FILOSOFI NEGARA KESEJAHTERAAN YANG
DIRUMUSKAN DALAM PANCASILA
DAN PEMBUKAAN UNDANG – UNDANG DASAR 1945
1.
HUBUNGAN
PEMBANGUNAN HUKUM DENGAN TUJUANMEWUJUDKAN NEGARA KESEJAHTERAAN
DALAM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA.
ad. 1. Hakekat Negara Kesejahteraan
Pembangunan
nasional merupakan pencerminan kehendak untuk terus menerus meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata, serta
mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggara negara yang maju dan demokratis
berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945 (The national
development is reflection of willing to increase continually the Indonesians’
prosperity which is just and well – distributed, to develop a social life and
to carry out a developed and democratic country based on Pancasila and 1945
Constitution). Istilah demokratis dalam hal ini dimaksudkan untuk
mendeskripsikan suatu bentuk pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi berada di
tangan rakyat dan seluruh warga negaranya memiliki hak – hak yang
setara untuk berpartisipasi baik secara langsung maupun melalui perwakilan
dalam proses pengambilan kebijakan atau pembuatan keputusan politik (political
decision making). Proses pengambilan kebijakan atau keputusan politik dalam
konteks kebijakan legislasi yang dimaksudkan adalah kebijakan pemerintah untuk
membuat peraturan perundang – undangan sebagai instrumen dalam rangka mengelola
sumber daya alam mineral dan batubara dalam mengejawantahkan /
mewujudkan tujuan negara kesejahteraan sesuai dengan cita – cita
bangsa Indonesia.
Cita – cita
membangun “masyarakat adil dan makmur” yang menjadi mission
sacre bangsa kita, merupakan salah satu contoh bagaimana komitmen
universal atas keadilan sosial ini juga menjadi komitmen para
pendiri Indonesia. Kalimat terakhir Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 jelas
– jelas mengamanatkan hal itu: “... dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”. Keadilan sosial telah menjadi moral politik
yang melandasi semua langkah kita sebagai bangsa dalam mengelola ekonomi –
politik negara[1].
Keadilan sosial
juga menjadi prinsipil, karena realitas politik di sepanjang sejarah jatuh – bangunnya
bangsa – bangsa di dunia mengajarkan kita bahwa kekuatan paling dahsyat yang
bisa memporak – porandakan bangunan masyarakat sebagai suatu bangsa adalah
ketidakadilan sosial. Ketidakadilan sosial telah memainkan peranan dalam
memperkuat dimensi – dimensi radikal dan destruktif suatu ideologi.
Pemberontakan, kekacauan, bahkan revolusi di banyak belahan dunia menemukan
alasannya pada ketidakadilan sosial sebagai pembenar[2].
Hukum merupakan
alat (tool) yang harus dijadikan sebagai sarana (instrument) untuk
membangunan masyarakat dalam rangka mewujudkan negara kesejahteraan. Dasar
pemikiran (basic of thinking) konsep tersebut adalah
bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaharuan mutlak
diperlukan, oleh karena itu hukum diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia
ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan itu.
Pembangunan ialah
suatu proses perubahan individu / kelompok dalam kerangka mewujudkan
peningkatan kesejahteraan hidup, yang juga sebagai paradigma perkembangan
yang terjadi dengan berjalannya perubahan peradaban hidup manusia untuk
meningkatkan kualitas hidupnya. Pembangunan sebagai suatu sistem yang kompleks
mengalami proses perubahan dari yang sederhana sampai dengan yang rumit /
kompleks. Proses perubahan tersebut mengalami perkembangan perubahan cara
pandang, beberapa cara pandang tersebut adalah pertumbuhan, perubahan
struktur, ketergantungan, pendekatan sistem, dan penguasaan
teknologi.
Cita negara
berdasarkan hukum, di mana masyarakatnya merupakan self regulatory society.
Dengan demikian, pemerintah sudah dapat mereduksi perannya sebagai pembina dan
pengawas implementasi visi dan misi bangsa
dalam seluruh sendi – sendi kenegaraan melalui pemantauan terhadap
masalah-masalah hukum yang timbul dan menindaklanjuti keluhan –
keluhan masyarakat dan sebagai fasilitator yang baik. Dengan
pengembangan sistem informasi yang baik, kegiatan pemerintahan menjadi lebih
transparan, dan akuntabel, karena pemerintah mampu menangkap feedback dan meningkatkan
peran serta masyarakat.
Penegakan hukum
dalam hubungannya dengan pembangunan hukum adalah pelaksanaan semua ketentuan
hukum dengan konsisten tanpa memandang subjek dari hukum itu. Prinsip penegakan
hukum (law enforcement) mewujudkan adanya penegakan hukum yang
adil bagi semua pihak tanpa kecuali, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (basic
rights) dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat. Begitu pula, pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya harus
mendukung tegaknya supremasi hukum (supremacy of law) dengan
melakukan berbagai penyuluhan peraturan perundang –
undangan dan menghidupkan kembali nilai – nilai (values) dan
norma – norma (norms) yang berlaku di masyarakat.
Selain itu, Pemerintah Daerah perlu
mengupayakan Peraturan Daerah (Perda) yang bijaksana dan efektif, serta
didukung penegakan hukum yang adil dan tepat. Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DRPD) maupun masyarakat perlu menghilangkan kebiasaan yang dapat
menimbulkan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN).
Gerakan transparansi untuk mewujudkan prinsip –
prinsip good governance, yakni adanya transparansi
pertanggungjawaban kepada rakyat dan partisipasi, harus menjadi bagian
demokratisasi sistem politik ekonomi. Dalam hal ini yang paling mendasar perlu
adanya tekanan secara besar – besaran dari rakyat untuk reformasi hukum
ketatanegaraan dan konstitusi untuk memperkecil monopoli dan diskresi kekuasaan
politik dari tangan Presiden, sehingga dimungkinkan terjadinya
pembagian kekuasaan, pembatasan, dan penyeimbangan di dalam sistem
politik [3].
Transparansi
adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil oleh
pemerintah. Prinsip transparansi menciptakan kepercayaan timbal –
balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi
dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
Selain itu, Pembangunan hukum untuk mewujudkan negara kesejahteraan
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus diperhatikan pula
kepentingan sosial / masyarakat (social interest) secara
merata dan menyeluruh.
Beberapa indikator
yang dapat digunakan untuk mengukur transparansi, yaitu; (a) bertambahnya
wawasan, pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap penyelenggaraan
pemerintahan, (b) Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintahan, (c) meningkatnya jumlah masyarakat yang
berpartisipasi dalam pembangunan daerahnya, dan (d) berkurangnya
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.
Konsep Roscoe
Pound tentang kepentingan sosial merupakan upaya yang lebih eksplisit untuk
menciptakan suatu model hukum yang responsif. Dalam perspektif ini hukum yang
baik harus menawarkan sesuatu yang lebih dari keadilan
prosedural. Hukum itu harus berkemampuan fair (adil, memberi
kesempatan yang sama); hukum itu harus membantu menentukan kepentingan
masyarakat dan komited pada tercapainya keadilan yang substansial (hakiki)[4].
Namun, bentuk
tatanan hukum yang responsif ini sulit diwujudkan, lebih daripada
suatu ide abstrak, bagaimana suatu institusi – institusi dan
birokrasi sangat rentan karena banyaknya perilaku – perilaku melanggar hukum,
pengaruh ilmu dan teknologi yang terus berkembang seiring
perkembangan kejahatan, semakin canggih teknologi, semakin canggih modus
operandi kejahatan. Kondisi politik (partisipasi politik) akan menjadi sangat
menentukan terutama dalam kaitannya dalam penyelenggaraan keadilan dan
ketertiban bagi rakyat, karena dari konteks tatanan hukum yang represif telah
ditunjukkan bagaimana otoriternya kekuasaan ini, sehingga pelaksanaan hukum di
masyarakat memerlukan syarat – syarat yang relatif besar, seperti pemaksaan,
mematikan kreativitas dan pola pikir dan biaya – biaya lain yang
pada akhirnya merugikan hukum dan masyarakat, masyarakatlah yang harus
menanggung. Oleh karena itu, model yang cukup ideal apabila
dilaksanakan adalah tatanan hukum yang Otonomius, karena tidak dapat disangkal
bahwa tatanan hukum ini memberikan kemungkinan untuk mewujudkan ketertiban
institusional yang stabil dan tahan lama, tentu saja dengan segala faktor
positif dan negatifnya, suatu bentuk hukum sebagai institusi yang dirancang
untuk mampu melunakkan represi dan melindungi integritasnya sendiri, karena
hukum responsif memiliki kelemahan pula, bahwa konsep hukum
responsif kurang mantap dan sangat rentan, apabila melihat kondisi –
kondisi yang berlangsung dewasa ini, mengingat kelemahan –
kelemahan dan sangat rapuhnya jaringan penunjang untuk mewujudkan
tatanan hukum tersebut[5].
Perihal yang
sangat erat kaitannya dengan tranfaransi untuk kepentingan sosial
yaitu informasi, yang merupakan suatu kebutuhan penting
masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan daerah. Berkaitan dengan hal
tersebut Pemerintah Daerah perlu proaktif memberikan informasi lengkap tentang
kebijakan dan layanan yang disediakannya kepada masyarakat. Pemerintah Daerah
perlu mendayagunakan berbagai jalur komunikasi seperti melalui brosur, leaflet,
pengumuman melalui koran (surat kabar), radio serta televisi (media elektronik)
maupun media informasi lainnya. Pemerintah Daerah perlu menyiapkan kebijakan
yang jelas tentang cara masyarakat untuk mendapatkan informasi. Kebijakan ini
akan memperjelas bentuk informasi yang dapat diakses masyarakat ataupun bentuk
informasi yang bersifat rahasia, bagaimana cara mendapatkan informasi, lama
waktu mendapatkan informasi serta prosedur pengaduan apabila informasi
tidak sampai kepada masyarakat.
Selain itu perlu adanya
akuntabilitas, yaitu kemampuan untuk mempertanggungjawabkan semua tindakan dan
kebijakan yang telah ditempuh. Prinsip ini mengandung makna meningkatkan
akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut
kepentingan masyarakat luas. Seluruh pembuat kebijakan pada semua tingkatan
harus memahami kebijakan yang diambil harus dipertanggung-jawabkan kepada
masyarakat. Untuk mengukur kinerja secara obyektif perlu adanya indikator yang
jelas. Sistem pengawasan perlu diperkuat dan hasil audit harus dipublikasikan,
dan apabila terdapat kesalahan harus diberi sanksi. Dengan demikian, pemerintah
akan terhindar dari praktek – praktek maladministasi dalam
menjalankan fungsi pelayanan publik.
Konsep
maladministrasi pertama kali diintrodusir tahun 1967, ketika pemerintah Inggris
membentuk Parliamentary Commission for Administrasion (the ombudsman).
Maladminsitrasi dikaitkan dengan tindakan menyimpang dari aparat; yang tidak
mengindahkan atau tidak mengikuti norma – norma perilaku yang baik. The
Commission menyatakan: bad decisions are bad
adminstrastion and bad administration is maladministration .... bad decision
goes the bad rule, fallacy statutory regulation (Sir William Wade,
2000, h.97)[6].
Menelaah arti kata
maladministrasi, berasal dari bahasa Latin ”malum” yang
artinya jahat (jelek). Istilah administrasi sendiri dari bahasa
Latin administrare yang berarti melayani. Kalau
dipadukan kedua istilah tadi berarti pelayanan yang jelek, sedangkan pelayanan
itu dilakukan oleh pejabat publik. Maladministration may
be described as, administrative action (or inaction) based on
influenced by improper considerations or conduct[7].
Maladministrasi menyoroti perilaku (behaviour) aparat
dalam melaksanakan tugas pemerintahan, maupun dalam kaitan tugas pelayanan
publik, oleh karena itu ukuran tindakan dikaitkan dengan norma – norma perilaku
aparat. Harus dibedakan antara norma perilaku aparat dengan norma pemerintahan.
Norma perilaku aparat ditujukan untuk tindakan yang dapat dikualifikasikan
sebagai tindakan maladministrasi, sedangkan norma
pemerintahan ditujukan untuk suatu legalitas tindakan pemerintahan.
Undang – Undang
Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, menentukan: Pelaksanaan dalam
menyelenggarakan pelayanan publik harus berprilaku sebagai berikut:
- Adil
dan tidak diskriminatif;
- Cermat;
- Santun
dan ramah;
- Tegas,
andal, dan tidak memberikan keputusan yang berlarut – larut;
- Profesional;
- Tidak
mempersulit;
- Patuh
pada perintah atasan yang sah dan wajar;
- Menjunjung
tinggi nilai – nilai akuntabilitas dan integritas institusi penyelenggara;
- Tidak
membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan sesuai dengan
peraturan perundang – undangan;
- Terbuka
dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan kepentingan;
- Tidak
menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik;
- Tidak
memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi
permintaan informasi serta proaktif dalam memenuhi kepentingan masyarakat;
- Tidak
menyalahgunakan informasi, jabatan, dan / atau kewenangan yang dimiliki;
- Sesuai
dengan kepantasan;
- Tidak
menyimpang dari prosedur;
Dalam konteks ini, maka yang menjadi relevan untuk dicermati
adalah perilaku pemerintah untuk “adil dan tidak diskriminatif” serta “proaktif
dalam memenuhi kepentingan masyarakat” semata – mata demi tercapainya
tujuan negara kesejahteraan. Perilaku pemerintah dalam penyelenggaraan
pelayanan publik yang diatur oleh Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik tersebut, sangat sesuai dengan asas kepastian hukum yaitu asas
dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang – undangan
yang berlaku, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan, serta asas
akuntabilitas yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir
dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku, dalam rangka mewujudkan
pemerintahan yang baik (good governance).
Diskresi, discretion (Inggris), discretion (Prancis), freies
Ermessen (Jerman) adalah kebebasan bertindak atau mengambil keputusan
dari para pejabat Administrasi Negara yang berwenang dan berwajib menurut
pendapat sendiri. Diskresi diperlukan sebagai pelengkap dari Asas Legalitas,
yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan
Administrasi Negara harus berdasarkan ketentuan undang – undang. Akan tetapi
tidak mungkin bagi undang – undang untuk mengatur segala macam kasuspositie dalam
praktik kehidupan sehari – hari. Oleh sebab itu perlu adanya “kebebasan” atau
diskresi dari Administrasi Negara yang terdiri dari “Diskresi Bebas” dan “Diskresi
Terikat”. Pada “diskresi bebas” undang – undang hanya
menetapkan batas – batas, dan administrasi negara bebas mengambil keputusan apa
asalkan tidak melampaui / melanggar batas – batas tersebut.
Pada “diskresi terikat” undang – undang menetapkan beberapa
alternatif, dan Administrasi Negara bebas memilih salah satu alternatif[8]. Namun
demikian, diskresi tidak boleh digunakan apabila bertentangan dengan Asas –
Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) yang diadaptasi oleh pemerintah
Indonesia sebagai prinsip untuk mewujudkan negara kesjahteraan.
Welfare state adalah
gagasan yang telah lama lahir, dirintis oleh Prusia di bawah Otto von Bismarck
sejak 1850 – an. Dalam Encyclopedia Americana disebutkan
bahwa welfare state adalah “a form of government in
which the state assumes responsibility for minimum standards of
living for every person” (bentuk pemerintahan dimana negara dianggap
bertanggung jawab untuk menjamin standard hidup minimum setiap
warga negaranya). Gagasan negara kesejahteraan itu, di Eropa dan
Amerika di masa lampau, berbenturan dengan konsepsi negara liberal
kapitalistik. Namun kemudian sejarah mencatat bahwa benturan dan gagasan besar
itu telah menghasilkan negara – negara makmur dan rakyatnya hidup sejahtera,
seperti di Amerika Utara dan Eropa Barat[9].
