Kamis, 24 November 2022

 JAMINAN BANK (BANK GUARANTEE)               

 

Bank garansi adalah istilah yang diberikan oleh pihak bank untuk menjamin nasabahnya. Sebagai lembaga keuangan, bank tentu saja memiliki sejumlah fasilitas yang memberikan kemudahan bagi nasabahnya dalam melakukan berbagai transaksi keuangan. Dapat pula dikatakan, JAMINAN BANK  atau  bank guarantee adalah jaminan yang diberikan oleh sebuah institusi peminjaman. Dengan adanya jaminan bank, pihak yang meminjamkan uang memastikan bahwa debitur akan memenuhi kewajibannya. Dapat diartikan bahwa jika debitur gagal untuk melunasi utang, maka pihak bank akan bertanggung jawab. Jaminan bank memungkinkan konsumen atau debitur untuk membeli barang atau meminjam sejumlah uang.

Jaminan bank juga dapat diartikan sebagai kesepakatan dimana sebuah institusi peminjaman berjanji untuk menutup kerugian jika seorang debitur tidak mampu melunasi utangnya. Jaminan ini memungkinkan sebuah perusahaan untuk membeli barang atau perlengkapan yang tidak mungkin didapatkan tanpa pinjaman, mendorong pertumbuhan bisnis, dan meningkatkan aktivitas kewirausahaan.

Jaminan bank dapat memberikan keamanan bagi pihak yang mengajukan maupun pihak yang menerima. Secara umum ada 3 (tiga)  pihak yang berkepentingan dan terlibat dalam penerbitan jaminan bank, yaitu:

1.    Pemberi jaminan

Bank berperan sebagai pihak yang memberikan jaminan sekaligus sebagai pihak yang menerbitkan surat jaminan kepada nasabah yang memiliki kepentingan pada pihak lainnya.

2.    Pihak yang terjamin

Pihak yang mengajukan jaminan merupakan pihak yang terjamin dalam perjanjian ini. Mereka mengajukan dan membuat permohonan jaminan kepada pank untuk kepentingan perjanjian dengan pihak lain.

3.    Pihak yang menerima jaminan

Pihak yang menerima jaminan merupakan pihak ketiga yang menerima jaminan dari bank karena perjanjian yang dilakukan dengan pihak yang mengajukan jaminan. Mereka berhak menerima jaminan atas wanprestasi yang terjadi dalam perjanjian yang sudah disepakati dan berhak mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang diderita.

Jaminan bank tidak bisa diterbitkan begitu saja. Pihak yang terjamin harus menjadi nasabah dari bank yang bersangkutan dan memiliki deposito atau giro yang jumlahnya setidaknya harus sama dengan jumlah uang yang akan diterbitkan dalam jaminan. Bank yang berperan sebagai pihak penjamin akan meminta provisi pada pihak yang terjamin.

Jenis Bank Garansi

Bank garansi memiliki beragam jenis sesuai dengan keperluan penggunaan jaminan, atau transaksi yang dilakukan oleh nasabah. Pada intinya jenis bank garansi adalah bentuk jaminan yang menjamin tidak ada cedera janji oleh pihak berkewajiban. Berikut berbagai jenis bank garansi adalah:

1. Jaminan Penawaran (Bid Guarantee)

 

Jaminan penawaran adalah bentuk jaminan yang menjamin bahwa penawar (bidder) tidak akan menarik penawarannya dalam jangka waktu yang ditentukan untuk penerimaan. Serta akan melaksanakan kontrak tertulis dan memberikan syarat-syarat yang telah ditentukan. Jaminan penawaran menjadi salah satu contoh bank garansi yang dipakai dalam skema bidding.

 

2. Jaminan Pelaksanaan (Performance Guarantee)

 

Jaminan pelaksanaan adalah jaminan yang diminta oleh suatu perusahaan untuk menyuplai sumber daya yang diperlukan kepada calon kontraktor, serta untuk menanggung semua kewajiban berkontrak dari calon kontraktor tersebut.

3. Jaminan Uang Muka (Advance Payment Guarantee)

 

Jaminan uang muka merupakan garansi yang biasanya digunakan untuk mendukung atau menjamin pelaksanaan suatu kontrak, seperti kontrak untuk penjualan barang atau kontrak konstruksi.

4. Jaminan Pembayaran (Payment Guarantee)

 

Jaminan pembayaran merupakan jaminan keuangan yang mengharuskan debitur untuk melakukan pembayaran kembali berdasarkan persyaratan yang digariskan dalam perjanjian utang asli. Jaminan pembayaran seringkali juga didukung dengan jaminan lain seperti properti. Jaminan ini menjadi contoh bank garansi dalam fungsinya yaitu sebagai penjamin transaksi.

