HAKIM DAN
PUTUSAN PENGADILAN
Ex officio, dalam rangka menjalankan
kekuasaannya maka Hakim berkewajiban mengadili seluruh bagian gugatan. Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1992 K/Pdt/2000 Tanggal 23 Oktober
2002, dalam pertimbangannya menyatakan: “Bahwa mengenai keberatan
1 dapat dibenarkan karena putusan Judex Factie yang telah membatalkan putusan
Pengadilan Negeri Bandung tanpa mempertimbangkan eksepsi Tergugat sehingga
putusan Judex Factie harus dinyatakan putusan yang tidak sempurna (onvoldoende
gemotiverd) ... bahwa keberatan 3 juga dapat dibenarkan karena Judex Factie
pertimbangannya kurang mengenai sita jaminan”.
Prinsip
hukum “ultra petitum partium”, an sich merupakan asas hukum yang
membatasi Hakim untuk tidak memutus melebihi yang dituntut atau mengabulkan apa
yang tidak dituntut oleh para pihak. Prinsip hukum yang demikian ditegaskan
kembali dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2831 K/Pdt/1996
Tanggal 7 Juli 1999, yang dalam pertimbangannya menyebutkan: “Bahwa dalam amar ketiga
dalam pokok perkara yaitu “Menghukum Tergugat III untuk membayar sisa dari
klaim asuransi yang belum dibayarkan kepada Penggugat sebesar Rp. 280.626.280,-
(dua ratus delapan puluh juta enam ratus dua puluh enam ribu dua ratus delapan
puluh rupiah)” adalah merupakan putusan yang melebihi yang diminta sedangkan
hal tersebut tidak dituntut oleh Penggugat, lagi pula diktum tersebut tidak ada
kaitannya dengan materi gugatan”.
Putusan Hakim yang
melebihi tuntutan masih dapat ditolerir sepanjang putusan tersebut
masih selaras atau memiliki relevansi yang signifikan dengan gugatan Penggugat,
sebagaimana diseutkan dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 140 K/Sip/1971 Tanggal 12 Agustus 1972.
Secara umum, KONSEP
DASAR dari Hukum Acara Perdata yang diterapkan di Indonesia
sebagai ius constitutum, meliputi hal – hal sebagai berikut:
-
Hukum acara mengatur hal – hal yang wajib, tidak wajib (bersifat
kebolehan), dan tidak boleh dilakukan oleh Hakim dalam menerima, memeriksa, mengadili,
memutus, dan menyelesaikan suatu perkara perdata.
-
Hukum acara mengatur tentang akibat hukum dari Putusan
Hakim yang bertentangan dengan aturan – aturan Hukum Acara Perdata..
-
Hukum acara memberi batasan dan/atau pengecualian terhadap aturan
– aturan imperatif tertentu sehingga memberi ruang penafsiran yang cukup pada
Hakim dalam melakukan diskresi terhadap proses beracara, dalam konteks
pengejawantahan asas Rechtsvinding. Hakim dapat mengesampingkan suatu aturan yang
bersifat imperatif dalam keadaan tertentu sebagai wujud lain dari diskresi
Hakim. Diskresi dimaksud harus diimplementasikan secara hati – hati dan
bertanggung jawab disertai dengan argumentasi hukum yang kuat dan bermuara pada
tujuan bagi terwujudnya keadilan, kebenaran dan kemanfaatan hukum sesuai dengan
tugas hukum yang bersifat dwitunggal yaitu memberi kepastian hukum dan
kesebandingan hukum.
Copy
Right: Appe Hamonangan Hutauruk