Sudah lebih dari 60 tahun Republik Indonesia diproklamasikan
sebagai negara kebangsaan dan negara kesejahteraan. Namun wujud negara
kesejahteraan itu belum tampak. Bahkan kita menyaksikan dengan prihatin proses
komersialisasi yang meluas dan cepat di bidang pendidikan dan kesehatan seiring
makin terbatasnya APBN. Di tengah keterbatasan pemerintah menciptakan lapangan
kerja dan menaikkan daya beli rakyat, kondisi ini amat menyakitkan kelompok
rakyat yang tidak berpunya[10].
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa negara
kesejahteraan (welfare state) adalah negara yang menganut
sistem ketatanegaraan dengan menitik beratkan perhatian pada
kepentingan kesejahteraan warganegaranya. Tujuan dari negara kesejahteraan
bukan untuk menghilangkan perbedaan dalam ekonomi masyarakat, tetapi
memperkecil kesenjangan ekonomi dan semaksimal mungkin menghilangkan kemiskinan
dalam masyarakat. Adanya kesenjangan (gap) yang lebar antara
masyarakat kaya (the have / the rich) dengan masyarakat
miskin (the poor) dalam suatu negara tidak hanya menunjukkan
kegagalan negara tersebut didalam mengelola keadilan sosial, tetapi kemiskinan
yang akut dengan perbedaan penguasaan ekonomi yang mencolok akan menimbulkan
dampak buruk dalam segala segi kehidupan masyarakat. Dampak tersebut akan dirasakan
mulai dari rasa ketidakberdayaan masyarakat miskin dalam berbagai bidang,
hingga berdampak buruk pada penyelenggaraan sistem demokrasi.
Konsep negara kesejahteraan (welfare state) yaitu
berupaya untuk memperkecil jurang pemisah / kesenjangan kondisi ekonomi dalam
kehidupan masyarakatnya melalui berbagai usaha pelayanan
kesejahteraan warganegaranya. Dalam konsep negara kesejahteraan yang
mengutamakan untuk mengurusi secara langsung kesejahteraan rakyatnya, membawa
akibat bahwa negara kesejahteraan menjadi negara yang memasuki
sangat banyak segi kehidupan rakyat, mulai dari soal pendidikan, jaminan
sosial, jaminan kesehatan, dan sebagainya. Pemerintah sebagai alat negara,
makin lama makin dipaksa untuk menerima tanggung jawab positif atas penciptaan dan
distribusi kekayaan demi terciptanya keadilan sosial secara merata. Sejalan
dengan pelaksanaan tanggung jawab tersebut perlu dilakukan pembangunan hukum
untuk mengatur dan mengendalikan berbagai kepentingan masyarakat pada satu sisi
dan pedoman pemerintah (pusat dan daerah) untuk menjalankan fungsinya sebagai
pemegang peranan dalam rangka mewujudkan negara kesejahteraan dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
ad.2. Kewajiban dan Tanggung jawab Pemerintah untuk Mewujudkan
Kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
UUD 1945 menganut
paham kedaulatan rakyat Indonesia yang mencakup baik aspek demokrasi politik
maupun aspek demokrasi ekonomi. Berdasarkan kedua doktrin demokrasi tersebut,
sistem sosial di Indonesia dapat dikembangkan menurut prinsip – prinsip
demokrasi yang seimbang, sehingga menumbuhkan kultur demokrasi sosial yang
kokoh. Dalam paham demokrasi sosial (social democracy), negara
berfungsi sebagai alat kesejahteraan (wefare state).
Meskipun gelombang liberalisme dan kapitalisme terus berkembang dan
mempengaruhi hampir seluruh kehidupan manusia, namun juga terjadi penyesuaian
dengan elemen – elemen konstruktif dari sosialisme dalam bentuk market
socialism[11].
Mengenai
pengertian tujuan / tugas pemerintahan itu berbeda sekali kalau kita bandingkan
perkembangannya dari dahulu hingga sekarang. Kalau dahulu tugas / tujuan
pemerintahan itu hanya membuat dan mempertahankan hukum atau dengan kata lain:
hanya menjaga ketertiban dan ketenteraman (orde en rust) saja.
Tetapi sekarang tujuan / tugas pemerintahan tidak hanya melaksanakan undang –
undang (leges executio) – menurut Maurice Duverger dan Hans
Kelsen – atau untuk merealisir kehendak negara (Staatswil; general
will) – Jellinek, tetapi lebih luas lagi dari itu, yaitu
menyelenggarakan kepentingan umum (service publique, public service) –
demikian antara lain Kranenburg dan Malezieu[12].
Rumusan tujuan
pemerintahan menurut aline IV Undang – Undang Dasar 1945 adalah “melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial”.
Tugas
penyelenggaraan kepentingan umum (public service) itu
dijalankan oleh alat pemerintahan (bestuurorgaan
= administratief orgaan) yang bisa berwujud:
- seorang
petugas (fungsionaris) atau badan pemerintahan yang berdasarkan peraturan
undang – undang diberi kewenangan untuk menyatakan kehendakpemerintah c.q.
penguasa (wil v/h openbaar gezag). Dus yang dilengkapi dengan
kewenangan (berwenang) melakukan tindakan – tindakan (tindak – pangreh),
yang mengikat hukum (persoon of college met enig openbaar gezag
bekleed);
- badan
pemerintahan (openbaar lichaam)yaitu kesatuan hukum yang
dilengkapi dengan alat – alat / kewenangan memaksa (coersive) (“de
met wereldlijk overheidsgezag en physike dwangmiddelen
toegeruste gemeenschappen”)[13].
Bila pemerintahan
adalah demi untuk mereka yang diperintah dan bukan demi yang memerintah, maka
semua aktivitasnya pada umumnya hanya ditujukan pada kesejahteraan umum. Tentu
saja tidak satu kategori fungsi dapat dipisahkan sebagai sesuatu yang khusus
tertuju untuk hal itu. Pemeliharaan ketertiban dan pelaksanaan keadilan sama
pentingnya bagi kesejahteraan seperti juga pemapanan jaminan sistem
ekonomi. Karena itu, bila kita berbicara tentang “fungsi – fungsi kesejahteraan
umum”, kita mengucapkan ungkapan itu dalam arti yang khusus. Kita masukkan
kedalamnya apa saja yang dikerjakan pemerintahan yang langsung ditujukan pada
perbaikan kondisi dimana rakyat hidup dan bekerja, apa yang dilakukannya untuk
kesehatan dan keamanan, untuk perumahan dan kehidupan yang layak, untuk jaminan
sosial dan ekonomi dan sebagainya[14].
Pemerintah
mrmpunyai tanggung jawab dan dan tugas untuk memberdayakan masyarakat dalam
mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan. Melalui pelaksanaan otonomi daerah
dapat dirumuskan kebijakan-kebijakan daerah yang mengandalkan kondisi dan
potensi daerah masing-masing guna meningkatkan pelayanan publik, kesejahteraan
masyarakat dan daya saing daerah atas perubahan lingkungan strategis. Pada hakekatnya,
tujuan kesejahteraan mengisyaratkan Pemerintah maupun Pemerintah Daerah untuk
menyediakan pelayanan publik bagi rakyat Indonesia dan masyarakat lokal
secara efektif, efisien dan ekonomis.
Peraturan
Pemerintah No. 2 Tahun 2008 Tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan
Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen
Kehutanan, merupakan salah satu contoh negara telah menjadi alat
hisap Kapitalisme. Dalam Peraturan Pemerintah ini, negara memberikan kesempatan
luas kepada perusahaan -
perusahaan tambang untuk
melakukan kegiatan tambang di kawasan hutan lindung. Akibatnya perusahaan
tambang batubara memiliki kesempatan luas dan legal untuk melakukan kegiatan
pertambangan walaupun di kawasan hutan lindung. In concreto, kawasan
hutan lindung di Indonesia khususnya daratan Kalimantan menyimpan kekayaan
barang tambang yang sangat melimpah. Hal ini menjadi masalah utama negara kita
yang tidak memiliki “visi” bagaimana memanfaatkan sumber daya alam batubara
untuk kepentingan rakyat. Negara justru menjadi alat Kapitalisme untuk
menghisap dan mengeksploitasi kekayaan nasional tersebut. Selain problem
pemerintahan yang tidak memiliki visi untuk rakyat (laisses faire –
pro Kapitalis), negara kita juga melakukan kesalahan fatal
dengan menjadikan sumber daya alam yang melimpah dan strategis sebagai
kepemilikan yang dapat dikuasai oleh swasta dan asing. Implikasinya yaitu
terjadi eksploitasi batubara untuk kebutuhan dalam negeri maupun
untuk ekspor, dimana hasilnya tidak dinikmati oleh rakyat rakyat
tetapi semata – mata hanya menguntungkan
pihak swasta (lokal dan asing).
Terbaliknya
fungsi, kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah saat ini telah menimbulkan
kerusakan lingkungan dan sia – sianya pengelolaan kekayaan sumber
daya alam mineral dan batubara yang tidak tepat
sasaran bagi kesjahteraan rakyat. Liberalisasi ekonomi
dengan memindahkan penguasaan dan pemanfaatan tambang mineral dan batubara
kepada perusahaan tambang serta membatasi peran negara hanya sebagai
alat untuk melegalisasi (menjustifikasi) kepentingan swasta selaku pemilik
modal adalah sebab utama hilangnya fungsi negara. Dalam hal ini dapat dikatakan
pemerintah sebagai pengelola negara telah melakukan penyalahgunaan
hak ( misbruik van recht) dengan mengabaikan peri kehidupan dan kesjahteraan
rakyat. Krisis tambang mineral dan batubara yang terjadi
di Indonesia, pada dasarnya disebabkan oleh tidak optimalnya
pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah untuk mengelola
tambang mineral dan batubara, dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan rakyat dan kepentingan negara. Kesalahan tata kelola ekonomi yang
menyerahkan kepemilikan dan penguasaan tambang kepada pemilik modal,
mengakibatkan negara seolah – olah menjadi subordinasi pemilik modal
dan tunduk pada kepentingan – kepentingan Kapitalisme global.
Kondisi sosio –
politik suatu negara akan sangat mempengaruhi kinerja dunia usaha.
Kebijakan yang berubah akan sangat berpengaruh pada situasi yang ada, begitu
juga dengan stabilitas keamanan sebuah negara hingga implementasi kebijakan dan
penegakkan hukumnya. Dalam tataran demikian, birokrasi merupakan
instrumen penting dalam masyarakat modern yang keberadaannya sangat penting
dalam menjalankan tugas pemerintahan untuk menyelenggarakan kesejahteraan
umum (bestuurzorg). Eksistensi birokrasi ini sebagai
konsekwensi logis dari kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah untuk
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat (social wefare).
Pemerintah (pusat maupun daerah) dituntut terlibat dalam memproduksi barang dan
jasa yang diperlukan oleh rakyatnya (public goods and services) baik
secara langsung maupun tidak langsung, bahkan dalam keadaan tertentu negara
yang memutuskan apa yang terbaik bagi rakyatnya. Semata – mata demi mewujudkan
kemakmuran / kesejahteraan rakyat, maka Pemerintah menyelenggarakan suatu
sistem administrasi (birokrasi) yang bertujuan untuk melayani kepentingan
rakyat.
Menurut Weber,
“Birokrasi adalah sebagai salah satu sistem otorita yang ditetapkan secara
rasional oleh berbagai peraturan”. Dengan demikian birokrasi dimaksudkan untuk
mengorganisasi secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan banyak
orang. Sejalan dengan pendapat Weber, Blau dan Page memformulasikan “birokrasi
sebagai tipe dari organisasi, dimaksudkan untuk mencapai tugas – tugas
administratif besar dengan cara mengkoordinasikan secara sistematika
pekerjaan orang banyak”[15].
Pada hakekatnya
pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia mengacu pada konsep negara
kesejahteraan. Dalam sila kelima Pancasila serta Undang-Uundang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menekankan bahwa prinsip keadilan social
mengamanatkan tanggung jawab pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan sosial.
Pembangunan dalam bidang sosial ekonomi sebagai salah satu pelaksanaan
kebijakan Pembangunan Nasional yang mendapat perhatian utama dari pemerintah
dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kemakmuran dan
kesejahteraan tersebut yang merupakan tujuan Pembangunan Nasional harus
dapat dinikmati secara adil, berkelanjutan, merata bagi seluruh
rakyat Indonesia, oleh karena itu Pemerintah harus dapat menjalankan kewajiban
dan tanggung jawabnya sesuai dengan amanat konstitusi.
ad.3. Hubungan Hak Penguasaan Negara dengan Kedudukan dan
Kewenangan Pemerintah.
Dalam kedudukannya
sebagai pemegang kuasa pertambangan dengan kewenangan melakukan kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi, berdasarkan ketentuan Undang – Undang Nomor 4 Tahun
2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara maka pemerintah tidak
melaksanakan sendiri kewenangan tersebut. Pemerintah menyerahkan
kewenangan tersebut kepada badan pelaksana, yang
kemudian berdasarkan KKS diserahkan lebih lanjut kepada badan usaha
atau bentuk usaha tetap sebagai pelaksana kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi. KKS merupakan suatu bentuk perjanjian dalam kegiatan
usaha hulu yang melibatkan dua pihak yaitu Badan Pelaksana sebagai pelaksana
kuasa pertambangan yang dipunyai oleh pemerintah dengan Badan Usaha atau Bentuk
Usaha Tetap berkenaan dengan pelaksanaan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
sumber daya alam mineral dan batubara[16].
Orang, baik badan
hukum dan perorangan yang diberi akses
mengusahakan sumber daya mineral dan batubara harus dilandaskan pada
ijin tertentu. Hubungan hukum antara orang dengan mineral dan batubara tersebut
menurut UU Minerba sudah tidak dimungkinkan lagi didasarkan pada Kontrak Karya
sebagaimana yang telah ada selama ini. Namun demikian, Kontrak Karya yang telah
ada berlaku pada saat diundangkannya UU Minerba tetap berlaku sampai
berakhirnya Kontrak Karya[17].
UU Minerba menempatkan sumber daya mineral dan batubara
sebagai kekayaan bangsa Indonesia, yang dikuasai oleh negara untuk sebesar –
besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini ditegaskan dalam pasal 4 bahwa sumber daya
mineral dan batubara merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh
negara untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat. Istilah kekayaan nasional
mempunyai makna bahwa sumber daya mineral dan batubara merupakan kepunyaan dari
seluruh bangsa Indonesia. Dalam kerangka pengaturan pengelolaannya, bangsa
menyerahkannya kepada negara untuk lebih efektifnya pencapaian kemakmuran
rakyat[18].
Konsep pemegang
kuasa pertambangan dengan kewenangan melakukan kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi sebagaimana yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009
Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, tidak dapat dipisahkan dengan hak
penguasaan atas tanah. Berkaitan dengan hak penguasaan atas tanah oleh
negara, pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat. Aturan (kaidah hukum)
yang dirumuskan dalam ketentuan pasal 33 UUD 1945 ini secara
konstitusional merupakan landasan hukum bagi negara atas hak agraria atau
hak penguasaan atas tanah.
Secara
khusus, ketentuan – ketentuan pokok tentang pertanahan di
Indonesia diatur dalam Undang – Undang Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104 – Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2043), atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA).
UUPA berlaku sejak tanggal 24 September 1960 dan sejak saat itu dianggap mulai
berlaku Hukum Tanah Nasional di Indonesia. Tujuan pembentukan Undang Undang
Pokok Agraria adalah untuk kemakmuran rakyat, yang sesuai dengan
tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Undang – Undang Dasar
1945, yaitu terwujudnya kesejahteraan rakyat.
Ruang lingkup
agraria dalam Undang – Undang Pokok Agraria meliputi bumi, air,
ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ruang lingkup
bumi meliputi permukaan bumi (tanah), tubuh bumi, dan ruang yang ada di bawah
permukaan air. Dengan demikian, tanah merupakan bagian kecil dari agraria.
Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya,
melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian
yuridis, yang disebut hak penguasaan atas tanah. Hak penguasaan atas tanah
tersebut berisi serangkaian kewenangan, kewajiban, dan atau larangan bagi
pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dimiliki sebagai hak.
Sesuatu yang boleh, wajib, atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi
hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok ukur pembeda di antara
hak – hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah. Dalam
hak penguasaan atas tanah terdapat kewenangan yang dapat dilakukan, kewajiban
yang harus dilakukan, dan larangan yang tidak boleh dilakukan bagi pemegang
haknya.
Tujuan dari hak
menguasai oleh negara adalah untuk kepentingan sebesar – besarnya bagi
kemakmuran rakyat. Berdasarkan tujuan tersebut, maka setidak – tidaknya perlu
ada larangan – larangan yang tidak boleh dilanggar, yaitu:
- Apabila
dengan itikad baik tanah – tanah telah dikuasai dan dimanfaatkan oleh
rakyat, maka kenyataan itu harus dihormati dan dilindungi. Keberadaan
rakyat di tanah – tanah tersebut merupakan salah satu penjelmaan dari
tujuan kemakmuran rakyat. Rakyat harus mendapat hak didahulukan daripada
occupant baru yang menyalahgunakan formalitas – formalitas hukum yang
berlaku.
- Tanah
yang dikuasai negara tetapi tetapi telah dimanfaatkan rakyat dengan
itikad baik (ter goeder trouw) hanya dapat dicabut atau
diasingkan dari mereka, semata – mata untuk kepentingan umum, yaitu untuk
kepentingan sosial dan atau kepentingan negara.
- Setiap
pencabutan atau pemutusan hubungan hukum atau hubungan konkret yang
diduduki atau dimanfaatkan rakyat dengan itikad baik, harus dijamin tidak akan
menurunkan status atau kualitas hidup mereka karena hubungan mereka dengan
tanah tersebut (Manan, 2004: 230)[19].
Berdasarkan logika
diatas, maka semestinya makna dikuasai ole negara mengandung
pengertian sebagai berikut:
- Hak
(negara) itu harus dilihat sebagian titesis dari
asas domeinyang memberi wewenang kepada negara untuk melakukan
tindakan kepemilikan yang bertentangan dengan asas kepunyaan menurut adat
istiadat. Hak kepunyaan didasarkan pada asas komunal dan penguasa hanya
sebagai pengatur belaka;
- Hak
menguasai oleh negara tidak boleh dilepaskan dari tujuan yaitu demi
sebesar – besarnya kemakmuran rakyat. Negara harus memberikan hak
terdahulu kepada rakyat yang telah secara nyata dan dengan itikad baik
memanfaatkan tanah.
Sedangkan, ketentuan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sangat
luas, karena benda – benda apa saja yang merupakan kekayaan alam
yang ada di permukaan bumi dan di dalam bumi sudah diatur penguasaan dan
peruntukannya. Sehubungan dengan itu mengenai pertambangan, dalam pasal 4 ayat
(1) UU No. 4 Tahun 2009 disebutkan, mineral dan batubara sebagai sumber daya
alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara
untuk sebesar – besarnya kesejahteraan rakyat. Penguasaan kekayaan alam
tersebut oleh negara dalam hal ini diselenggarakan oleh pemerintah[20].
Adapun pihak
pemerintah yang mengurusi bidang pertambangan adalah kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral. Untuk tingkat daerah penguasaan dilakukan oleh Pemerintah
Daerah. Untuk kepentingan nasional, pemerintah dapat menetapkan kebijakan
pengutamaan mineral dan / atau batubara untuk kepentingan dalam negeri setelah
berkonsultasi dengan DPR. Kebijakan dapat dilakukan dengan pengendalian
produksi dan ekspor. Dalam melaksanakan pengendalian, pemerintah mempunyai
kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi tiap – tiap komoditas per tahun
setiap provinsi. Pemerinatah Daerah mempunyai kewajiban untuk memathui
ketentuan jumlah produksi sebagaimana yang ditetapkan oleh pemerintah[21].
Pemahaman
teoritik kekuasaan negara atas sumber – sumber kekayaan
alam (bumi, air, dan ruang angkasa), bersumber dari rakyat yang dikenal hak
bangsa. Pemerintah / negara dipandang sebagai organisasi yang
memiliki karakter lembaga masyarakat umum, sehingga
kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan
untuk mengatur, mengurus, memelihara dan mengawasi
pemanfaatan seluruh potensi sumber daya yang ada dalam wilayahnya
secara intensif, namun tidak sebagai pemilik, karena pemiliknya adalah bangsa
Indonesia. Adapun kaitan hak penguasaan negara untuk mewujudkan
sebesar – besarnya kemakmuran rakyat, dengan kedudukan dan kewenangan
Pemerintah adalah:
- Mengatur
segala bentuk pemanfaatan bumi dan air serta hasil yang didapat (kekayaan
alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat.
- Melindungi
dan menjamin segala hak – hak rakyat yang terdapat di
dalam atau di atas bumi, air, dan berbagai kekayaan alam tertentu yang
dapat dihasilkan secara langsung atau dapat dinikmati langsung
oleh rakyat.
- Mencegah
segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak
mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan
alam.
Sejalan dengan penguasaan
pertambangan berada pada pemerintah maka pengelolaannya dilakukan pembagian
wewenang dengan mengikuti tingkat kewenangannya, yaitu pemerintah tingkat
pusat, rovinsi, kabupaten / kota[22].
A. Pemerintah Pusat
Pemerintah Pusat memiliki kewenangan mengelola pertambangan
dengan ruang lingkup nasional, antara lain untuk melakukan tindakan sebagai
berikut:
- penetapan
kebijakan nasional;
- pembuatan
peraturan perundang – undangan;
- penetapan
standar nasional, pedoman, dan kriteria;
- penetapan
sistem perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional;
- penetapan
wilayah pertambangan yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan
pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat
RepublikIndonesia;
- Pemberian
IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha
pertambangan yang berada pada lintas wilayah provinsi dan / atau wilayah
laut lebih dari12 (dua belas) mil dari garis pantai.
B. Pemerintah Provinsi
Untuk pemerintah provinsi ruang lingkup kewenangan
pengelolaan sesuai dengan wilayah administrasinya, antara lain:
- pembuatan
peraturan perundang – undangan daerah;
- pemberian
izin usaha pertambangan, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan
pengawasan usaha pertambangan pada lintas wilayah kabupaten / kota dan /
atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;
- pemberian
izin usaha pertambangan, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan
pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada
pada lintas wilayah kabupaten / kota dan / atau wilayah laut 4 (empat) mil
sampai dengan 12 (dua belas) mil.
C. Pemerintah Kabupaten / Kota
Sedangkan untuk kewenangan Pemerintah Kabupaten / Kota dalam
melakukan pengelolaan pertambangan meliputi wilayah administrasinya, antara
lain:
- pembuatan
peraturan perundang – undangan daerah;
- pemberian
Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR),
pembinaan, penyelesaiaan konflik masyarakat, dan pengawasan usaha
pertambangan di wilayah kabupaten / kota dan / atau wilayah laut sampai
dengan 4 (empat) mil;
- pemberian
IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan
usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada di
wilayah kabupaten / kota dan / atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat)
mil;
- penginventarisasian,
penyelidikan dan penelitian, serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data
dan informasi mineral dan batubara;
- pengelolaan
informasi geologi, informasi potensi mineral dan batubara, serta informasi
pertambangan pada wilayah kabupaten / kota;
- penyusuanan
neraca sumber daya mineral dan batubara pada wilayah kabupaten / kota;
- pengembangan
dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha pertambangan dengan
memperhatikan kelestarian lingkunganl;
ad.4. Tambang untuk
kemandirian dan Kesejahteraan Rakyat.
Industri pertambangan saat ini dalam persimpangan, beralih
dari hanya mengandalkan sumber daya alam menjadi industri pada modal. Perlu
dukungan modal sangat besar, dan diharapkan menghasilkan keuntungan dan efek
ganda yang sangat besar. Penerapan aturan nilai tambah diharapkan dapat
memberikan kontribusi yang signifikan pada pemasukan negara. Kebijakan
legislasi dalam usaha pertambangan mineral dan batubara yang diatur dalam UU
No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dapat dianggap
sebagai suatu lompatan besar dalam meningkatkan level perusahaan pertambangan
di Indonesia, keadaan demikian yang disebut revolusi industri pertambangan di
Indonesia.
Melalui pemasukan
dan nilai tambah yang diperoleh oleh negara maka diharapkan dapat menciptakan
kemandirian dalam dunia pertambangan mineral dan batubara di Indonesia, yang
selanjutnya berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Salah satu
kebijakan yang ditentukan dalam UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 yaitu pengusaha
pertambangan harus mendirikan pabrik pengolahan, peleburan, dan pemurnian dalam
negeri. Kebijakan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah menghendaki peningkatan
nilai tambah dan penyediaan bahan baku untuk industri di dalam negeri, yang
pada akhirnya akan membuat kemandirian industri tambang mineral dan batubara di
Indonesia.
Sebagai fakta
ilmiah dapat dikemukan bahwa selama ini ekspor bijih besi meningkat luar biasa.
Data Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa selama 4 (empat) tahun terakhir,
sejak tahun 2008, ekspor bijih mineral Indonesia meningkat besar – besaran;
Ekspor bijih nikel dari 4,1 juta ton menjadi 33 juta ton; bijih bauksit dari
7,8 ton menjadi 40 juta ton; dan bijih besi dari 1,8 juta ton menjadi 12,
juta ton di tahun 2011. Padahal peningkatan nilai tambah memberikan keuntungan
cukup besar, sebagai contoh, memberi nilai tambah sekitar US $ 81,15 juta untuk
tiap 1 juta ton bauksit dan pengolahan lebih lanjut ke aluminium memberikan
nilai tambah baru sekitar US $ 185 juta[23]. Dapat
kita bayangkan apabila nilai tambah sebanyak itu, belum termasuk bahan mineral
yang lain dipergunakan untuk peningkatan sebesar – besarnya kesejahteraan
rakyat Indonesia.
Berkaitan dengan
kenyataan tersebut, pemerintah mengeluarkan aturan yang memperkuat aturan
sebelumnya yakni, Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Percepatan Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Pengolahan dan Pemurnian di
Dalam Negeri, dan Peraturan Menteri Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Nilai Tambah dan
Larangan Ekspor Produk Mineral Mentah. Pemerintah menyadari bahwa Indonesia
mempunyai peluang besar untuk mengambil peran dan pengaruh yang lebih besar di
pasar mineral dan batubara dunia. Indonesia memiliki cadangan laterit (oxide)
terbesar nomor 4 di dunia. Indonesia memasok sekitar 7 % (tujuh
persen) kebutuhan nikel dunia pada 2010, produsen tembaga
terbesar ke – 5 dengan memberi kontribusi 5 % (lima persen) produksi
dunia[24].
Kebijakan
legislasi larangan ekspor komoditi bahan mentah mineral harus diterapkan agar
Indonesia menjadi tuan di rumah sendiri dalam pemanfaatan sumber daya alam
mineral dan batubara. Kebijakan tersebut menimbulkan efek domino yang sangat
besar bagi ptogram pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan baik yang
menyangkut tenaga operator maupun tenaga ahli, akan banyak Sarjana Teknik
(Insinyur) Indonesia yang akan dipekerjakan.
Ekonomi mineral
membicarakan tentang nilai dan biaya tambang, investasi modal jangka
panjang, cadangan, distribusi, pemilikan dan aliran mineral secara internal
serta berbagai faktor seperti terjadinya mineral, ketidakpastian cadangan dan
penemuan, pengurangan, endapan, daur ulang dan persyaratan lingkungan tambang.
Dibedakan cadangan mineral dengan sumberdaya mineral. Cadangan mineral adalah
konsentrasi komoditi mineral yang dapat dimanfaatkan, yang dapat secara
ekonomis dan hukumiah diproduksikan pada saat evaluasi. Sedangkan sumberdaya
mineral meliputi endapan hipotetis, spekulatif, belum ditemukan, dan
subekonomis atau endapan yang belum ditemukan dan tak diketahui nilai ekonomisnya[25].
Negara Indonesia
dikaruniai sumber daya alam dan energi yang melimpah. Potensi sumber daya dan
cadangan mineral metalik tersebar di berbagai daerah dalam wilayah negara
Indonesia bagian barat dan bagian timur. Daerah – daerah yang
memiliki potensi sumber daya alam tersebut, antara lain; bauksit dan batubara
di pulau Kalimantan dan pulau Sumatera, tembaga dan emas di Papua, emas di Nusa
Tenggara, nikel di sulawesi dan kepulauan Indonesia
Timur, serta masih banyak kandungan mineral lainnya yang
tersebar di berbagai daerah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Negara /
Pemerintah akan dianggap bersalah kepada rakyat apabila Pemerintah
gagal melindungi hak – hak rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan, padahal
Undang – Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa bumi, air, dan
kekayaan alam yang terdapat didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, namun dalam tataran
penerapannya bumi, air, dan kekayaan alam yang terdapat didalamnya
tersebut dikuasai oleh investor. Begitu pula, Undang –
Undang Nomor 32 tahun 2004 secra eksplisit memberikan ruang dan
peluang sebesar – besarnya kepada Pemerintah Kabupaten dan
Pemerintah Kota untuk mengembangkan potensi yang ada serta sumber daya alam
secara lebih baik semata-mata demi kepentingan dan kemajuan masyarakat, demi
pembangunan daerah yang berkelanjutan dan demi kesejahteraan dan kemakmuran. Keberpihakan
Pemerintah kepada investor tentu saja berpengaruh pada rasa tanggung jawab
sosial perusahaan terhadap masyarakat atau yang disebut dengan corporate
social responsibility (CSR) khususnya masyarakat lingkar tambang, yang
dapat bersifat positif atau negatif.
Sumber daya
mineral sebagai salah satu kekayaan alam yang dimiliki bangsa Indonesia,
apabila dikelola dengan baik akan memberikan kontribusi terhadap pembangunan
ekonomi negara. Dalam hal ini, pemerintah sebagai penguasa sumber daya tersebut,
sesuai dengan amanat Undang – Undang Dasar 1945, harus mengatur tingkat
penggunaannya untuk mencegah pemborosan potensi yang dikuasainya dan
dapat mengoptimalkan pendapatan dari pengusahaan sumber daya tersebut sehingga
dapat diperoleh manfaat yang sebesar – besarnya bagi kemakmuran rakyat
(Ideologis, 17 Juli 2008). Untuk dapat mencapai kemakmuran tersebut diperlukan
kerja keras, karena keberadaan tambang yang ada di dalam perut bumi harus
dikelola dengan baik, dengan mengeluarkan dan melakukan pengolahan objek
penambangan. Hasilnya sebagian dipergunakan untuk kepentingan dalam negeri dan
sebagian lagi untuk kepentingan luar negeri[26].
Kekayaan alam
Indonesia yang sangat berlimpah, kekayaan laut, hutan, bahan tambang, dan
minyak, ternyata tidak serta merta dapat dinikmati untuk
kesejahteraan rakyatnya. Betapa banyak industri pertambangan yang dikuasai
perusahaan asing. Bangsa kita hanya menjadi pekerja dan Pemerintah / negara
hanya mendapat royalty yang sedikit. Sementara kerusakan
lingkungan yang ditimbulkan akibat industri pertambangan cukup besar. Oleh
karena itu, Pemerintah perlu melakukan tata kelola pertambangan sumber daya
alam mineral dan batubara dengan mengadakan regulasi yang lebih tegas sehingga
mempunyai nilai – nilai (values) efektivitas untuk mewujudkan
kemandirian dan kesejahteraan rakyat.
2. KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN MENURUT PANDANGAN HIDUP BANGSA
INDONESIA.