5. Jaminan Pemeliharaan (Retention Guarantee)

 

Jaminan pemeliharaan adalah garansi yang diterbitkan kepada pemilik atau pembeli dari bank untuk menjamin bahwa pihak pemohon akan terus memenuhi kewajiban kontrak setelah menarik pembayaran akhir dari harga kontrak di muka, sesuai permintaan dari kontraktor atau pemasok konstruksi.

6. Jaminan Kepabeanan (Custom Guarantee)

 

Jaminan kepabeanan merupakan garansi pembayaran pungutan negara dalam kegiatan kepabeanan. Diberikan kepada pihak penerima jaminan untuk menyelesaikan kewajiban pihak terjamin dalam mengelola barang terkait. Jaminan ini adalah contoh bank garansi yang digunakan dalam ranah bea cukai.

 

Selasa, 22 November 2022

 

KILAS PANDANG  

HUKUM PENANAMAN MODAL

 

PASAR MODAL merupakan kegiatan/aktivitas  yang berhubungan dengan penawaran umum dan perdagangan efek/saham, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Pasar Modal menyediakan berbagai alternatif bagi para investor selain alternatif investasi lainnya, seperti: menabung di bank, membeli emas, asuransi, tanah dan bangunan, dan sebagainya. Pasar Modal bertindak sebagai penghubung (agency) antara para investor dengan perusahaan atau institusi pemerintah melalui perdagangan instrumen melalui jangka panjang seperti obligasi, saham, dan lainnya. Berlangsungnya fungsi pasar modal (Bruce Lliyd, 1976), adalah meningkatkan dan menghubungkan aliran dana jangka panjang dengan "kriteria pasarnya" secara efisien yang akan menunjang pertumbuhan riil ekonomi secara keseluruhan (komprehensif).

 

Dalam literasi akademis, sering terjadi kesalahan dalam memahami  terminologi Hukum Pasar Modal dengan Hukum Penanaman Modal. Oleh karena in concreto, secara gramatikal dan interprestasi terdapat perbedaan pengertian antara “Pasar” dan “Penanaman”. Secara harfiah,   awalan kata (hukum) dan akhiran kata  (modal) memiliki kesamaan diksi. Dengan adanya perbedaan maka tentunya akan memiliki konsekwensi lainnya. Untuk memperjelas arti kata pada terminologi pasar modal, maka rujukan yang paling mudah adalah mengacu pada ketentuan perundang-undangan.

 

Dalam hal pengertian, Hukum Pasar Modal adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara investor (yang memiliki dana) dengan Emiten atau Perusahaan Publik (yang membutuhkan dana) melalui Bursa Efek sebagai media tempat bertemu; sedangkan Hukum Penanaman Modal adalah hukum yang mengatur tentang bagaimana investor asing yang bermaksud menanamkan modalnya (dalam bidang usaha tertentu) di Indonesia. Penamanan modal ini tentunya bisa dilakukan secara langsung sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian maka terminologi ”pasar” memiliki perbedaan arti dengan terminologi ” penamanan”.

 

Hukum Pasar Modal lebih ditujukan kepada penanaman modal tidak langsung (indirect Investment). Sementara itu, Hukum Penanaman Modal lebih mengarah kepada aspek penanaman modal yang sifat langsung (direct investment), sehingga keduanya memang jelas memiliki perbedaan. Letak perbedaan di antara keduanya terletak pada tujuan investasi. Hukum Pasar Modal tujuan investasinya adalah jangka pendek, sementara itu, Hukum Penanaman Modal tujuan investasinya lebih menekankan kepada investasi jangka panjang.

 

Hukum Penanaman Modal menurut Pasal 1 ayat (1) didefinisikan sebagai segala bentuk kegiatan menanamkan modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Dengan demikian, maka penanaman modal adalah seluruh bentuk kegiatan bisnis dengan cara menanam modal melalui PMDN dan PMA untuk melakukan usaha di Indonesia. Artinya, sepanjang tujuan utamanya menanamkan modal tanpa melihat siapakah pemilik modalnya, maka kegiatan itu dapat dikategorisasi sebagai penanaman modal.

 

Merujuk pada kepustakaan Hukum Ekonomi atau Hukum Bisnis, terminologi PENANAMAN  MODAL diartikan sebagai  “Penanaman modal yang dilakukan secara langsung oleh investor lokal (domestic investor), investor asing (Foreign Direct Investment, FDI), dan penanaman  modal yang dilakukan secara tidak langsung oleh pihak asing (Foreign Indirect Invesment, FII)”. Konsepsi penanaman  modal yang dilakukan secara tidak langsung oleh pihak asing (Foreign Indirect Invesment, FII)  juga disbut  dengan istilah penanaman modal dalam bentuk portofolio, yakni pembelian efek lewat Lembaga Pasar Modal (Capital Market).


Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UUPM) dikemukakan, penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan penanaman modal, baik oleh penanaman dalam negeri maupun penanaman modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia.

 

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)  mempunyai tugas merumuskan kebijakan dalam bidang penanaman modal, baik untuk investor dalam negeri maupun luar negeri. Dalam perjalannya, dengan diundangkan Undang-undang Nomor  25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, BKPM telah menjadi sebuah lembaga pemerintah yang menjadi koordinator kebijakan penanaman modal, baik koordinasi antar instansi pemerintah, pemerintah dengan Bank Indonesia, serta pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (vide -  Pasal 27 UU-PM).

 

Created by: Appe Hamonangan Hutauruk

 

 

KONTRAK ATAU PERJANJIAN KERJASAMA YANG DIADAKAN OLEH PEMERINTAH

 

Dalam suatu Negara Hukum Modern maka secara kualitatif perbuatan administrasi negara (aparatur pemerintahan) dapat diklasifikasikan menjadi: 

a. Perbuatan membuat peraturan perundang – undangan;

b. Perbuatan melaksanakan peraturan perundang – undangan. 

Sehubungan dengan perbuatan melaksanakan peraturan perundang – undangan,  administrasi negara/aparatur pemerintahan melakukan perbuatan – perbuatan konkrit yang dapat dibedakan berupa: 

a. Perbuatan biasa;

b. Perbuatan hukum. 

Perbuatan hukum biasa berupa perbuatan – perbuatan yang tidak membawa akibat hukum dari aspek keperdataan. Sedangkan perbuatan – perbuatan hukum adalah baik perbuatan maupun akibat hukumnya diatur oleh hukum, baik oleh hukum perdata maupun hukum publik. Dalam hal pemerintah mengadakan kontrak atau kerjasama dengan pihak lain, misalnya pihak swasta maka dalam hal ini pemerintah dianggap melakukan perbuatan hukum perdata (hal ini berbeda dengan apabila pemerintah menerbitkan suatu ketetapan atau beschikking). 

Pemerintah dalam menjalankan fungsinya sebagai pembangun sarana dan prasarana atau infrastruktur publik maupun sebagai penyedia dalam hal ini sebagai penyedia kebutuhan bagi rakyatnya, memerlukan sektor swasta sebagai pemasok barang dan jasa bagi pemerintah. Terkait dengan hal ini maka terjadi hubungan hukum antara pemerintah sebagai pihak pengguna dengan pihak swasta sebagai pihak penyedia yang disusun dalam bentuk kontrak (hubungan keperdataan).

Kontrak yang dibuat oleh pemerintah bersifat multi aspek dan mempunyai karakter yang sangat khas, namun demikian tetap merujuk pada ketentuan mengenai syarat – syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata jo. Pasal 1338 KUHPerdata. Sekalipun hubungan hukum yang terbentuk antara pemerintah dengan mitranya adalah hubungan kontraktual, tetapi di dalamnya terkandung tidak saja hukum privat, tetapi juga hukum publik. Apabila dalam kontrak komersil para pihak mempunyai kebebasan yang sangat luas dalam mengatur hubungan hukum atau mengatur kewajiban kontraktual mereka, maka dalam kontrak pengadaan oleh pemerintah, kebebasan itu tidak sepenuhnya berlaku sebab terhadap kontrak ini berlaku rezim hukum khusus. 

Belum tersedianya instrumen hukum yang secara khusus mengatur kontrak komersial oleh pemerintah juga merupakan faktor lemahnya sistem pengadaan. Secara teoretik, terdapat berbagai isu hukum tentang pengadaan oleh pemerintah yang dapat diajukan untuk memperoleh kajian lebih lanjut. Dari perspektif hukum kontrak terdapat beberapa isu hukum yang dapat diajukan sebagai bahan untuk dikaji terutama tentang penerapan berlakunya prinsip umum hukum kontrak dalam kontrak pengadaan oleh pemerintah. Bertolak dari pemahaman bahwa kontrak merupakan proses, maka perhatian dalam studi tentang kontrak pengadaan di samping difokuskan pada situasi menuju pembentukan kontrak (pre-contractual fase), juga pada situasi setelah ditutupnya kontrak (post-contractual fase) atau menyangkut pelaksanaan dari kontrak itu. Dalam kaitan ini perlu adanya pemahaman tentang prinsip hukum kontrak berikut penerapannya dalam dua situasi itu. 

