik terjebak dalam
permainan politik kotor. Permainan kotor dalam berpolitik dapat mengakibatkan
hilangnya semangat dan cita – cita
penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga “permainan
politik kotor” harus dihindari, terutama dalam negara yang menganut sistem
Demokrasi Konstitusional.
Negara sebagai representasi dari “Pemegang Monopoli Otoritas dan Kedaulatan” maka sebagai perimbangannya memiliki beban kewajiban dan tanggung jawab untuk menjamin penegakkan hukum perlindungan hak asasi warga negara atau rakyatnya. Perlindungan atas Hak Asasi Manusia bersifat setara dan merata tanpa diskriminasi, termasuk kelompok masyarakat yang sering dimarginalisasi, rakyat yang rentan dan lemah posisinya, baik fisik, status maupun kedudukan dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, dan politik, antara lain; masyarakat miskin, kalangan perempuan dan anak – anak, kaum disabilitas serta kelompok minoritas dalam berbagai aspek Dengan demikian, pola pikir/wawasan berpikir (paradigm) Sistem Hukum dan Sistem Politik yang harus dibangun sesuai dengan esensi demokrasi konstitusional, dalam relasi dimana rakyat (yang diperintah) dan Pemerintah (yang memerintah) selaku penanggung jawab amanat rakyat/kedaulatan rakyat memiliki komitmen kesepakatan mengenai rancang bangun kehidupan berbangsa dan bernegara “dari state centered ke people centered” harus menyelaraskan Sistem Politik dengan Sistem Hukum (Tata Hukum) yang merefleksikan pengakuan dan jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia. Sesuai dengan dalil yang demikian, maka Dedi Soemardi dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Tata Hukum Indonesia” menegaskan,”Tidak dapat disangsikan lagi bahwa Negara sebagai organisasi menghendaki suatu kerjasama yang serasi diantara warga negaranya disamping adanya pembagian kerja diantara mereka demi untuk mencapai tujuan bersama”[5]. Selanjutnya Dedi Soemardi menjelaskan pula, “Disamping itu Negara mempergunakan kewibawaan itu untuk menjamin dan mengelola kepentingan – kepentingan materiil dan spirituil para anggota masyarakatnya berdampingan dengan usaha – usaha anggota – anggota masyarakat itu sendiri didalam kelompok – kelompoknya masing – masing secara bebas mengusahakan pemenuhan kepentingannya”[6]. Dengan demikian dapat dipahami bahwa merujuk deskripsi ilmiah diats, maka dalam tataran “Hubungan Sistem Hukum dan Sistem Politik dari Sudut Pandang Hak Asasi Manusia”, maka dalam negara hukum modern (modern rule of state, modern rechtsstaat) tugas utama negara untuk mewujudkan kebaikan umum (bonum commune, common good, bonum publicum, common wealth) melalui kepentingan utama rakyat yaitu mendapatkan pengakuan, perlindungan dan jaminan hak – hak fundamental/hak – hak mendasar (fundamental human rights) yang dimilikinya secara kodrati. Postulat elementer demikian, telah dirumuskan secara eksplisit dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945, yang menyebutkan, “Untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, keadilan sosial dengan berdasarkan pada: ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
[1]) I
Dewa Gede Atmaja. Ilmu Negara. Penerbit Setia Press. Malang, tahun 2012.
halaman 21.
[2]) Soerjono
Soekanto. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum. Penerbit PT
RajaGrafindo Persada. Jakarta, tahun 2008. halaman 5
[3])
Soerjono Soekanto. Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia.
Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta,
tahun 1983. halaman 92.
[4])
C.F.G. Sunaryati Hartono. Bhinneka Tunggal Ika sebagai Asas Hukum bagi
Pembangunan Hukum Nasional. Penerbit Citra Aditya Bakti. Bandung, tahun
2006. halaman 119-120.
[5])
Dedi Soemardi. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Penerbit IND – HILL – CO.
Jakarta, tahun 1987. halaman 17.
[6])
Dedi Soemardi.Ibid. halaman 18.