Dalam abad modern
ini telah terjadi pemekaran tugas negara dan bukan hanya sekedar
menjaga ketertiban tetapi juga mengusahakan agar setiap anggota
masyarakat dapat menikmati kemakmuran secara adil dan merata. Untuk mencapai
cita – cita wefare state tidak dapat dihindarkan, bahkan dibutuhkan campur
tangan negara dalam segala kegiatan warga negaranya. Di negara Barat cara ini
memang merupakan cara yang tepat, oleh karena mereka dalam abad ke XIX
mengalami ekses – ekses daripada struktur masyarakat yang terlampau
individualistis, sehingga asas aquality before the law malahan memukul anggota
masyarakat yang kedudukan sosial ekonominya lemah, sedangkan dalam hal – hal
tertentu negara menitikberatkan kepentingan umum dengan mengurangi kepentingan
individu[27].
Peranan negara
yang bertambah besar dalam usaha pembangunan mengakibatkan kian
bertambah besar campur tangan negara dalam segala bidang kegiatan
warga negara dengan dalih demi kepetingan umum atau demi kepentingan
pembangunan. Akibatnya sering terjadi bentrokan antara kepentingan negara
dengan anggapan bahwa kewajiban untuk menggunakan kekuasaannya demi kepentingan
umum, dan kepentingan individu yang mempertahankan hak miliknya, integritas
martabatnya dan kebebasannya sebagai manusia merdeka[28].
Dengan berpangkal tolak pada perumusan sebagai
yang digariskan oleh para pembentuk Undang – Undang Dasar kita yaitu, Indonesia
ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) maka
diasumsikan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari pengertian negara
hukum pada umumnya yang disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, dengan lain
perkataan rumusan negara hukum tersebut dipergunakan dengan ukuran pandangan
hidup maupun pandangan bernegara bangsa kita[29].
Berpangkal tolak pada realita bahwa kesejahteraan sosial
rakyat / masyarakat Indonesia pada saat ini, maka dibutuhkan konsep dan
paradigma berpikir yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dibidang
ekonomi, sosial, budaya, religius dan berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Konsep untuk menyelenggarakan kesejahteraan sosoial – ekonomi, pada hakekatnya
dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan semaksimal mungkin
pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, dalam konteks
ini sumber daya alam mineral dan batubara. Pengelolaan sumber daya alam
tersebut harus sesuai dengan nilai – nilai yang terkandung dalam pandangan
hidup bangsa Indonesia.
Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia yang
terkristalisasi dari nilai – nilai yang hidup, tumbuh dan berkembang dalam
budaya bangsa Indonesia. Pancasila ini menurut sejarah pembawaannya
adalah mengandung “ISI JIWA BANGSA INDONESIA” sehingga dapat dikatakan adalah
FILSAFAT BANGSA INDONESIA. Suatu filsafat itu adalah suatu pemikiran yang
bulat [30].
Filsafat adalah – untuk mengambil pokoknya saja – suatu hasil karya
manusia untuk menemukakan hakekat sesuatu. Adapun hakekat ini adalah
tempat sesuatu dalam alam semesta dan hubungannya dengan isi – isi Alam Semesta
lainnya. Dengan demikian, maka suatu filsafat itu sesungguhnya
adalah suatu pemikiran yang berkenaan dengan apapun juga yang terdapat dalam
Alam Semesta. Yang terdapat dalam Alam Semesta itu tidak saja manusia melainkan
pula makhluk lainnya dan tidak kurang benda mati. Tentang masing – masing dari
ini kita dapat mencari hakekatnya; bahkan tentang hal yang tak berwujudpun,
seperti lingkaran, garis tegak lurus dan sebagainya[31].
Konsep keadilan yang berasal dari pemikiran barat yang
mendasarkan diri pada suatu landasan filsafat barat, baik aliran filsafat
idealisme, realisme, liberalisme maupun yang mendasarkan diri pada aliran
filsafat lainnya seperti filsafat Marx, filsafat Engel dan filsafat bakunin,
tidak serta merta identik dengan konsep keadilan menurut pandangan bangsa
Indonesia. Perbedaan ini timbul karena pandangan hidup barat yang
bersifat individualistis, liberal dan materialistis dengan cara berpikirnya
yang abstrak, analitis dan sistematis, berbeda dengan pandangan hidup bangsa
Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan keluarga dan hidup dalam alam
yang diliputi suasana magis metafisis dengan cara berpikirnya yang konkrit dan
riil. Walaupun terdapat perbedaan konsep keadilan menurut pemikiran
barat dan pemikiran Indonesia, namun ada kesamaan dalam hal
tertentu, karena dari konsep tersebut unsur – unsur pokok yang
bernilai universal dari keadilan menurut pemikiran barat terdapat pula dalam
konsep keadilan menurut pandangan bangsa Indonesia yang berdasarkan pada
Pancasila[32].
Baik pandangan berdasarkan falsafah umum dari barat maupun
berdasarkan pandangan Pancasila, pada dasarnya konsep keadilan tersebut
mengarah pada berlakunya prinsip keadilan sosial, yaitu keadilan
yang lebih banyak memberikan perhatian dan bobot kepada kesejahteraan
masyarakat. Oleh karena itu, perlu diamati implementasi rumusan umum asas
keadilan yang merupakan inti dari upaya perlindungan hukum. Konsep
keadilan menurut pandangan bangsa Indonesia tertuang dalam Pancasila yang
merupakan filsafat bangsa[33].
Apabila konsep negara kesejahteraan adalah ide universal
yang dianggap sebagai ide alternatif mengenai kebijakan negara dalam mengatasi
kemiskinan, maka penelusuran mengenai upaya para pendiri bangsa dahulu (founding
fathers) dalam meletakan dasr pemikiran tersebut adalah usaha
pengenalan diri kita kembali akan keluhuran nilai-nilai (jika ide negara
kesejahteraan kita anggap sebagai nilai luhur untuk diterapkan saat
ini) yang sebenarnya sejak dahulu telah dirumuskan dalam Undang –
Undang Dsar 1945. Selain itu, upaya ini dapat dikatakan sebagai tanda bahwa
kita hendak mencari format pemikiran negara kesejahteraan yang khas Indonesia.
Pemikiran para tokoh bangsa Indonesia dahulu mengenai konsep negara
yang ideal (negara yang mampu menyejahterakan rakyatnya) itu juga tidak
terlepas dari proses perdebatan dengan argumentasi ilmiah yang beraneka ragam.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa mengandung arti
bahwa didalam cara memandang masalah atau hal – hal yang dihadapinya, bangsa
Indonesia berorientasi pada Pancasila. Pandangan hidup juga mengandung arti
bahwa tindakan atau tingkah laku didasarkan atas suatu endapan pengalaman yang
telah tertanam sebelumnya. Sampai berapa jauh pantulan itu di dalam penglihatan
yang dibawakan oleh bangsa kita akan tampak di dalam reaksi terhadap tantangan
yang dihadapinya[34].
Inti pandangan hidup itu akan konsisten. Berkenaan dengan
adanya perkembangan masyarakat, akan terdapat pula variasi dalam tindakan. Hal
ini selalu mungkin berkenaan dengan perkembangan masyarakat yang aneka ragam
persoalannya dan bermacam – macam jenisnya. Tantangan akan dijawab sesuai
dengan apa yang ada dalam diri sendiri bangsa[35].
Pancasila sebagai pandangan hidup Bangsa Indonesia,
sebagaimana ditentukan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Nomor II / MPR / 1979, maka Pancasila itu adalah jiwa seluruh
rakyat Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar negara kita.
Setiap bangsa yang ingin berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas arah serta
tujuan yang ingin dicapainya sangat memerlukan nilai-nilai luhur yang dijunjung
sebagai pandangan / filsafat hidup. Dalam pergaulan hidup terkandung konsep
dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan oleh suatu bangsa, terkandung
pikiran-pikiran yang terdalam dan gagasan suatu bangsa mengenai wujud kehidupan
yang dianggap baik.
Cita hukum atau rechtsidee adalah apa yang
dicita – citakan atau apa yang dituju oleh hukum, jadi cita hukum berada dalam
dunia idee, tumbuh dalam cita – cita dan eksis dalam dunia sollen.
Cita hukum (rechtsidee) menurut Rudolf Stammler sebagaimana
dikutip Theo Huijbers (1998: 150), adalah konstruksi pikir yang mengarahkan
hukum pada cita – cita yang diinginkan masyarakat. Cita hukum berfungsi sebagai
pemandu untuk mencapai apa yang dicita – citakan. Cita hukum itu mengandung
prinsip yang berlaku sebagai norma bagi keadilan atau ketidakadilan hukum,
dengan demikian cita hukum secara serentak memberikan manfaat ganda, yaitu
dengan cita hukum dapat diuji hukum positif yang berlaku, dan pada
cita hukum dapat diarahkan hukum positif menuju hukum yang adil. Secara
spesifik Stammler mengidentifikasikan cita hukum sebagai kemauan yuridis, yaitu
suatu kemauan yang mendorong setiap orang untuk membentuk peraturan – peraturan
bagi masyarakat dalam hukum positif. Disini terlihat bahwa kemauan yuridis
merupakan dasar dan syarat bagi seluruh hukum positif. Kemauan yuridis ini
bersifat transendental, yaitu bahwa kemauan ini berfungsi sebagai prinsip
terakhir dari segala pengertian tentang hukum. Cita hukum mengandung arti bahwa
pada hakekatnya, hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat berakar pada
gagasan, rasa, karsa, cipta, dan pikiran dari masyarakat itu sendiri. Dengan
demikian, hukum yang adil adalah hukum yang diarahkan oleh cita hukum untuk
mencapai tujuan masyarakat (Roeslan Saleh, 1995: 50). Selanjutnya Radbruch
menegaskan pula bahwa cita hukum tidak hanya berfungsi sebagai tolak ukur yang
bersifat regulatif yang menguji apakah suatu hukum positif adil atau
tidak, melainkan juga sekaligus berfungsi sebagai dasar yang bersifat
konstitutif, yaitu yang menentukan bahwa tanpa cita hukum, hukum akan
kehilangan maknanya sebagai hukum (Koesoemo Sisworo 1995: 121). Hakekat
keadilan adalah penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan dengan
mengkajinya oleh suatu norma yang menurut pandangan subjektif
melebihi norma – norma lainnya (Sudikno Mertokusumo 2003: 77).
Penilaian tentang keadilan ini pada umumnya hanya ditinjau dari satu pihak
saja, yaitu pihak yang menerima perlakuan, misalnya kalau kebijaksanaan
pemerintah telah dipertimbangkan masak – masak bahwa hal itu demi kepentingan
umum, demi kepentingan orang banyak, tetapi ada warga negara yang tidak
terpenuhi kebutuhannya, apakah kebijaksanaan pemerintah itu dapat dinilai tidak
adil, maka keadilan harus dilihat dari dua pihak, yaitu pihak yang
memperlakukan dan pihak yang menerima perlakuan[36].
Republik Indonesia sebagai negara hukum Pancasila pasti
mendambakan suatu tertib hukum. Namun tertib hukum yang
dimaksud bukan dalam arti tertib hukum yang berlandaskan undang –
undang semata – mata. Tertib hukum yang dikenendaki adalah tertib hukum yang
luwes yang juga dapat mendukung gerak iramanya pembangunan[37].
Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum ataupun
sumber tertib hukum bagi kehidupan hukum bangsa Indonesia, maka hal itu harus
diartikan bahwa Pancasila adalah sumber bagi hukum tidak tertulis dan sumber
bagi hukum tertulis dalam kehidupan bangsa Indonesia. Dengan perkataan lain,
rumusan itu sama dengan rumusan yang menyatakan bahwa Pancasila menguasai
seluruh hukum yang berlaku bagi bangsa Indonesia, baik hukum yang tertulis
maupun hukum yang tidak tertulis[38].
Maka dalam mengartikan hukum rumusan yang menyebutkan bahwa
Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum, kita hanya dapat menyimpulkan
bahwa yang dimaksud ialah sumber dari segala sumber hukum yang terbatas dalam
kehidupan rakyat Indonesia bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kita tidak
perlu menafsirkan lebih luas daripada itu[39].
Di dalam mencari suatu teori bernegara yang konkrit, maka
sudah barang tentu kita tidak dapat melepaskan diri dari teori bernegara pada
umumnya. Teori bernegara yang konkrit dari bangsa Indonesia dapat kita katakan
telah mengkaitkan hal – hal yang umum dan universal dari teori bernegara pada
umumnya dengan hal – hal yang khusus pada suatu kelompok manusia (situatio
Gebundenheit) bersumber pada alam dan budaya bangsa (Natur und Kultur
Bedingungen), yang oleh Prof. Soepomo disebut dengan istilah suasana kebatinan
bangsa Indonesia (geistlichen Hintergrund). Suatu negara dapat kita
lihat sebagai suatu kesatuan yang utuh (Ganzheit) ataupun
dapat kita lihat dalam strukturnya. Dengan teori dua segi ini (zweiseiten theorie) dapat
dijelaskan bahwa luas lingkup ketatanegaraan Indonesia yaitu dimana ideologi
Pancasila diimplementasikan[40].
Apabila dalam teori ekonomi Barat (Klasik – Neoklasik –
Keynesian) diasumsikan bahwa hakekat manusia adalah egois dan selfish, sedangkan
dalam teori ekonomi “timur” (Marxian) manusia dianggap
bersemangat kolektif, maka dalam masyarakat Pancasila manusia mencari
keseinbangan antara hidup sebagai pribadi dan hidup sebagai warga masyarakat,
antara kehidupan materi dan kehidupan rohani. Menurut Pancasila yang
Berketuhanan Yang Maha Esa, selain homo – economicus,
sekaligus homo – metafisikus dan homo – mysticus.
Ini berarti bahwa dalam ekonmomi Pancasila manusia tidak hanya dilihat dari
tata segi saja yaitu instink ekonominya, tetapi sebagai manusia bulat, manusia
seutuhnya. Sebagai manusia yang utuh ia berpikir, bertingkah laku dan berbuat,
tidak berdasar rangsangan ekonomi saja, tetapi juga terangsang oleh faktor –
faktor sosial dan moral. Faktor soasial dalam hubungannya dengan manusia lain
dan masyarakat dimana ia berada, dan faktor moral dalam hubungan manusia
sebagai titah Tuhan dengan penciptanya[41].
Pancasila dasar negara dapat “diterapkan” dalam kehidupan
ekonomi bangsa, negara, dan masyarakat sebagai berikut:
(1) Ketuhanan Yang Maha Esa. Roda
perekonomian digerakkan oleh rangsangan – rangsangan ekonomi, sosial dan moral;
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab. Ada
kehendak kuat dari seluruh masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial
(egalitarian), sesuai asas – asas kemanusiaan;
(3) Persatuan Indonesia. Prioritas
kebijaksanaan ekonomi adalah penciptaan perekonomian nasional yang tangguh.
Ini berarti nasionalisme menjiwai setiap kebijaksanaan ekonomi;
(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan. Koperasi merupakan sokoguru
perekonomian dan merupakan bentuk paling konkrit dari usaha bersama;
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Adanya imbangan yang jelas dan tegas antara perencanaan di tingkat
nasional dengan desentralisasi dalam pelaksanaan kebijaksanaan ekonomi untuk
mencapai keadilan ekonomi dan keadilan sosial[42].
ad.1. HAK ULAYAT MENURUT HUKUM PERTANAHAN
Secara
sosiologis, hukum merupakan lembaga kemasyarakatan yaitu
himpunan daripada kaedah – kaedah dari segala tingkatan yang berkisar pada
suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh
karena hukum bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok daripada warga – warga
masyarakat akan ketertiban dan sebagai lembaga kemasyarakatan hukum jelas
berfungsi sebagai pedoman bagaimana bertingkah laku, sebagai alat untuk menjaga
keutuhan masyarakat dan sebagai sistem pengendalian sosial. Sebagai suatu
lembaga kemasyarakatan, hukum berdiri berdampingan dengan lembaga – lembaga
kemasyarakatan lainnya dan saling pengaruh – mempengaruhi dengan lembaga –
lembaga kemasyarakatan tadi[43]. Dalam
hal ini diantaranya lembaga masyarakat hukum yang dikenal dengan sebutan hak
ulayat.