Dalam hal terdapat ambigutias pada isi kontrak yang menimbulkan perbedaan penafsiran, maka penafsiran dilakukan demi kerugian pihak perancang, hal ini disebut yang disebut contra preferentem rule. Bagi penyedia barang dan atau jasa hal ini tidak banyak manfaatnya. Situasi yang demikian ini timbul karena adanya desakan elemen hukum publik ke dalam hubungan kontraktual yang melibatkan pemerintah. 

Berdasarkan pada fakta dalam kontrak pengadaan barang dan jasa pemerintah, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya berbagai hambatan dalam pelaksanaan kontrak pengadaan barang dan jasa. Kondisi ini dapat terjadi dengan adanya kedudukan pemerintah sebagai kontraktan dengan standarisasi keuangan negara akan menghambat pelaksanaan kontrak. Apalagi kenyataan ini ditunjang dengan kecenderungan pemerintah memposisikan diri sebagai badan hukum publik dalam kontrak yang seringkali melakukan penyalahgunaan wewenang dan perbuatan-perbuatan melanggar hukum lainnya. Di sisi lain, terdapat kemungkinan pelanggaran prinsip dan norma oleh penyedia barang/jasa yang dapat menimbulkan tanggung-gugat dalam kontrak yang melibatkan pemerintah sebagai pengguna barang/jasa.

 

APPE HAMONANGAN HUTAURUK, SH., MH.

 

 

KEJAHATAN ATAU TINDAK PIDANA PERBANKAN

Kejahatan dan pelanggaran merupakan tindakan atau kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan atau peraturan yang berlaku dan dapat diancam pidana atau dijatuhi hukuman/sanksi pidana, sedangkan pengertian perbankan itu sendiri menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan dan undang-undang mengenai perbankan syariah.

Dengan demikian,  kejahatan dan pelanggaran dalam perbankan atau Tindak Pidana Perbankan adalah seluruh tindakan atau kegiatan yang bertentangan dengan undang-undang perbankan meliputi kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses melaksanakan kegiatan usahanya baik secara konvensional dan syariah yang dilakukan oleh perorangan atau badan hukum.

Merujuk dari beberapa refrensi, dapat disimpulkan bahwa tindak pidana perbankan meliputi sebagai berikut: :

1.            Tindak pidana berkaitan dengan perizinan. 

2.            Tindak pidana berkaitan dengan rahasia bank.

3.            Tindak pidana berkaitan dengan pengawasan bank.

4.            Tindak pidana berkaitan dengan kegiatan usaha bank.

5.            Tindak pidana berkaitan dengan pihak terafiliasi.

6.            Tindak pidana berkaitan dengan pemegang saham.

7.            Tindak pidana berkaitan dengan ketaatan terhadap ketentuan.

Tindak pidana perbankan ini merupakan kategori tindak pidana khusus, maksudnya adalah tindak pidana ini diatur dengan peraturan perundang-undangan tersendiri secara lebih jelas dan terinci yaitu Undang-Undang  Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Sehingga dalam tindak pidana perbankan ini berlaku  azas hukum “lex specialis derogat lex generali”  maksudnya adalah bahwa ketentuan hukum/peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengesampingkan  ketentuan hukum/peraturan perundang-undangan yang bersifat umum.

Dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang  Nomor 10 Tahun 1998 ter, terdapat sejumlah norma hukum, yang berfungsi sebagai dasar dalam membuat, mengatur dan menetapkan kabijakan dan ketentuan hukum perbankan, yang akan dilakukan, baik oleh Pemerintah maupun Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter dan perbankan dan menjadi kewajiban setiap pelaku bisnis perbankan untuk menaati norma hukum perbankan yang terdapat dalam Undang - Undang No 7 Tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang  No.10 Tahun 1998. Norma hukum itu dimaksudkan untuk memeberikan landasan prevensi bagi bank dalam menjalankan kegiatan usahanya, sehingga kepentingan masyarakat maupun kelangsungan hidup bisnis perbankan nasional dapat terlindungi. Disamping itu, untuk mendidik dan sekaligus meningkatkan ketaatan pelaku bisnis perbankan nasional, maka dikembangkan  pula sistem self regulation dan moral suasion. 

Norma hukum perbankan nasional ini cenderung menonjolkan sifat administrative, ketimbang mengatur hubungan keperdataan antara bank dan nasabahnya. Oleh karena itu hukum norma perbankan nasional lebih tepat jika dikualifikasikan sebagai norma hukum fungsional, yang tidak dapat lagi dikulifikasikan sebgai norma hukum privat atau norma hukum publik. Ciri norma hukum fungsional tersebut, meniadakan pembedaan antara norma hukum privat dan norma hukum public. Dimana kedua norma hukum ini saling bertaut atau bersinggungan. Hal ini menunjukan bahwa telah terjadi pergeseran hukum privat menjadi hukum publik. 

