GUGATAN YANG MENGANDUNG CACAT HUKUM
Menurut Sudikno
Mertokusumo dalam bukunya Hukum
Acara Perdata Indonesia, ‘Gugatan’ adalah, segala tuntutan hak
yang mengandung sengketa. Kalau kita telaah secara sederhana, gugatan itu
berisi mengenai tuntutan hak dari pihak yang berkepentingan untuk mendapatkan
perlindungan hukum karena dirinya mengalami atau menderita kerugian akibat
perbuatan pihak lain.
Berpadanan dengan konsepsi
tersebut, Yahya Harahap dalam
bukunya Hukum Acara
Perdata: tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan. Yahya mengintrodusir definisi bahwa GUGATAN PERDATA sebagai gugatan yang
mengandung sengketa di antara para pihak yang berperkara dengan posisi para
pihak: a. Yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut sebagai penggugat (plaintiff); b. Yang
ditarik sebagai lawan berkedudukan sebagai tergugat (defendant).
Strategi agar gugatan
tidak ditolak oleh pengadilan (dalam putusannya), dalam teknik penyusunan
gugatan harus benar-benar diperhatikan mengenai persyaratan gugatan tersebut,
yang meliputi syarat formil dan syarat materiil sesuai
dengan Pasal 8 nomor 3 Rv (Reglement
of de Rechtsvordering). Apabila suatu gugatan mengandung
kecacatan baik formil maupun materiil, maka gugatan tersebut akan ditolak
atau tidak dapat diterima (niet
ontvankelijke verklaard/NO).
Pengertian dalam hal “dikabulkannya
gugatan”, menurut Yahya Harahap adalah, dikabulkannya suatu gugatan
adalah dengan syarat bila dalil gugatnya dapat dibuktikan oleh
penggugat sesuai alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 1866
Kitab Undang - Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Pasal 153, Pasal 154, dan
Pasal 164 Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR). Dikabulkannya
gugatan ini pun ada yang dikabulkan sebagian, ada yang dikabulkan seluruhnya,
ditentukan oleh pertimbangan Majelis Hakim.
Selanjutnya Yahya Harahap
menjelaskan, bahwa hal-hal yang penting dirumuskan dalam gugatan adalah sebagai
berikut: a. Syarat Formil, yakni gugatan didaftarkan di Pengadilan Negeri
sesuai dengan kewenangan relatif, diberi tanggal, ditandatangani oleh penggugat
atau kuasanya, serta adanya identitas para pihak; b Syarat Materil, yakni dasar
gugatan atau dasar tuntutan (fundamentum
petendi), dan tuntutan (petitum)
penggugat yang nantinya diputuskan oleh hakim berdasarkan gugatan atau dasar
tuntutan tersebut.
Akibat Lain Gugatan Cacat
Hukum
1. Gugatan Obscuur Libel atau
gugatan penggugat tidak jelas/kabur. Hubungan antara gugatan dengan gugatan
yang Obscuur
Libel itu sendiri terletak dari ketidaksesuaian isi fakta
hukum yang terjadi (fundamentum
petendi) dengan tuntutan (petitum), sebab
apabila seseorang membuat gugatan yang tidak memenuhi syarat, maka akibatnya
adalah gugatan itu disebut sebagai gugatan yang Obscuur Libel atau
tidak jelas sehingga menyebabkan gugatan “tidak dapat diterima”.
2. Posita (fundamentum petendi) tidak menjelaskan dasar hukum (rechtgrond) dan kejadian yang mendasari gugatan atau ada dasar hukum tetapi tidak menjelaskan fakta kejadian atau sebaliknya. Dalil gugatan yang demikian tentunya tidak memenuhi asal jelas dan tegas (een duidelijke en bepaalde conclusie) sebagaimana diatur pasal 8 Rv;
3. Tidak jelas objek yang disengketakan, seperti tidak menyebut letak lokasi, tidak jelas batas, ukuran dan luasannya, dan atau tidak ditemukan objek sengketa. Hal ini sebagaimana diperkuat putusan Mahkamah Agung No. 1149 K/Sip/1975 tanggal 17 April 1971 yang menyatakan "karena suat gugatan tidak menyebut dengan jelas letak tanah sengketa, gugatan tidak dapat diterima";
4. Penggabungan dua atau beberapa gugatan yang masing-masing berdiri sendiri. Terkadang untuk menghemat segala sesuatunya, penggugat dapat melakukan penggabungan atas beberapa pihak yang dianggap sebagai pihak tergugat (akumulasi subjektif) atau menggabungkan bebepa gugatan terhadap seorang tergugat (akumulasi objektif). Meskipun dibenarkan menurut hukum acara, hendaknya sebagai penggugat harus memahami bahwasanya penggabungan boleh dilakukan apabila ada hubungan yang sangat erat dan mendasar antara satu sama lainnya. Bila penggabungan dilakukan secara campur aduk maka tentunya gugatan akan bertentangan dengan tertib beracara. Sebagai contoh, misalnya menggabungan antara gugatan mengenai wanprestasi menjadi gugatan perbuatan melawan hukum.
Yahya Harahap pada
artikel Arti Gugatan
Dikabulkan, Ditolak, dan Tidak Dapat Diterima, menegaskan
pula bahwa ada berbagai cacat formil
yang mungkin melekat pada gugatan, antara lain, gugatan yang ditandatangani
kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat yang
digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR. Adapun arti gugatan yang cacat formil
menurut Yahya adalah:
1. Gugatan tidak memiliki
dasar hukum;
2. Gugatan error in persona dalam
bentuk diskualifikasi atau plurium
litis consortium;
3. Gugatan mengandung
cacat atau obscuur
libel; atau
4. Gugatan melanggar yurisdiksi
(kompetensi) absolute atau relatif dan sebagainya.
Selain hal – hal prinsip
diatas perlu pula dijelaskan mengenai asas ultra petita atau
sering disebut sebagai asas
iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur diatur
dalam Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR serta dalam Pasal
189 ayat (2) dan ayat (3) Rbg jo. Pasal 67 huruf c UU Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang artinya jika hakim dalam menjatuhkan
putusan atas perkara yang tidak dituntut atau meluluskan lebih dari yang
dimintakan (petitum), maka putusan tersebut merupakan putusan yang ultra vires dan harus
dinyatakan cacat meskipun putusan tersebut didasarkan pada itikad baik maupun
telah sesusai dengan kepentingan umum.
WRITER/COPY RIGHTS:
APPE HAMONANGAN HUTAURUK, SH., MH.