Hak ulayat dan
yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, (untuk selanjutnya disebut hak
ulayat) adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat
hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para
warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam
wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari
hubungan secara lahiriah dan batiniah, turun temurun dan tidak terputus antara
masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Hak
ulayat diakui keberadaannya sepanjang:
- Tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas
persatuan bangsa;
- Tidak
bertentangan dengan sosialisme Indonesia;
- Tidak
bertentangan dengan Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA);
- Tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- Mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Kriteria hak
ulayat harus memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu :
- Unsur
Masyarakat Adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa
terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan
hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan
persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari;
- Unsur
Wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan
hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil
keperluan hidupnya sehari-hari;
- Unsur
hubungan antara masyarakat adat dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya
tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah
ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum
tersebut.
Adapun yang menjadi
dasar hukum berlakunya hak ulayat di Indonesia, antara lain:
- Ketentuan
Pasal 3 dan Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang
menyatakan:
- Pasal
3 berbunyi: “Dengan mengingat Ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2
Pelaksanaan Hak Ulayat dan Hak-hak yang serupa itu dari
masyarakat-masyarakat Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataannya masih
ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi”.
- Ketentuan
Pasal 5 berbunyi: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan
sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu
dengan mengindahkan unsur-unsur yang berdasar pada hukum agama.”
2. Ketentuan Pasal II ayat (1) Ketentuan –
Ketentuan Konversi, yang berbunyi: “Hak-hak atas tanah yang memberi
wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 20 ayat 1
seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai
berlakunya Undang-undang ini, yaitu: hak agrarisch eigendom, milik, yasan,
andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant Sultan,
landerijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah
partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih
lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi
hak milik tersebut dalam pasal 20 ayat 1, kecuali jika yang mempunyainya tidak
memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21”.
3. Ketentuan pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendafaran Tanah, yang menyatakan:
- Untuk
keperluan pendaftaran hak-hak atas tanah yang berasal dari konversi
hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak
tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan
ybs yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam Pendaftaran Tanah
secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendafataran
tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak
dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.
- Dalam
hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan
berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan
selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon
pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya,dengan syarat : penguasaan
tersebut dilakukan dengan itikad baik dan
secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah,
serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya penguasaan
tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau
desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun
1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Sistem hukum tanah
pada saat Pemerintah Kolonial Berkuasa berkuasa mengandung dualisme hukum. Bagi
penduduk pribumi berlaku hukum adat, sedangkan terhadap golongan lainnya
berlaku hukum Barat. Hal tersebut disebabkan, sistem hukum pertanahan yang
dijalankan di Indonesia pada masa itu menganut dan berorientasi pada sistem
hukum Belanda dan Eropa. Akan tetapi, pada kenyataan kepentingan golongan Bumi
Putera selalu dalam posisi yang lemah bahkan tidak menjamin adanya kepastian
hukum bagi hak – hak rakyat atas tanah dan mengabaikan keberadaan
hukum (masyarakat) adat termasuk hak kepemilikan tanah adat (ulayat).
Konsepsi hukum
tanah adat yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat
Indonesia, mengedepankan keseimbangan antara “kepentingan bersama”
dengan “kepentingan perseorangan”. Pemilikan dan pemanfaatan tanah harus
memperhatikan keselarasan. Konsepsi hukum tanah adat berbeda dengan konsepsi hukum
tanah Barat, dalam hukum tanah Barat dasarnya adalah “Individualisme” dan
“liberalisme”.
Masyarakat hukum
adat adalah suatu kelompok manusia, mempunyai kekayaan tersendiri terlepas dari
kekayaan perorangan, mempunyai batas wilayah tertentu, dan mempunyai kewenangan
tertentu. Hukum tanah adat merupakan hukum asli, mempunyai sifat yang khas,
dimana hak-hak perorangan atas tanah merupakan hak pribadi akan tetapi
didalamnya mengandung unsur kebersamaan, yang dalam istilah modern disebut
“fungsi sosial”, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 6 Undang – Undang Pokok
Agraria. Hukum adat merupakan sumber utama
hukum agraria atau hukum pertanahan Indonesia.
Berbagai kebijakan
yang diterbitkan oleh pemerintah sampai saat ini masih dalam taraf “pengakuan”
terhadap hak atas kepemilikan tanah ulayat masyarakat hukum adat, tetapi
belum memberikan “perlindungan” yang selayaknya terhadap hak kepemilikan atas
tahah ulayat dalam masyarakat adat. Namun demikian, diakui bahwa beberapa
kebijakan pemerintah mulai ada upaya memberi pengakuan dan perlindungan
(terbatas) terhadap hak pemilikan tanah ulayat pada masyarakat adat, antara
lain : pasal 41 TAP MPR No. XVII Tahun 1998 Tentang Hak Asasi Manusia, TAP MPR
No. XI tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan UUD 1945 yang telah
diamandemen. Kebijakan ini sampai sekarang belum direalisasikan dalam bentuk
undang – undang atau kebijakan lain sebagai pelaksanaan ketetapan MPR.
Selanjutnya muncul Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 tahun 1995 yang
mengakui dan memberikan perlindungan atas tanah rakyat dan adat (ulayat).
Selain itu,
sebenarnya telah ada beberapa kebijakan yang menyebutkan dan mengakui
keberadaan masyarakat adat, antara lain dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan (yang diperbarui), UU Nomor 11 Tahun 1999 Tentang Pertambangan, UU
Nomor 10 tahun 1992 Tentang Kependudukan, Keppres Nomor 111 tahun 1999 Tentang
Komunitas Adat Terpencil (KAT), SK Menteri Kehutanan Nomor 47 tahun 1998
Tentang Kawasan dengan Tujuan Istimewa dan Peraturan Menteri Negara Agraria /
Kepala Badan pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, pasal 2 Undang –
Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Pada dasarnya hak
ulayat telah diakui keberadaanya dalam UUPA, namun pengakuan tersebut masih
harus diikuti syarat-syarat tertentu yaitu : Pertama, eksistensi
atau keberadaannya, hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
yang berarti bahwa UUPA tidak mengatur eksistensinya, karena pada dasarnya hak
ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi
kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Kedua, syarat
pelaksanaannya yaitu sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang
berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan lainnya yang lebih tinggi.
Selain dari
pengaturan tanah hak ulayat yang ditentukan dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA,
melalui Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan
prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam UU. Amandemen UUD 1945 ternyata
masih belum mampu menyelesaikan persoalan sebenarnya yang dihadapi masyarakat
hukum adat terutama di daerah, yang disebabkan berbagai alasan antara lain
: Pertama, adanya pembatasan pengakuan hukum berupa
persyaratan-persyaratan contohnya seperti yang terdapat pada Undang-undang
Kehutanan, ndang-undang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Perkebunan. Kedua, kebijakan
di masing-masing isntansi pemerintah belum sinergis, sehingga menciptakan
sektoralisasi yang pada akhirnya menjadikan banyak instansi pemerintah
mengurusi masyarakat hukum adat menggunakan pendekatan yang berbeda –
beda dan parsial dalam memandang hak-hak masyarakat hukum
adat. Ketiga, belum adanya lembaga yang paling berkompeten
mengurusi keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat serta belum
terciptanya model pengaturan yang komprehensif dalam pengakuan hukum terhadap
keberadaan masyarakat hukum adat, baik substansi maupun kerangka
implementasinya.
Selama ini
pelaksanaan ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA hanya dilakukan terhadap penguasaan
tanah oleh instansi pemerintah untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan
pihak ketiga. Sementara itu pengaturan mengenai penguasaan tanah oleh
masyarakat hukum adat sesuai Pasal 2 ayat (4) ini belum tersedia. Ketentuan
dalam pasal ini memberikan dasar bagi pengakuan atas penguasaan masyarakat
hukum adat atas suatu bidang tanah yang luas (serupa dengan wilayah adat
mereka) dimana institusi adat berwenang untuk mengatur segala hal terkait
dengan penguasaan komunal, kolektif dan individu anggota masyarakatnya.
Hal yang umumnya
dikhawatirkan banyak pihak terkait dengan pemberian semacam hak atas tanah pada
masyarakat hukum adat adalah kemungkinan peralihan hak tersebut kepada pihak
luar. Dengan hak pengelolaan kekhawatiran akan hilang karena hak pengelolaan
sejatinya bukan hak privat atas tanah. Hak pengelolaan adalah hak publik bukan
hak privat, yang merupakan bagian dari hak menguasai negara yang didelegasikan
pelaksanaannya kepada masyarakat hukum adat. Dengan demikian masyarakat hukum adat
tidak akan dapat mengalihkan hak pengelolaannya ini kepada pihak lain.
Belum adanya
pengaturan mengenai hak ulayat bagi masyarakat hukum adat membuat sulit menduga
apakan hak pengelolaan yang selama ini ada pada instansi pemerintah juga bisa
diterapkan pada masyarakat hukum adat. Dalam hak pengelolaan pemerintah ada
kewenangan pemegang hak pengelolaan untuk membuat perjanjian dengan pihak
ketiga guna pemanfaatan tanah-tanah yang menjadi bagian dari hak pengelolannya.
Berdasarkan perjanjian itu maka Badan Pertanahan Nasional (BPN) dapat
memberikan hak atas tanah kepada pihak ketiga dan pada saat berakhirnya jangka
waktu hak atas tanah, maka penguasaan tanah kembali kepada pemegang hak
pengelolaan. Yang menjadi pertanyaan adalah, jika masyarakat hukum adat
mendapatkan hak pengelolaan apakah mereka juga berhak mengadakan perjanjian
yang demikian apa tidak, hak-hak apa sajakah yang boleh muncul, kemudian
bagaimana prosedur yang harus dilalui oleh masyarakat hukum adat untuk
mendpatkan kembali haknya setelah hak atas tanah dari pihak ketiga berakhir.
Hal-hal inilah yang penting untuk diperhatikan jika ingin mengatur lebih lanjut
ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA bagi masyarakat hukum adat dengan model hak
pengelolaan untuk melegalisasikan komunal hukum adat.
Kenyataannya, hak
ulayat atas wilayah tanah adat tertentu seringkali
besinggungan dengan kepentingan pemegang IUP. Sebagaimana dijelaskan
oleh pasal 1 ayat 30 Undang – Undang No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) adalah
bagian dari Wilayah Pertambangan (WP) yang telah memiliki ketersediaan data,
potensi, dan / atau informasi geologi. WP sendiri ialah wilayah yang memiliki
potensi mineral dan / atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi
pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. Dalam hal ini,
Adalah merupakan kewenangan Pemerintah dalam pengelolaan pertambangan mineral
dan batubara bagi kepentingan khalayak banyak, untuk menetapkan WP. Pasal 14
Undang – Undang Minerba mengatur bahwa penetapan WP akan dilakukan
setelah Pemerintah berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah, berdasarkan data
yang dimiliki oleh kedua belah pihak, dan disampaikan secara tertulis kepada
Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagian kewenangan Pemerintah Pusat dapat dilimpahkan
kepada pemerintah provinsi. Pemerintah pusat dan daerah wajib untuk terus
mengadakan penginventarisasian, penyelidikan, penelitian serta eksplorasi
pertambangan dalam rangka penyiapan WP.
ad.2.
PENGGUNAAN LAHAN MASYARAKAT ADAT DALAM INVESTASI SUMBER DAYA ALAM PERTAMBANGAN
Menurut ajaran
sejarah tentang hak milik, pada awal mulanya hukum tidak mengenal
adanya hak milik pribadi atau perorangan atas benda apapun juga. Segala benda
yang ada pada waktu itu semuanya dianggap sebagai milik bersama para anggota
masyarakat secara merata (res communes atau bonum commune). Karena
itu setiap benda tersebut dikatakan juga “res nullius” yang
berarti benda tanpa ada yang berhak untuk dimiliki oleh siapa pun juga secara
pribadi[44].
Menurut ajaran
hukum alam mengenai hak milik, semula tiada satupun benda – benda yang dapat
dimiliki oleh seseorang secara pribadi. Benda – benda tersebut pada awal
mulanya disebut “res nullius” yang berarti benda – benda
tidak bertuan atau benda – benda yang tidak ada empunya. Kemudian orang –
perorangan saling mengadakan pembagian melalui perjanjian – perjanjian untuk
memiliki benda – benda tersebut atas namanya masing – masing. Benda – benda
yang dapat dimiliki secara pribadi melalui perjanjian pembagian tersebut
menjadi milik mereka secara perorangan tetapi benda – benda yang tidak dimiliki
secara pribadi terpaksa dimiliki secara bersama sebagai milik masyarakat atau
negara[45].
Benda – benda yang
tidak dapat dimiliki secara pribadi ini, tentu saja tidak dapat diperdagangkan
atau dijualbelikan. Karena itu benda – benda tersebut ini dinamakan benda –
benda di luar perdagangan (res extra commercium), yang pada
dasarnya terdiri atas:
- Benda
– benda milik bersama para anggota masyarakat atau milik umum
(rescommunes), yakni benda – benda yang pemanfaatannya dilakukan dan
dinikmati langsung oleh para anggota masyarakat secara bersama – sama;
- Benda
– benda milik rakyat (publik) yang dalam hal pemilikannya dideligasikan
kepada negara(res publicae). Jadi benda – benda tersebut dinyatakan
sebagai milik negara atau dikuasai negara untuk dimanfaatkan
bagi kepentingan kehidupan masyarakatnya.
- Benda
– benda yang penggunaan manfaatnya didermakan atau diamalkan untuk tujuan
– tujuan kesucian (res sanctae) atau kesakralan (res
sacrae)yang berarti juga tujuan – tujuan keagamaan (res
religiosae)[46].
Selaras dengan Falsafah Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
kita yakni Pancasila yang menuntut keserasian antara kepentingan perorangan dan
kepentingan masyarakat, maka tentu saja di samping pelaksanaan perlindungan
hukum terhadap hak milik sebagai pengejawantahan kepentingan perorangan,
pembatasan hukum terhadap hak milikpun telah dilaksanakan di Indonesia.
Pelaksanaan pembatasan hukum terhadap hak milik inilah yang merupakan
pengejawantahan dari perhatian terhadap kepentingan masyarakat[47].
Untuk dapat melakukan usaha pertambangan sudah pasti
dibutuhkan sebidang tanah karena kegiatan pertambangan tidak lain adalah
melakukan penggalian tanah. Keberadaan tambang kebanyakan letaknya berada di
dalam perut bumi. Sebuah perusahaan pertambangan untuk dapat melakukan
penambangan harus memiliki izin dari pemerintah lebih dahulu[48].
Dengan izin yang dimilikinya perusahaan pertambangan tidak
dapat langsung melakukan penambangan sesuai lokasi yang ditunjuk dalam izin
yang bersangkutan, akan tetapi perlu melihat dahulu di lokasi penambangan,
apakah di lokasi tersebut terdapat hak – hak atas tanah yang dimiliki oleh
pihak lain. Apabila ada hak – hak atas tanah maka tidak mungkin kegiatan
penambangan dapat dilakukan begitu saja, karena perusahaan pertambangan akan
menghadapi masalah yaitu perbenturan kepentingan antara penggunaan hak atas
tanah dengan penggunaan hak penambangan pada bidang tanah sama. Sementara itu
pada umumnya hak atas tanah lebih dahulu diberikan pemerintah dibandingkan
dengan hak penambangan[49].