Berdasarkan pengertian diatas, unsur – unsur  yang terkandung di dalam hukum perbankan adalah: 

1.    Serangkaian ketentuan hukum positif ( perbankan) adanya ketentuan perbankan dengan dikeluarkannya pelbagi peraturan perundang-undangan, baik berupa Undang-Undang peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Bank Indonesia, keputusan direksi dan surat edaran Bank Indonesia dan peraturan pelaksana lainnya. Semua peraturan perundang-undangan di bidang perbankan tersebut terangkai sebagai suatu system dengan diikat oleh asas hukum tertentu. 

2.    Hukum positif (perbankan) tersebut bersumber ketentuan tertulis dan tidak tertulis. Ketentuan yang terulis adalah ketetnuan yang dibentuk badan pembentukan hukum dan perundang-undangan yang berwenang, baik berupa peraturan original (asli) maupun peraturan  derivative (turunan) sedangkan ketentuan yang tidak tertulis adalah ketentuan yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan operasional perbankan. 

3.    Ketentuan hukum perbankan tadi mengatur ketatalaksanaan kelembagaab bank. Didalamnya diatur mengenai persyaratan pendirian bank, yang mencakup perizinan, bentuk hukum, kepengurusan dan kepemilikan bank. Juga mengatur bangun organisasi yang menunjang kegiatan usaha perbankan. Dimuat pula ketentuan pembinaan dan pengawasan bank oleh Bank Indonesia dan kerahasiaan bank. 

4.    Ketentuan hukum perbankan tadi juga mengatur aspek-aspek kegiatan keusahaannya. Secara umum, fungsi bank adalah sebagai penghimpun dana masyarakat. Penghimpunan dana masyarakat tersebut diwujudkan dalam bentuk simpanan. Kemudian dana dihimpun tersebut disalurkan kembali dalam bentuk pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan keusahaan bank lainnya. Selain itu bank melakukan keusahaan pemberian jasa-jasa perbankan yang tidak termasuk dalam fungsi utamanya. Bahkan menurut undan-undang perbankan yang diubah, bank dapat pula melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank, sepanjang kegiatan itu tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Aturan Hukum Surat Perjanjian Jual Beli

 

Aturan Hukum Surat Perjanjian Jual Beli – Pada dasarnya, terjadinya transaksi jual beli antara pembeli dan penjual, pada saat terjadinya kesepakatan satu sama lain pihak dalam menentukan harga dan barang. Meskipun barang tersebut belum diserahkan atau belum dibayar lunas.

Terkait perjanjian jual beli tersebut undang-undang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan syarat sah yang harus dipenuhi dalam surat perjanjian jual beli tersebut. Aturan hukum surat perjanjian jual beli ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. 

Walaupun dalam ketentuan undang-undang memberikan kebebasan sesuai dengan asas kebebasan berkontrak, namun para pihak tidak diperbolehkan membuat atau mengadakan perjanjian jual beli yang dapat mengganggu ketertiban umum, atau melanggar aturan hukum surat perjanjian jual beli berdasarkan Undang-Undang.

Syarat sahnya suatu perjanjian jual beli ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, namun dalam prakteknya masih terdapat syarat sah perjanjian jual beli yang dinilai menyimpang dari asas yang terkandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata ayat (3).

Segala hal terkait hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dalam perjanjian jual beli harus dipenuhi dan tidak boleh menimbulkan wanprestasi atau tidak dipenuhinya prestasi. Hak dan kewajiban pihak yang terlibat dalam perjanjian jual beli, akan disesuaikan berdasarkan Undang-Undang.

Aturan hukum surat perjanjian jual beli akan lebih sempurna jika dibuat dihadapan notaris, hal ini dikatakan tegas dalam Pasal 1870 KUHPerdata. Pembuatan surat perjanjian jual beli dihadapan notaris merupakan salah satu langkah preventif dari resiko yang akan timbul seperti sengketa dan perselisihan antara pihak yang terlibat.

Tujuan dari pembuatan perjanjian jual beli akan disesuaikan berdasarkan pembelian dari jenis barang, sehingga aturan hukum surat perjanjian jual beli akan memuat Pasal yang mengikat tergantung pembelian dari barang tersebut. Terdapat beberapa Pasal yang mengatur jenis benda dalam transaksi jual beli yang dilakukan, dan Pasal ini akan disertakan dalam isi perjanjian jual beli tersebut.

Mengingat fungsi dari surat perjanjian jual beli sebagai dokumen resmi atau bukti telah dilakukannya sebuah transaksi, maka dapat dikatakan bahwa dalam pembuatannya harus dilakukan dengan sadar dan tanpa adanya paksaan antara pihak terlibat.

Sebaiknya sebelum Anda melakukan atau memutuskan untuk membuat surat perjanjian jual beli, melihat contoh surat perjanjian jual beli dan mengetahui cara membuat surat perjanjian jual beli terlebih dahulu, agar dalam melaksanakan transaksi jual beli tidak menimbulkan resiko yang merugikan antar pihak.

 

 

ASAS ITIKAD BAIK DALAM JUAL BELI TANAH

Jual beli merupakan salah satu perjanjian bernama, jual beli ini adalah perjanjian yang paling banyak dipakai masyarakat baik oleh masyarakat bisnis maupun bukan bisnis. Salah satu perjanjian jual beli yang sering dilakukan oleh masyarakat adalah jual beli dalam bidang pertanahan. Walaupun jual beli ini merupakan perjanjian ini yang paling banyak dipakai masyarakat, tetapi sangat sedikit Pustaka yang membahas jual beli  dalam bidang pertanahan secara mendalam.

Perjanjian jual beli dalam bidang pertanahan dalam pratiknya sering kali melahirkan sengketa, konflik maupun perkara, baik pada saat pra perjanjian dan pada pelaksanaan perjanjiaN. Hal yang paling mendasari terjadinya kasus  jual beli dalam bidang pertanahan adalah adanya itikad buruk dalam pelaksanaan jual beli dan/atau ketidaktahuan atas pelaksanaan itikad baik bagi penjual dan pembeli dalam melakukan jual beli tanah.

Istilah jual beli dalam Hukum Perjanjian Indonesia diadopsi dari istilah koop en verkoop dalam Bahasa belanda. Hukum belanda juga mengikuti konsep emptio vendito yang berasal dari hukum romawi. Dalam hukum romawi istilah jual beli adalah emptio venditoEmptio bermakna membeli, kemudian vendition bermakna sebagai penjual. . Dari istilah tersebut terlihat hubungan yang bersifat timbal balik antara dua pihak yang melakukan perbuatan hukum yang berbeda, pihak yang satu melakukan Tindakan hukum untuk menjual, dan pihak yang lain melakukan tindak untuk membeli.

Di Indonesia dengan mendasarkan diri pada Pasal 1457 Burgerlijk Wetboek yang diterjemahkan dengan istilah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata), jual beli adalah suatu persetujuan atau perjanjian yang mengikat penjual dan pembeli, pembeli mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu barang yang disetujui bersama, dan pembeli mengikatkan diri untuk membayar harga barang yang disetujui bersama (koop en verkoop is eene overeenkomst waarbij de eene zich vebind om eene zaak te leveren e andere om daar voor den bedogen prijs te betalen).

Berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik (zij moten te goeder trouw worden ten uitvoer verklaart). Ketentuan ini sangat asbtrak. Tidak ada pengertian dan tolok ukur itikad baik dalam KUHPerdata. Oleh karena itu, perlu dicari dan ditelusuri makna dan tolok ukur itikad baik tersebut yang dapat dijelaskan melalui teori-teori hukum yang ada.

Menurut Ridwan Khairandy, tolok ukur itikad baik dalam pelaksanaan jual beli dapat dibedakan pada tahap pra perjanjian dan pelaksanaan perjanjian. Itikad baik pada tahap pra perjanjian merupakan kewajiban untuk memberitahukan atau menjelaskan dan meneliti fakta bagi para pihak yang berkaitan dengan pokok yang dinegosiasikan dengan pokok yang dinegosiasikan itu.

Sehubungan dengan hal ini, putusan-putusan Hoge Raad menyatakan bahwa pada pihak yang bernegosiasi (penjual dan pembeli) masing-masing memiliki kewajiban itikad baik, yakni kewajiban untuk meneliti (onderzoekplicht) dan kewajiban untuk memberitahukan atau menjelaskan (mededelingsplicht).

Dalam konteks jual- beli bidang pertanahan, asas itikad baik pra kontrak ini menjadi suatu hal yang penting. Sebagai contoh dalam jual beli hak atas tanah, orang yang akan membeli hak atas tanah tersebut wajib meneliti: (1) Surat Jual Beli Hak Atas Tanah (2) Pemilik Hak Atas Tanah (3) jenis hak atas tanah apakah hak atas tanah tersebut merupakan hak atas tanah berjangka waktu atau tidak, (4) apakah hak atas tanah tersebut dibebankan jaminan atau tidak, (5) apakah pemegang hak atas tanah melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai pemegang hak atas tanah yaitu melakukan pemanfaatan sesuai dengan ketentuan pasal 6, pasal 10 dan pasal 15 UUPA dan tujuan keputusan TUN dalam pemberian hak nya (6) kewajiban menjaga tanda-tanda batas termasuk pemeliharaannya sebagaimana diatur di dalam Pasal 17 ayat (3) PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, karena potensi kasus pertanahan sering diakibatkan karena sengketa batas bidang tanah.