Permasalahan
penyelesaian sengketa penggunaan lahan hak ulayat dalam investasi
pertambangan merupakan kasus pertanahan yang terjadi sejak masa orde lama
sampai masa orde reformasi. Langkah yang ditempuh masyarakat maupun
pemerintah dalam melakukan upaya penyelesaian sengketa tanda ulayat secara
hukum menyangkut pengakuan keberadaan hak ulayat dan kepastian hukum. Oleh
karena itu, pemantapan hukum terhadap hak ulayat dalam perkembangan hukum
pertanahan nasional, penggunaan lahan masyarakat adat dalam investasi sumber
daya alam, sengketa penggunaan lahan hak ulayat dalam sumber daya
pertambangan, serta penyelesaiaan sengketa lahan hak ulayat dalam bidang
pertambangan. |
|
Permasalahan penyelesaian sengketa penggunaan lahan hak
ulayat dalam investasi pertambangan merupakan kasus pertanahan yang terjadi
sejak masa Orde Lama sampai masa Orde Reformasi. Penyelesaian sengketa tanah
hak ulayat yang ada, dalam penerapan hukumnya tidak mengedepankan asas keadilan
dan kepastian hukum bagi masyarakat adat. Mekanisme penyelesaian yang ada
kurang memadai dan kurang memberikan penyelesaian yang komprehensif serta tidak
bisa membongkar akar struktur konflik pertanahan. Oleh sebab itu, sangat
diperlukan adanya Pengadilan Kamar Pertanahan (PKP) yang murah, cepat,
independen, dan khusus dalam menangani sengketa pertanahan masyarakat adat maupun
masyarakat umum yang di bawah Badan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Langkah
yang ditempuh masyarakat maupun pemerintah dalam melakukan upaya penyelesaian
sengketa tanah ulayat secara hukum menyangkut pengakuan keberadaan hak ulayat
dan kepastian hukum[50].
Selain itu,dalam konteks penggunaan lahan untuk pertambangan
maka Pemerintah, Pemerintah Daerah (Pemerintah Provinsi)
harus memperhatikan masalah sengketa atau tumpang tindih lahan
antara kegiatan usaha pertambangan dengan kegiatan usaha sektor lain. Aspek
penyelesaian sengketa hendaknya dapat diatur dalam Peraturan Daerah (Perda)
agar investor mendapatkan solusi tepat. Pemerintah Provinsi juga harus menjalin
hubungan yang lebih koordinatif dengan Pemerintah Kabupaten /
Pemerintah Kota dalam bidang pertambangan. Pemerintah
Propinsi hendaknya selalu mengingatkan para Bupati / Wali Kota agar
selalu selektif, teliti dan hati-hati dalam memberikan Izin Usaha Pertambangan
(IUP). Hal ini perlu agar investasi yang masuk dapat membawa manfaat besar
bagi masyarakat. Pemberian izin secara selektif, teliti, cermat dan hati – hati
dimaksudkan juga untuk menghindari terjadinya konflik sosial
antara pemegang izin dengan masyarakat.
Koordinasi antar – pemerintah di bidang
pertambangan ini sangat diperlukan, mengingat dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, ditegaskan
bahwa Menteri, Gubernur dan Bupati / Wali Kota mempunyai kewenangan
untuk mengeluarkan IUP. Koordinasi intensif antara pemerintah pusat dengan
Pemprov dan Pemkab / Pemkot juga diperlukan dalam upaya sinkronisasi tata ruang
wilayah. Batas – batas kewenangan masing-masing pihak dalam
memberikan IUP perlu dikoordinasikan, mengingat adanya kemungkinan izin –
izin pertambangan diberikan kepada investor dengan cara – cara
melanggar prosedur, selain itu agar kepentingan masyarakat lokal tetap
diperhatikan.
3. REFLEKSI NEGARA KESEJAHTERAAN DALAM PASAL 33 UNDANG – UNDANG
DASAR 1945.
Tuntutan atas muatan UU Pertambangan yang
harus berpihak pada kepentingan rakyat dan daerah,
merupakan hal yang wajar dan dapat dipahami, karena dijamin oleh konstitusi
negara, persisnya oleh pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Ketentuan
pasal 33 ayat (3) tersebut, mengandung roh yang menegaskan, bahwa kekayaan alam
yang terdapat di wilayah hukum Indonesia harus dipergunakan “hanya dan hanya”
untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya roh pasal 33 ayat (3)
mengandung tiga unsur makna, yaitu:
- Unsur
bumi dan kekayaan alam, baik kekayaan alam yang di permukaan maupun di
bawah tanah sebagai objek;
- Unsur
negara sebagai suyek;
- Unsur
rakyat sebagai objek sekaligus subjek atau sasaran dari pemanfaatan hasil
bumi dan kekayaan alam[51].
Dalam konteks hak menguasai
negara bidang pertambangan sebagaimana dimaksud pasal 3 ayat (3) UUD
1945, tidak ada ketentuan dalam perundang – undangan, baik UU No.
11 Tahun 1967, maupun UU No. 4 Tahun 2009, yang menjelaskan tentang
pengertian dan ruang lingkup maksud hak menguasai negara tersebut. Pengertian
hak menguasai negara ditemukan dalam Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA),
memberikan makna “hak menguasai dari negara”, yaitu wewenang untuk:
- Mengatur
dan menyelenggarakan perubahan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan
bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;
- Menentukan
dan mengatur hubungan – hubungan hukum antara orang – orang dengan bumi,
air, dan ruang angkasa;
- Menentukan
dan mengatur hubungan – hubungan hukum mengenai bumi, air, dan ruang
ankasa[52].
Berkaitan dengan hak menguasai oleh negara, AP
Parlindungan menegaskan bahwa Kesimpulan pasal 1, 2, 3, 4, dan 9
UUPA, kesemuanya dalam konteks dengan ketahanan nasional sebagaimana disebutkan
oleh pasal 2 ayat (4) UUPA: Wewenang yang bersumber pada Hak
Menguasai Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar
– besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka,
berdaulat, dan makmur. Dengan demikian pemerintah dalam menjalankan HMN
tersebut akan berusaha membuat beberapa lembaga – lembaga hukum untuk memenuhi
pasal 4 ini dalam pelaksanaan tugasnya, baik itu keperdataan, ataupun yang
bukan keperdataan maupun kenegaraan, yang memberikan kemudahan seseorang atau
badan memperoleh manfaat dari satu bidang tanah, tetapi bukan sebagai
pemiliknya[53].
Mineral dan batubara mempunyai kedudukan yang sangat penting
dalam menunjang pembangunan suatu negara. Karena dari hasil pengelolaan dan
pemanfaatan mineral dan batubara, negara akan menerima pajak – pajak, bukan
pajak, dan lain – lain[54]. Dalam
pasal 33 Undang – Undang Dasar 1945 telah ditentukan bahwa: “Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam ketentuan ini ditegaskan
bahwa ada tiga unsur yang dikuasai oleh negara, yaitu:
- bumi;
- air;
dan
- kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya[55].
Ketentuan pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan
bahwa "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Prinsip
yang terkandung dalam ketentuan UUD 1945 ini mengandung esensi
bahwa Pemerintah sebagai pelaksana / penyelenggara kebijakan negara
mempunyai kewajiban untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
alam sebesar-besar untuk kemakmuran / kesejahteraan rakyat Indonesia.
Prinsip yang
terkandung dalam pasal 33 UUD 1945 tersebut, berkaitan dengan
pengusahaan / pengelolaan potensi sumber daya alam harus dilaksanakan secara
berkelanjutan / berkesinambungan dan pemanfaatannya secara optimal semata –
mata demi kepentingan rakyat. Dengan demikian, Pemerintah memiliki
peran yang sangat significant dalam mengoptimalisasi pengusahaan
potensi sumber daya alam. Pengusahaan / pengelolaan potensi sumber daya alam
dalam implementasinya harus diterapkan dengan mempertimbangan aspek ekonomi,
sosial, dan lingkungan. Hal ini sangat penting mengingat pengusahaan sumber
daya alam merupakan kekuatan ekonomi riil secara berkelanjutan, antara lain
berupa; penerimaan negara, pengembangan wilayah dan pengembangan sumber daya
manusia. Akan tetapi, pengusahaan / pengelolaan sumber daya
alam (natural resources) tersebut harus tetap memperhatikan
komitmen corporate social responsibility dan juga
melakukan pengeloaan dan perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Pemanfaatan secara
berkelanjutan ini, diartikan pula sebagai prinsip pemanfataan potensi sumber
daya alam yang bersifat tidak terbarukan melalui nilai tambah yang makmisal
menjadi suatu kegiatan ekonomi / industri nontambang yang terus –
menerus walaupun kegiatan tambang berakhir. Prinsip ini berkorelasi
dengan amanat UUD NRI 1945 yang mengamanatkan agar pemanfaatan sumber daya alam
sebagai kekayaan alam yang menjadi komoditas bagi bangsa untuk mensejahterakan
rakyat melalui kebijakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic
market obligation), peningkatan ekspor dan penerimaan devisa negara, serta
perluasan kesempatan berusaha dan lapangan kerja dapat terwujud.
Prinsip di yang
dikemukakan diatas yang menjadi dasar filosofis dan sosiologis pembentukan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang
menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan yang dalam prakteknya telah tidak mampu mengakomodir
perkembangan kegiatan pertambangan yang terus bermetafora, misalnya pembagian
kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam kaitannya dengan otonomi
daerah; pengaturan mengenai wilayah pertambangan; reklamasi dan pascatambang;
pembinaan dan pengawasan penyelengaraan pertambangan; penerimaan negara;
penggunaan tanah untuk kepentingan pertambangan; divestasi saham atau modal
pemegang izin usaha pertambangan; status kontrak karya, perjanjian karya
pengusahaan pertambangan batubara dan kuasa pertambangan yang sudah
diterbitkan, sehingga diperlukan pembaharuan hukum pertambangan dari rezim
pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 ke Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009.
Sebagai bentuk
pembarahuan hukum pertambangan sebagaimana dimaksud di atas, maka Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 mengandung pokok – pokok pikiran sebagai berikut:
Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan
dikuasai oleh negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama dengan pelaku usaha. Pemerintah
selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum
Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan
pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi
daerah, diberikan oleh Pemerintah dan / atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya masing-masing.
Dalam rangka
penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan
mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar
bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat
pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil
dan menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan.
Dalam rangka
terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus
dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan
partisipasi masyarakat. Kaitan prinsip dan materi muatan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 dalam tataran praktisnya mempertimbangkan pula perkembangan nasional
maupun internasional yaitu perkembangan pengusahaan pertambangan yang telah
memasuki era globalisasi dan ditandai dengan adanya persaingan bebas atas dasar
kemajuan teknologi, informasi pertambangan, daya tarik investasi serta isu
lingkungan hidup, serta demokratisasi yang sudah menjadi tuntutan dunia usaha.
Terbitnya
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana yang
telah diubah oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
serta Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom sebagaimana diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2004 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kota/Kabupaten, telah memberikan kewenangan kepada daerah dalam mengelola
sumber daya mineral yang ada di daerahnya serta mengubah tatanan yang selama
ini berlaku. Fungsi-fungsi pengelolaan sumber daya mineral yang selama ini
dilaksanakan oleh Pemerintah, dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka
sebagian besar dari fungsi-fungsi tersebut selanjutnya akan dilaksanakan oleh
daerah. Pelaksanaan otonomi daerah berdampak penting bagi pergeseran paradigma
pengaturan pertambangan mineral dan batubara. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
mengatur secara rinci terkait kewenangan-kewenangan yang dimiliki Pemerintah
maupun pemerintah provinsi dan pemerintah kabupatan/kota, sehingga peningkatan
peran pemerintah daerah diharapkan akan menjadi potensi bagi peningkatan
pendapatan daerah guna mewujudkan kesejahtaraan umum.
Hal yang sangat
penting pula terkait dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009,
yaitu pengusahaan pertambangan mineral dan batubara yang berhubungan dengan
upaya investasi di sektor ini. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal mengatur bidang usaha atau jenis yang terbuka dan tertutup bagi
kegiatan penananam modal yang ketentuan lanjutnya diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan
Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
Dalam Peraturan Presiden tersebut bidang usaha pertambangan dapat dilakukan
kegiatan invetasi dengan dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha yang
dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan
dengan perizinan khusus.
Peraturan
perundang-undangan di atas menjadi dasar bagi pelaku usaha pertambangan untuk
mendapatkan kepastian berinvestasi. Kepastian berinvestasi memerlukan komitmen
bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan investor untuk dapat
merealisasikan hubungan binis yang harmonis antara negara (Pemerintah) dan
investor, sehingga keharmonisan tersebut dapat mewujudkan iklim investasi yang
sehat. Pemerintah sebagai penyelenggara investasi sesuai dengan kapasitasnya
adalah membuat regulasi yang mendukung terwujudnya hubungan yang sinergi atar Pemerintah,
investor dan masyarakat. Investor sebagai pelaksana kegiatan eksplorasi
berkewajiban mentaati aturan main yang menjadi dasar hukum terlaksananya
kegiatan eksplorasi tersebut dalam implementasinya dengan mematuhi setiap
ketentuan hukum yang berlaku umum dan atau perjanjian kontrak yang telah
disepakati antara Pemerintah dengan investor, serta menjunjung tinggi
nilai-nilai budaya yang hidup di dalam wilayah adat budaya setempat.
Setidaknya
terdapat tiga syarat, agar hukum dapat berperan mendorong jalannya perekonomian
bangsa, yaitu hukum harus dapat menciptakan predictability, stability,
dan fairness, termasuk dalam peranan pengaturan pertambangan bagi
mendorong perekonomian. Syarat pertama, yaitu predictability,
peraturan perundang-undangan harus bisa menciptakan kepastian. Peraturan
perundang-undangan yang menyebabkan ketidakpastian hukum menandakan telah
terjadinya kegagalan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.
Hukum harus memberikan kepastian mengenai norma yang harus dipatuhi atau
dihindari bagi setiap orang / badan yang terkena akibat hukum dari suatu
pengaturan. Dengan tidak adanya kepastian hukum, maka akan terhambatnya
pertumbuhan perekonomian dan dalam hal sektor pertambangan, maka investasi akan
terhambat. Investasi merupakan masalah yang mengutamakan dana langsung dan hal
tersebut akan berhubungan dengan pihak yang mempercayakan dana tersebut untuk
diinvestasikan. Kepercayaan sangat tergantung dari kepastian hukum suatu negara
yang akan menjadi tempat invetasi modal tersebut. Bentuk kepercayaan dimaksud
dipengaruhi oleh sejauh mana negara yang akan menjadi tempat investasi dapat
memberikan pengaturan yang jelas, komprhensif, pantas, tidak kontradiksi, dan
pembentukan aturan yang mencantumkan persyaratan yang dapat dipenuhi oleh
investor. Selain itu, aspek penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi
menjadi dasar pertimbangan investor dalam menilai adanya kepastian hukum di
suatu negara. Dengan adanya kepastian pengaturan dam kepastian penegakkan hukum
tersebut, investor akan tertarik untuk menanamkan modalnya sehingga
ketertarikan yang diimplementasikan dengan investasi akan berimplikasi pada
pertumbuhan perekonomian bagi Indonesia.
Syarat kedua,
yaitu peraturan perundang-undangan harus bisa menciptakan stability, yaitu
peraturan perundang-undangan harus mampu mengakomodir kepentingan-kepentiangan
yang saling terkait dalam masyarakat. Kepentingan dalam masyarakat harus
seimbang dalam perwujudan yang diformalisasikan dalam peraturan
perundang-undangan. Kepentingan masyarakat untuk mendapatkan kepastian hukum,
penegakan hukum atas tindak pidana korupsi, iklim investasi yang sehat dengan
didukung oleh sistem perburuan yang kondusif, kemudahan dalam proses perizinan,
kondisi sosial politik yang baik dan stabil, merupakan bentuk kepentingan yang
harus diakomodir guna menciptakan aspek stabilitas dalam mendorong
perekonomian. Stability dapat pula dimaknai dengan adanya keseimbangan antara
kepentingan investor dalam berusaha serta kepentingan Pemerintah dan masyarakat
dalam memperoleh manfaat atas implikasi investasi.
Syarat ketiga,
yaitu peraturan perundang-undangan sebagai saah satu sumber hukum yang dapat
menciptakan fairness. Peraturan perundang-undangan dalam penerapannya
diharapkan dapat mewujudkan keadilan. Keadilan dapat terwujud apabila
pihak-pihak yang terkait diposisikan sesuai dengan kedudukannya masing-masing
dan pihak tersebut dapat merasakan dampak yang positif dari pengaturan yang
dikenai terhadapnya. Aspek keadilan ini pun dapat diperoleh oleh pihak yang
merasa dirugikan atau dianggap telah menjadi korban keadilan dengan melakukan
upaya pengujian suatu peraturan perundang-undangan ke Mahkamah Konstutusi untuk
produk berupa undang-undang dan Mahkamah Agung untuk produk hukum di bawah
undang-undang.
Dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sebagian pihak investor mengganggap telah
terjadi ketidakadilan dalam pengaturan yang mengatur mengenai ketentuan
peralihan yaitu pada Pasal 172 yang pokoknya menentukan bahwa terhadap
permohonan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan
Batubara (PKP2B) yang telah diajukan paling lambat satu tahun sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 (dalam hal ini paling lambat 12
Januari 2008) dan telah mendapat persetujuan prinsip atau izin penyelidikan
pendahuluan, yang diakui dan tetap diproses perijinannya tanpa melalui proses
lelang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Didasari
pengaturan tersebut beberapa pengusaha baik secara perorangan ataupun badan
hukum mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 kepada
Mahkamah Konstitusi dengan registrasi Nomor 759.121/PAN.MK/IX/2009 tanggal 11
September 2009.
Didasari ketiga
syarat tersebut hukum dapat mendorong pertumbuhan perekonomian, dalam hal ini
sektor pertambangan yang dalam skema penerimaan negara, sektor ini merupakan
salah satu sektor yang diprioritaskan untuk dapat menjadi sektor yang mampu
berkontribusi besar untuk membiayai pembangunan secara umum. Namun, sektor
pertambangan yang menjadi sektor yang diharapkan mampu berkontribusi tersebut,
dalam prakteknya terdapat beberapa persoalan yang secara umum merupakan bentuk
ketidakmampuan penerapan ketiga syarat sebagaimana diuraikan sebelumnya.
Permasalahan yang
cukup kompleks dalam kegiatan penanaman modal di bidang pertambangan mineral
dan batubara yang dewasa ini cukup mengemuka diantaranya permasalahan divestasi
saham atau modal. Salah-satu praktik pelaksanaan divestasi yang bermasalah,
misalnya praktik pelaksanaan perjanjian kontrak karya antara Pemerintah
Indonesia dengan PT Newmont NNT dalam eksplorasi tambah batuhijau di Nusa
Tenggara Barat (NTB). Perjanjian kontrak karya yang sudah berjalan
bertahun-tahun tersebut tiba-tiba menghadapai permasalahan yang disebabkan
tidak terealisasinya kesepakatan mengenai klausula yang mengatur kewajiban
divestasi setiap periode divestasi yang telah ditentukan dalam perjanjian
kontrak karya antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont NNT. Imbas dari
kejadian tersebut munculah sengketa antara keduanya, pemerintah menuding PT
Newmont NNT wanprestasi, sementara Newmont Merasa tidak melakukan pelanggaran
atas perjanjian mengenai divestasi.
Sengketa antara
Pemerintah Indonesia dengan PT Newmont NNT akhirnya harus diselesaikan melalui
penyelesaian sengketa arbitrase di Majelis Arbitrase International yang
diselenggarakan di Singapura pada tahun 2009. Hasil putusan arbitrase
internasional tersebut memenangkan Pemerintah Indonesia dengan mengabulkan
tuntutan pemerintah yang menuntut agar PT Newmont NNT mendivestasikan sahamnya
sesuai dengan periode divestasi yang belum terlaksana.
Putusan arbitrase
yang memenangkan Pemerintah Indonesia terhadap PT Newmont NTT dalam
pelaksanaannya tidak dapat direalisasikan secara cepat karena mengalami berbagai
kendala, antara lain mengenai kesepakatan harga saham periode divestasi tahun
2008 yang belum disepakati antara pihak dan permasalahan pendanaan untuk
membeli sahan yang akan didivestasikan. Permasalahan pendanaan tersebut
dikarenakan Pemerintah Daerah NTB yang tidak cukup memiliki dana untuk membeli
saham PT Newmont NNT sehingga untuk mengatasi persoalan tersebut dilakukanlah
kerja sama antara pemerintah daerah dengan perusahaan BUMN dan/atau perusahaan
swasta nasional. Perusahaan PT Aneka Tambang (ANTAM) berminat untuk melakukan
kerja sama dengan Pemerintah Daerah NTB dalam divestasi saham. Namun, upaya
kerja sama ini gagal karena persoalan mengenai persentase besaran sahamnya.
Akhirnya Pemeritah Daerah NTB menyepakati untuk bekerjasama dengan perusahaan
Bakrie.
Divestasi saham
asing yang secara sederhana diartikan sebagai jumlah saham asing yang harus
ditawarkan untuk dijual kepada peserta Indonesia. Ketentuan mengenai divestasi
saham asing ini secara yuridis normatif telah diatur dalam Pasal 112 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang mengatur bahwa pemegang IUP dan IUPK yang
sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah,
pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau
badan usaha swasta nasional. Selanjutnya dalam ayat (2) menyatakan bahwa
ketentuan lebih lanjut mengenai divestasi saham diatur dengan peraturan
pemerintah.
Kewajiban
sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 112 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
dalam prakteknya belum dapat diberlakukan secara efektif karena menimbulkan
penolakan dari berbagai perusahaan pertambangan. Hal ini didasari oleh kendala
semisal harga komoditas yang melambung tinggi apabila dilakukan divestasi
karena pengaruh isu divestasi yang direspon pasar bursa dan juga kendala
kesulitan pinjaman bagi perusahaan tambang dari perbankan apabila komposisi
saham yang relatif kecil. Saham yang didivestasikan cenderung nilainya lebih
mahal empat kali lipat dari harga sesungguhnya. Hal ini terjadi karena penilaian
harga saham sudah menyertakan proyeksi keuntungan (discount rate), biaya
investasi, dan harga komoditas jangka panjang. Dengan pola tersebut pemerintah
seolah hanya mengganti biaya investasi (replacement cost) dan mengambil alih
saham. Di satu sisi, Pemerintah atau pihak pembeli akan sulit membeli saham
divestasi jika mengandalkan dana perbankan. Alasannya, pihak perbankan selaku
pemberi pinjaman akan berpikir panjang dalam memberikan pinjaman untuk porsi
saham yang relatif kecil.
Terlepas dari
polemik yang muncul dan berkembang, terdapat beberapa keuntungan dan kerugian
dalam hal divestasi saham badan usaha asing kepada Pemerintah, pemerintah
daerah, BUMN/BUMD, dan swasta nasional. Sehingga menyikapi polemik tersebut
harus diupayakan suatu formulasi hukum yang mampu mengatasi persoalan divestasi
ini. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 belum mengatur secara jelas penyelesaian
persoalan-persoalan yang timbul sebagai akibat dari kegiatan divestasi saham.
Undang-Undang mengamanatkan agar permasalahan ini diatur lebih lanjut dalam
peraturan Pemerintah. Untuk mengupayakan divestasi saham, Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah harus memiliki power kuat dan bargaining potition yang tinggi
dalam setiap perjanjian kontrak kerjasama penambangan di wilayah Indonesia,
terutama dalam hal kesiapan pendanaan.
Divestasi saham
izin usaha pertambangan ke Pemerintah, pemerintah daerah, BUMN, atau dab/atau
BUMD sebagai wujud kedaulatan dalam negeri dalam hal kegiatan usaha
pertambangan sebagai upaya guna mewujudkan kemakmuran rakyat yang
sebesar-besarnya perlu diciptakan formulasi hukum agar divestasi ini dapat
berjalan dan Pemerintah mampu mendorong supaya investor mentaati setiap
peraturan yang ada, tanpa adanya affirmative hukum mustahil Indonesia akan mendapatkan
keuntungan yang besar dalam kerjasama bisnis. Hal ini penting supaya masyarakat
indonesia tidak merasa apatis terhadap investor asing yang masuk sehingga daya
dukung sosial terhadap investasi / divetasi akan mengalami pertumbuhan dan
kenyamanan investor lebih terjamin.
Ekonomi moral yang
tidak semata – mata rasional harus kita akaui sudah cukup melekat pada sistem
nilai dan budaya bangsa Indonesia. Meskipun kita secara terbuka ingin mengikis
habis sifat – sifat irrasional yang tercermin dalam efisiensi dan produktivitas
yang rendah dalam perekonomian kita, pada akhirnya kita
menghadapi “tantangan” berupa moral ekonomi bangsa yang tidak
sepenuhnya bersifat negatif. Dalam hati nurani kita sebagai bangsa masih selalu
terselip perasaan was – was jangan – jangan pengambilan pilihan yang semata –
mata rasional justeru akan merugikan dalam jangka panjang[56].
Wawasan ekonomi
Pancasila memberikan semacam pegangan kepada setiap pelaku ekonomi dalam
melaksanakan misi dan tugasnya masing – masing, dalam upaya memajukan kehidupan
ekonominya masing – masing, dalam upaya memajukan kehidupan ekonomi negara,
bangsa dan masyarakat. Ideologi Ekonomi Pancasila adalah “aturan
main” yang mengikat setiap pelaku ekonomi, yang apabila dipatuhi
secara penuh akan mengakibatkan tertib dan teraturnya perilaku setiap warga
negara. Dan ketertiban serta keteraturan perilaku ini pada gilirannya akan
menyumbang pada kemantapan dan efektivitas usaha perwujudan keadilan sosial[57].
Etika Ekonomi
Pancasila bersumber pada UUD 1945 khusunya pasal 33 sebagai sistem ekonomi
kekeluargaan, dan pada Pancasila sebagai pedoman etik yang memberikan semangat
dan gerak pembangunan nasional. Apabila wawasan ekonomi Pancasila sudah kita
terima sebagai satu – satunya pegangan etik sistem dan kebijaksanaan
pembangunan nasional, maka ia berubah menjadi acuan nasional yang harus
dipatuhi oleh setiap warga negara. Hadiah dan sanksi atas pelaksanaan atau
pelanggaran aturan etik memang bersifat etik pula, yang pengawasannya tidaklah
bisa dilakukan oleh aparat negara dan pemerintah saja. Pengawasan ini harus
melekat pada hakekat moral masyarakat bangsa secara keseluruhan baik dalam
kelompok – kelompok kecil maupun kelompok besar[58].
Tujuan akhir
Pembangunan Nasional Jangka Panjang (PNJP) adalah keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Secara lebih lengkap pembangunan nasional harus mampu:
(1) memajukan kesejahteraan umum;
(2) memajukan kecerdasan kehidupan bangsa;
dan
(3) mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat[59].
4. KONSEP PENGELOLAAN PERTAMBANGAN
Persoalan sangat
mendasar dan mendesak yang menjadi tanggung jawab
pemerintah beserta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
saat ini adalah pelaksanaan kebijakan hilirisasi mineral. Kebijkan tersebut
berkaitan dengan amanat undang – undang Minerba yang telah disahkan tanggal 12
Januari 2009, yang menyatakan bahwa perusahaan tambang mineral harus melakukan
pengolahan dan pemurnian lima tahun setelah undang – undang Minerba dinyatakan
berlaku. Sesuai ketentuan mengenai tenggang waktu yang disebutkan dalam undang
– undang tersebut, maka saat ini (terhitung tanggal 12 Januari 2014) klausul
undang – undang tersebut imperative harus dilaksanakan. Dengan
pengertian lain, setelah lima tahun undang – undang Minerba tersebut dinyatakan
berlaku maka tidak boleh lagi ada ekspor barang mentah (raw mineral),
semua produk tambang mineral dan batubara harus diolah.
Pemerintah harus melaksanakan undang – undang Minerba secara
konsisten, karena baik untuk kepentingan negara. Kemanfaatannya bagi negara
adalah akan ada pengendalian ekspor dan produksi, akan ada nilai tambah, serta
pelestarian lingkungan akan lebih dapat dikendalikan. Akan tetapi, pemerintah
juga harus mempertimbangkan ketahanan perekonomian nasional, berkaitan dengan
pemberlakuan UU Minerba tersebut.
Namun sampai saat ini pemerintah belum mempersiapkan
peraturan organik (peraturan pelaksana dari UU Minerba tersebut baik dalam
bentuk Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Menteri (Permen). Peraturan
lorganik tersebut diharapkan dapat menakomodir kepentingan perusahaan tambang
termasuk pemegang Kontrak Karya (KK). Diharapkan, kebijakan hilirisasi yang
akan ditetapkan dalam peraturan organik tersebut menegaskan hal –
hal antara lain: pertama, konsistensi pemerintah melaksanakan UU Mineral dan
Batubara tersebut; kedua, terhitung tanggal 12 Januari 2014 tidak
ada lagi ekspor biji mineral; ketiga, pemerintah segera menyiapkan PP dan
Permen yang mengatur perusahaan yang telah melakukan kegiatan pengolahan dan
pemurnian.
Secara substansial, terdapat perbedaan mendasar antara UU
No. 11 Tahun 1967 dengan UU No. 4 Tahun 2009, baik dalam hal
penggolongan bahan galian, maupun dalam kaitannya dengan sistem pengelolaannya.
Perbedaan mendasar tersebut dapat dilihat dari sisi muatan UU No. 4 Tahun 2009
yang lebih baik dari muatan UU No. 11 Tahun 1967. Materi muatan yang cukup baik
dalam UU No. 4 Tahun 2009, diantaranya:
- Lelang
wilayah potensi galian. Adanya ketentuan tentang lelang wilayah yang
berpotensi mengandung bahan galian. Setiap perusahaanatau pihak yang akan
melakukan pengusahaan bahan galian logam dan batubara khususnya, untuk
dapat memperoleh konsesi pertambangan harus melalui proses lelang. Cara
ini, dipandang sebagai suatu kemajuan dalam dunia usaha pertambangan
nasional. Ada beberapa keuntungan sistem penetapan konsesi melalui
mekanisme lelang, yaitu:
- Menekan
timbulnya mafia izin tambang. Belakangan ini berkembang kecenderungan
praktik – praktikjual beli konsesi tambang yang dilakukan oleh oknum –
oknum tertentu yang biasanya mempunyai kedekatan atau akses dengan pemda,
yakni hanya bermodalkan membayar retribusi izin memperoleh sejumlah
konsesi, tetapi bukan untuk diusahakan, melainkan untuk dijual kembali.
Mekanisme lelang diharapkan efektif dalam menekan praktik jual beli izin
konsesi pertambangan yang selama ini terjadi. Praktik jual beli izin
tambang mendorong tumbuh suburnya mafia pertambangan. Akibat tindakan ini,
tidak sedikit pihak yang semula benar – benar berniat berusaha di bidang
pertambangan menjadi korban penipuan yang secara finansial sangat besar
jumlahnya.
- Media
filter, hanya perusahaan yang benar – benar siap secara finansial, dan
benar – benar berniat melakukan kegiatan usaha pertambangan yang akan
mengikuti proses lelang, sehingga mekanisme lelang merupakan proses
alamiah bagi perusahaan yang hanya bermaksud coba – coba atau hanya
bertindak sebagai broker izin.
- Meningkatkan
pendapatan negara. Melalui lelang, negara akan memperoleh dua keuntungan
sekaligus, pertama memperoleh pemasukan bagi kas negara, kedua, memperoleh
perusahaan yang secara kualifikasi memang siap untuk melakukan kegiatan
usaha pertambangan.