Bilamana tidak dilakukan penelitian sebagaimana dijelaskan di atas, bahkan transaksi terus dilanjutkan padahal kemudian ternyata tanah tersebut mempunyai suatu persoalan hukum, maka pembeli yang demikian ini termasuk pembeli yang beritikad buruk dan tidak akan dilindungi hukum.

Selanjutnya dipihak lain, penjual memiliki kewajiban untuk menjelaskan semua informasi yang diketahui dan penting bagi pembeli sebagaimana hak dan kewajiban yang melekat pada hak atas tanah sebagai objek perjanjian. Menurut Ridwan Khairandy Kalau penjual telah menyatakan dengan tegas seluruh informasi dan tidak terdapat dugaan pelanggaran hukum, pembeli dapat mempercayai pernyataan itu, dan pembeli itu tidak perlu meneliti lagi. Hakim harus mempertimbangkan kewajiban-kewajiban itu satu dengan lainnya dengan ukuran itikad baik (Ridwan Khairandy, 2014:136).

Selanjutnya itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian dalam beberapa sistem hukum perjanjian, seperti hukum perjanjian jerman dan hukum perjanjian belanda, itikad baik dibedakan antara itikad baik subjektif dan objektif. Itikad baik subjektif (subjective goede trouw) didasarkan dengan sikap batin atau kewajiban (pyschisce gestelheid), yakni apakah yang bersangkutan menyadari atau mengetahui bahwa tindakannya bertentangan atau tidak beritikad baik.

Standar atau tes bagi itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian tentunya adalah standar objektif.  Standar yang mengacu kepada suatu norma yang objektif. Perilaku para pihak dalam perjanjian harus diuji atas dasar norma-norma objektif. Norma tersebut dikatakan objektif karena tingkah laku tidak didasarkan pada anggapan para pihak sendiri, tetapi tingkah laku tersebut harus sesuai dengan anggapan umum tentang itikad baik tersebut. pelaksanaan objektifitas yang paling sederhana dapat dilihat melalui apakah para pihak melaksanakan isi perjanjian sesuai dengan yang telah diperjanjikan.

Pandangan lebih luas dalam hukum perjanjian, itikad baik objektif mengacu kepada ketaatan akan reasonable commercial standart of fair dealing, yang menurut legislator Belanda disebut bertindak sesuai dengan redelijkheid en billijkheid (reasonableness and equity). ini benar-benar standar objektif. jika satu pihak tidak boleh bertindak dengan cara tidak masuk akan dan tidak patut will not be a good defense to say that honestly believed his conduct to be reasonable and inequitable 

 

 

ASPEK HUKUM TIPIKOR DALAM PENGADAAN
 BARANG DAN JASA

 

Pengadaan Barang/Jasa merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kegiatan pemerintahaan yang bertujuan menyediakan prasarana pendukung baik untuk kegiatan pelayanan publik dan penunjang aktivitas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Sering terjadi salah kaprah di dalam masyarakat tentang kegiatan pemerintah yang melakukan pengadaan barang dan jasa. Masyarakat luas menganggap bahwa pengadaan barang/jasa merupakan kegiatan administratif pemerintah semata, dan tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan masyarakat. Akan tetapi ketika kegiatan pembangunan tersebut dilakukan ternyata memberikan dampak terhadap hajat hidup mereka, barulah masyarakat menyadari arti penting pengadaan barang/jasa oleh pemerintah. Karena pengadaan barang/jasa membutuhkan pendanaan yang begitu besar jumlahnya, selain itu kebutuhan pemerintah yang rutin dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjadikan Keppres 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa sebagai instrument hukum yang sering digunakan. Walaupun demikian Keppres tersebut tidak tanpa kelemahan. Hal ini dikarenakan Keppres 80 Tahun 2003, hanya digunakan sebagai tolak ukur untuk menentukan ada dan tidaknya indikasi pelanggaran administratif, hukum keperdataan yang berkaitan dengan kontrak kerja, dan tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang pejabat pemerintahan. Kemudian menjadi permasalahannya bilamana ketentuan hukum yang berlaku sekarang dapat diterapkan apabila terjadi tindak pidana-tindak pidana terkait persekongkolan tender, tindak pidana korupsi dengan modus pengelembunggan harga (mark up), perbuatan curang, penyuapan, penggelapan, pengadaan fiktif, pemberian komisi, pemalsuaan, atau bahkan hilangnya nyawa orang lain akibat pengadaan barang/jasa berupa pembangunan gedung untuk prasarana dan fasilitas publik, yang mengalami kegagalan konstruksi. Mengacu pada permasalah tersebut, ternyata kegiatan pengadaan barang/jasa termuat kompleksitas hukum di dalamnya. Seperti yang dicontohkan dalam buku referensi ini tentang pengadaan barang/jasa prasana publik berupa Jembatan Mulyorejo yang dibangun dengan APBD Pemerintah Provinsi Jawa Timur, kemudian mengalami kegagalan konstruksi dan menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Menarik untuk di analasis dalam peristiwa hukum tersebut, yaitu tentang siapa dan bagaimana pertanggungjawaban pidana para pelaku usaha (perseorangan maupun badan usaha berbentuk korporasi) yang terlibat dalam proyek pemborongan pembangunan jembatan Mulyorejo yang mengalami kegagalan konstruksi dan menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. 