- Lebih
akomodatif, yaitu dengan masuknya aturan yang berpihak kepada kepentingan
rakyat, bandingkan ketentuan tentang pertambangan rakyat UU No. 11 Tahun
1967 dengan ketentuan yang tertuang dalam UU No. 4 Tahun 2009.
- Pertimbangan
teknis strategis yaitu bahan galian lebih dkitentukan berdasarkan
pertimbangan kepentingan nasional, bukan pada jenis bahan galian. Artinya,
apabila suatu bahan galian secara teknis, ekonomis, kepentingan, dan dari
sisi pertahanan keamanan negara keberadaannya strategis dan vital, maka
pengelolaannya menjadi kewenangan negara / pemerintah.
- Adanya
Pembagian Kewenangan pengelolaan yang jelas antara tiap tingkatan
pemerintahan.
- Adanya
upaya pengelolaan secara terintegrasi, mulai dari eksplorasi sampai
penanganan pascatambang[60].
Kebijakan pemerintah mengenai hilirisasi yang mewajibkan
perusahaan tambang mengolah hasil tambang di dalam negeri, menegaskan bahwa
tidak boleh ada lagi ekspor mineral
mentah. Pelaksanaan kewajiban pengolahan mineral di dalam
negeri akan memberi nilai tambah. Akan segera muncul pabrik – pabrik
pengolahan mineral. Pabrik pengolahan mineral membutuhkan supply tenaga listrik
yang banyak, sehingga batubara Indonesia tidak perlu lagi dijual ke
luar negeri. Dalam jangka penedek, pelarangan ekspor ini akan menimbulkan
masalah dan kesulitan bagi perusahaan – perusahaan tambang seperti PT.
Freeport, PT. Newmont, PT. Vale dan berbagai perusahaan tambang lainnya yang
diizinkan mengekspor mineral mentah. Perusahaan – perusahaan tersebut harus
membangun sendiri industri pemurnian dan pengolahan, atau menitipkan hasil
tambangnya ke smelter lain.
Bila program hilirisasi yang digagas pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) berjalan dengan lancar, maka di Indonesia akan muncul
industri pengolahan dan pemurnian minderal di daerah – daerah yang selama ini
kurang berkembang dengan baik. Di wilayah – wilayah tambang seperti Halmahera
Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara serta di berbagai wilayah penghasil
mineral lainnya akan segera berdiri industri pengolahan dan pemurnian. Dengan
sendirinya daerah – daerah yang selama ini tertinggal akan dapat merasakan
kemajuan pembangunan ekonomi. Hadirnya industri pengolahan akan segera diikuti
dengan munculnya prasarana lain bagi kepentingan masyarakat seperti sekolah,
rumah sakit, pertokoan dan sebagainya, oleh karena daerah – daerah yang selama
ini tidak berpenghuni akan didiami oleh banyak penduduk.
Pemda sebagai pihak yang mengeluarkan Izin Usaha
Pertambangan (IUP), memiliki peran sentral untuk menjaga lingkungan
di area tambang dan sekitarnya. Keberadaan PP Nomor 75 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Kedua Atas PP Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan UU
No. 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan dan UU Nomor
22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daearah memberikan kewenangan penuh kepada
Pemda yang memunculkan euforia penambangan di daerah. Pemda seakan – akan lepas
kendali dalam menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Berlindung di balik
peningkatan pendapatan daerah, Bupati dan Walikota maupun Gubernur di wilayah
yang memiliki potensi kekayaan alam berlimpah cenderung
“mengobral” menirbitkan IUP.
Pemertintah Pusat tidak mempunyai kendali dan pengawasan
terhadap pengelolaan wilayah pertambangan. Berbagai persoalan pertambangan di
Indonesia kemudian bermunculan. Salah satu masalah yang sangat krusial adalah
masalah reklamasi lingkungan di area bekas pertambangan. Terutama pertambangan
yang dikelola perusahaan – perusahaan kecil pemegang IUP.
Menurut Bupati Sumatera Barat yang juga merangkap sebagai
Ketua Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Aplikasi, Zulkifli Mahadli, “Masih
banyak pengusaha pertambangan yang tidak melakukan kegiatan
reklamasi paska tambang secara benar dan tepat. Banyak yang belum
melakukan sama sekali. Adapula yang sudah melakukan, tetapi tidak memenuhi
standar dan prinsip – prinsip pengelolaan yang baik dan benar”[61].
“Padahal, reklamasi paska tambang merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh
pemegang IUP dan IUPK, sebagaimana diatur dalam pasal 96 huruf (c)
UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta pasal 2
ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2010 Tentang Reklamsi dan
Pascatambang”[62].
Akibat diabaikannya kegiatan reklamasi paska tambang
tersebut, pencemaran dan kerusakan lingkungan terjadi secara masif di daerah.
Pemerintah Daerah sebagai pengawas belum sepenuhnya menjalankan fungsinya
sebagai pemegang peranan (role playing) secara maksimal.
Bahkan, Pemertintah Daerah belum memahami arti pentingnya kegiatan reklamasi
lahan pasca tambang sebagai bagian yang integral dengan pembangunan
berkelnjutan di daerah. Banyak daerah belum memiliki petugas pengawas
pertambangan yang mumpuni. Kebijakan yang dibuat Pemda harus jelas dan tegas
terkait reklamasi. Oleh karena, hal tersebut akan menjadi
pedoman pelaku pertambangan untuk melaksanakan pemulihan
lahan.
Pakar Agronomi IPB, Purwono, mengatakan bahwa Pemerintah
Daerah memiliki peran sangat sentral untuk melakukan kontrol terhadap
perusahaan dalam menyelenggarakan kegiatan reklamasi sesuai dengan rencana
pascatambang. Pelaksanaan reklamasi merupakan perintah undang – undang yang
wajib dilakukan, dan mendapat kontrol Pemerintah Daerah. Namun belum
semua daerah memberi perhatian yang besar pada masalah lingkungan
karena terbentur masalah politik. Memang sejauh ini ada Kepala
Daerah yang peduli dengan lingkungan, tetapi itu lebih karena latar belakang
pekerjaan sebelum menjadi Bupati. Bupati yang dekat dengan petani cenderung
peduli lingkungan. Berbeda dengan yang berlatar belakang pengusaha. Mereka
tidak terlalu peduli, karena lebih peduli pada pentingnya pendapatan daerah dan
mengabaikan lingkunga[63].
Kebijakan legislasi yang ditetapkan memang memiliki beberapa
permasalahan yang harus dicarikan pemecahannya (problem solving) secara
bersama – sama antara pengusaha dan pemerintah. Regulasi yang ditetapkan dalam
undang – undang mineral dan batubara mengharuskan (imperatif) perusahaan
pembangunan smelter (pabrik pengolahan, peleburan dan pemurnian mineral)
membuat infrastruktur lain seperti untuk transportasi dan energi, padahal
lokasi pertambangan biasanya jauh dari perkotaan, bahkan mayoritas di luar
Pulau Jawa. Belum lagi masalah harga energi, pajak dan bea keluar komoditi
mineral logam. Oleh karena itu sinergi antara pemerintah dengan kalangan usaha
menjadi faktor penting dalam pelaksanaan kebijakan hilirisasi.
IUPK Eksplorasi
meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan dalam
rangka pertambangan. Menurut Pasal 62 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010
tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara (PP Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Minerba), IUPK Eksplorasi diberikan berdasarkan permohonan dari
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau badan
usaha swasta yang telah mendapatkan Wilayah Ijin Usaha Pertambangan Khusus
(WIUPK).
Berdasarkan Pasal
78 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan
Batubara, IUPK Eksplorasi sekurang-kurangnya wajib memuat:
- nama
perusahaan;
- luas
dan lokasi wilayah;
- rencana
umum tata ruang;
- jaminan
kesungguhan;
- modal
investasi;
- perpanjangan
waktu tahap kegiatan;
- hak
dan kewajiban pemegang IUPK;
- jangka
waktu tahap kegiatan;
- jenis
usaha yang diberikan;
- rencana
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan;
- perpajakan;
- penyelesaian
perselisihan masalah pertanahan;
- iuran
tetap dan iuran eksplorasi; dan
- amdal.
Gerakan
green marketing memang belum terlalu lama didengungkan, namun dampaknya sungguh
dapat dirasakan di berbagai belahan dunia. Kesadaran akan pentingnya menjaga
planet bumi, semakin keras dikumandangkan. Pimpinan negara – negara dunia
berkumpul berkali – kali secara kontinu untuk membahas masalah ini. Isu global
warming sekarang bukan hamya konsumsi bahan seminar. Konsep green biasanya
mendapatkan image positif dari masyarakat dan dapat meningkatkan value
perusahaan di mata para investor.
FOOTNOTE:
[1] Siswono
Yudo Husodo, Menuju Welfare State, Jakarta, Penerbit
Baris Baru, 2009, hlm. 58.
[2] Siswono
Yudo Husodo, Ibid, hlm. 59.
[3] H.
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta,
2008, hlm. 80.
[4] H.R.
Otje Salman, Anthon F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Penerbit
PT. Alumni, Bandung, 2012, hlm. 103.
[5] H.R.
Otje Salman, Anthon F. Susanto, Ibid, hlm. 105 – 106.
[6] Philipus
M. Hadjon, dkk., Hukum Administrasi dan Good Governance, Penerbit
Universitas Trisakti, Jakarta, 2012, hlm. 74.
[8] S.
Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1995, hlm. 82.
[9] Siswono
Yudo Husodo, Menuju Wefare State, Penerbit Baris Baru, Jakarta, 2009,
hlm. 65.
[10] [10] Siswono
Yudo Husodo, Ibid, hlm. 66.
[11] Jimly
Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar – Pilar Demokrasi,
Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 134 – 135.
[12] Kuntjoro
Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan
Administrasi Negara, Penerbit Alumni, Bandung, 1981, hlm. 41.
[13] Kuntjoro
Purbopranoto, Ibid, hlm. 41- 42.
[14] Mc.
Iver, Jaring – Jaring Pemerintahan, Penerbit Aksara baru, Jakarta,
1981, hlm. 101.
[15] Delly
Mustafa, Birokrasi Pemerintahan, Penerbit CV. Alfabeta Bandung,
Bandung, 2013, hlm.4
[16] Maria
S.W. Sumardono, Nurham Ismail, dkk. Pengaturan Sumber Daya Alam di Indonesia
antara yang Tersurat dan Tersirat, Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2011, hlm. 212.
[17] Maria
S.W. Sumardono, Nurham Ismail, dkk., Ibid, hlm. 213.
[18] Maria
S.W. Sumardono, Nurham Ismail, dkk. Ibid, hlm. 214.
[19] Gatot
Supramono, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia,
Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm. 172.
[20] Gatot
Supramono, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia,
Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm. 8.
[21] Gatot
Supramono, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia,
Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm. 8.
[22] Gatot
Supramono, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia,
Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm. 8 – 9.
[23] Ready
Advancer, Reklamasi Masih Sebatas Slogan, The Indonesian
Energy & Mining Tambang, Penerbit PT media Bakti Tambang, Jakarta,
Volume 8 No. 103, Januari 2014, hlm.49.
[24] Ready
Advancer, Ibid, hlm.49.
[25] Reksohadiprodjo, Sukanto,
Pradono, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Energi, Tanpa Penerbit,
Yogyakarta, 1988, hlm. 159 – 160.
[26] Gatot
Supramono, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia,
Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm. 1.
[27] Moh.
Kusnardi, Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Penerbit Gaya Media
Pratama, Jakarta, 2008, hlm. 228.
[28] Moh.
Kusnardi, Bintan R. Saragih, Ibid, hlm. 229.
[29] Dedi
Soemardi, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Penerbit IND – HILL – CO,
Jakarta, 1987, hlm. 31.
[30] Soediman
Kartohadiprodjo, Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, Bandung, 1969,
hlm. vii.
[31] Soediman
Kartohadiprodjo, Ibid, hlm. 44.
[32] Bahder
Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Penerbit Mandar
Maju, Bandung, 2012, hlm. 109.
[33] Bahder
Johan Nasution, Ibid , hlm. 109.
[34] Darji
Darmodiharjo, Pancasila dalam Beberapa Perspektif. Penerbit
Aries Lima, Jakarta, 1983, hlm. 89.
[35] Darji
Darmodiharjo, Ibid, hlm. 89.
[36] Bahder
Johan Nasution, Ibid , hlm. 81 – 82.
[37] Dedi
Soemardi, Opcit, hlm. 47 – 49.
[38] A.
Hamid S. Attamimi, Pancasila Cita Hukum dalam Kehidupan Bangsa
Indonesia, Penerbit BP – 7 Pusat, Jakarta, 1991, hlm. 71.
[39] A.
Hamid S. Attamimi, Ibid, hlm. 72.
[40] Padmo
Wahjono, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Ketatanegaraan,
Penerbit BP – 7 Pusat, Jakarta, 1991, hlm. 90.
[41] Moerdiono,
dkk., Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan
Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Penerbit BP – 7 Pusat, Jakarta,
1992, hlm. 239 – 240.
[42] Moerdiono,
dkk., Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan
Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Penerbit BP – 7 Pusat, Jakarta,
1992, hlm. 240 – 241 .
[43] Soerjono
Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di
Indonesia, Penerbit Universitas Indonesia (UI – Press), Jakarta, 1983,
hlm.5
[44] Purnadi
Purbacaraka, A. Ridwan Halim, Hak Milik, Keadilan dan Kemakmuran
Tinjauan Falsafah Hukum, Penerbit Ghalia Indonesia, 1982, hlm. 11.
[45] Purnadi
Purbacaraka, A. Ridwan Halim, Ibid, hlm. 19.
[46] Purnadi
Purbacaraka, A. Ridwan Halim, Ibid, hlm. 19.
[47] Purnadi
Purbacaraka, A. Ridwan Halim, Hak Milik, Keadilan dan Kemakmuran
Tinjauan Falsafah Hukum, Penerbit Ghalia Indonesia, 1982, hlm. 65.
[48] Gatot
Supramono, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia,
Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm. 171.
[49] Gatot
Supramono, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia,
Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm. 171.
[50] Ferry Aries
Suranta, Penggunaan Lahan Hak Ulayat Dalam Investasi Sumber Daya Alam
Pertambangan di Indonesia, Jakarta, Media Online, diakses pada hari Minggu,
pukul 12.00, tanggal 23 Maret 2014.
[51] Nandang
Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia, Penerbit
Pustaka Yustisia, Jakarta, 2013, hlm. 34 -35.
[52] Nandang
Sudrajat, Ibid, hlm. 37.
[53] AP Parlindungan, Hak
Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1989, hlm.
3.
[54] H.
Salim HS, Hukum Pertambangan Mineral & Batubara, Penerbit Sinar
Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 57.
[55] H.
Salim HS, Ibid, hlm. 59.
[56] Moerdiono,
dkk., Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan
Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Penerbit BP – 7 Pusat, Jakarta,
1992, hlm. 247.
[57] Moerdiono,
dkk., Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan
Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Penerbit BP – 7 Pusat, Jakarta,
1992, hlm. 247 – 248.
[58] Moerdiono,
dkk., Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan
Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Penerbit BP – 7 Pusat, Jakarta,
1992, hlm. 248.
[59] Moerdiono,
dkk., Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan
Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Penerbit BP – 7 Pusat, Jakarta,
1992, hlm. 248.
[60] Nandang
Sudrajat, Opcit, hlm. 73 – 75.
[61] Zulkufli
Muhadi, Reklamasi Masih Sebatas Slogan, The Indonesian Energy
& Mining Tambang, Penerbit PT media Bakti Tambang, Jakarta, Volume 8
No. 103, Januari 2014, hlm.22.
[62] Zulkufli
Muhadi, Ibid, hlm. 23
[63] Purwono, Reklamasi
Masih Sebatas Slogan, The Indonesian Energy & Mining Tambang,
Penerbit PT media Bakti Tambang, Jakarta, Volume 8 No. 103, Januari 2014,
hlm.23.
Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant
Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002