Pasal yang sering menjadi acuan para penegak hukum untuk menetapkan ada tidaknya perbuatan korupsi adalah Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi. Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan, sedangkan Pasal 3 UU 20/2001 mengatur: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Kata-kata dapat ini merupakan wujud dari delik formil yang bersifat karet, jadi asalkan dapat dibuktikan bahwa telah terjadi peluang merugikan keuangan atau perekonomian negara, meskipun belum tentu sudah nyata terjadi kerugian negara, atau kerugian negara belum faktual, maka pelaku dapat dipidana.

Ternyata implikasi dari pemberlakuan pasal diatas hingga saat ini, ada terpidana korupsi yang merasa dia tidak bersalah karena merasa tidak memiliki niat dan perbuatan jahat untuk memperkaya dirinya sendiri, orang lain, atau korporasi. Rupanya aparat penegak hukum pada saat melakukan penyidikan menekankan pada adanya kerugian negara. Padahal, tidak semua kerugian negara harus berujung dalam ranah pidana.

Masalahnya menjadi lebih pelik lagi kalau kondisinya berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah, karena hal ini menyangkut kewenangan berjenjang mulai dari pengguna anggaran, kuasa pengguna anggran, pejabat pembuat komitmen, sampai dengan unit layanan pengadaan merupakan rangkain yang bisa diminta pertanggungjawaban jika ditemukan suatu pengadaan barang dan jasa yang dapat merugikan negara. Tanpa bermaksud untuk melakukan pembelaan terhadap Dahlan Iskan, contoh kasus yang menimpa beliau dapat dijadikan salah satu contohnya. Kasus ini berawal dari pembangunan megaproyek Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terhadap 21 unit Gardu Induk Jawa-Bali-Nusa Tenggara yang sudah dimulai pada Desember 2011, tatkala Dahlan Iskan sebagai Direkur Utama yang merangkap pula sebagai kuasa pengguna anggaran untuk proyek di atas. Ia kemudian dinyatakan sebagai tersangka atas kasus ini yang detilnya tidak dipaparkan pada tulisan ini.

Secara umum penyidik memulai investigasi suatu proses hukum tindak pidana korupsi pada pengadaan barang dan jasa pemerintah, dengan melihat ada tidaknya kerugian negara. Penyidik tidak memulai penyidikannya dengan menelusuri ada tidaknya niat jahat dari pelaku untuk memperkaya dirinya sendiri, orang lain, atau korporasi. Padahal, tidak semua proses bisnis selalu berujung untung. Menjadi repot lagi jika kemudian ditelusuri terkait unsur melawan hukumnya dari kesalahan administratif hingga pengambilan keputusan atau kebijakan yang pada kemudian hari dianggap salah.Hal lain yang perlu dicermati adalah ketika pelaku yang disidik dianggap memperkaya orang lain atau korporasi. Jika keuntungan yang diperoleh dari orang lain atau korporasi merupakan proses yang tidak berkaitan dengan niat jahat pelaku korupsi, hal tersebut tidak seharusnya dikategorikan sebagai memperkaya orang lain atau korporasi.

 

Adalah wajar jika orang lain atau korporasi dalam pengadaan barang atau jasa dengan pemerintah mendapat keuntungan. Penulis berpendapat, seharusnya apabila tindakan memperkaya orang lain atau korporasi itu berkaitan erat dengan niat jahat (mens rea) dari pelaku korupsi, barulah perbuatan itu layak masuk ke dalam ranah tindak pidana korupsi. Korupsi yang merupakan musuh bersama tentu harus diperangi. Namun, jangan sampai munculnya kerugian negara tanpa bukti niat dan perbuatan jahat menjadikan seseorang sebagai tersangka, terdakwa, bahkan terpidana. 

 

TAHAP PEMBUATAN DAN PELAKSANAAN SUATU KONTRAK ATAU PERJANJIAN

  TAHAP PEMBUATAN DAN PELAKSANAAN SUATU KONTRAK ATAU PERJANJIAN   Pelaksanaan suatu kontrak akibat adanya suatu perbuatan cidera/ingka...