Senin, 11 Juli 2022

CONTOH SURAT TUGAS LSM - KOMAKOPEPA

 

CONTOH SURAT TUGAS LSM - KOMAKOPEPA 

 

Jakarta, 21 Mei 2022 

Nomor            : 017/LSM-KOMAKOPEPA/ST/V/2022
Lampiran        : -
Perihal            : SURAT TUGAS 

Kepada, Yth:
Pejabat/Instansi Pemerintah dan Swasta
di
  Tempat 

 

Dengan hormat, 

Saya yang bertanda tangan dibawah ini: 

Nama              : APPE HAMONANGAN HUTAURUK, SH., MH.

Jabatan          : Ketua Umum LSM – KOMAKOPEPA 

Dengan ini menerangkan bahwa Sdr. Joins Good Command P. adalah benar pengurus pada DPP LSM KOMAKOPEPA sebagai Koordinator Bidang Organisasi. Berkaitan dengan hal tersebut, dengan ini saya selaku Ketua Umum menugaskan yang bersangkutan untuk melakukan tugas dan fungsinya  sesuai maksud dan tujuan pembentukan organisasi   LSM KOMAKOPEPA, di wilayah yurisdiksi Kabupaten/kota Bekasi dan sekitarnya serta Provinsi Jawa Barat pada umumnya. 

Demikian surat tugas ini diterbitkan, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. 

 

Hormat Saya
Ketua Umum
DPP LSM KOMAKOPEPA 

 

APPE HAMONANGAN HUTAURUK, SH., MH. 

 

Tembusan:
-         Arsip sebagai pertinggal

Minggu, 10 Juli 2022

KONTRAK ATAU PERJANJIAN KERJASAMA YANG DIADAKAN OLEH PEMERINTAH

 

KONTRAK ATAU PERJANJIAN KERJASAMA YANG DIADAKAN OLEH PEMERINTAH

 

Dalam suatu Negara Hukum Modern maka secara kualitatif perbuatan administrasi negara (aparatur pemerintahan) dapat diklasifikasikan menjadi: 

a. Perbuatan membuat peraturan perundang – undangan;

b. Perbuatan melaksanakan peraturan perundang – undangan. 

Sehubungan dengan perbuatan melaksanakan peraturan perundang – undangan,  administrasi negara/aparatur pemerintahan melakukan perbuatan – perbuatan konkrit yang dapat dibedakan berupa: 

a. Perbuatan biasa;

b. Perbuatan hukum. 

Perbuatan hukum biasa berupa perbuatan – perbuatan yang tidak membawa akibat hukum dari aspek keperdataan. Sedangkan perbuatan – perbuatan hukum adalah baik perbuatan maupun akibat hukumnya diatur oleh hukum, baik oleh hukum perdata maupun hukum publik. Dalam hal pemerintah mengadakan kontrak atau kerjasama dengan pihak lain, misalnya pihak swasta maka dalam hal ini pemerintah dianggap melakukan perbuatan hukum perdata (hal ini berbeda dengan apabila pemerintah menerbitkan suatu ketetapan atau beschikking). 

Pemerintah dalam menjalankan fungsinya sebagai pembangun sarana dan prasarana atau infrastruktur publik maupun sebagai penyedia dalam hal ini sebagai penyedia kebutuhan bagi rakyatnya, memerlukan sektor swasta sebagai pemasok barang dan jasa bagi pemerintah. Terkait dengan hal ini maka terjadi hubungan hukum antara pemerintah sebagai pihak pengguna dengan pihak swasta sebagai pihak penyedia yang disusun dalam bentuk kontrak (hubungan keperdataan).

Kontrak yang dibuat oleh pemerintah bersifat multi aspek dan mempunyai karakter yang sangat khas, namun demikian tetap merujuk pada ketentuan mengenai syarat – syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata jo. Pasal 1338 KUHPerdata. Sekalipun hubungan hukum yang terbentuk antara pemerintah dengan mitranya adalah hubungan kontraktual, tetapi di dalamnya terkandung tidak saja hukum privat, tetapi juga hukum publik. Apabila dalam kontrak komersil para pihak mempunyai kebebasan yang sangat luas dalam mengatur hubungan hukum atau mengatur kewajiban kontraktual mereka, maka dalam kontrak pengadaan oleh pemerintah, kebebasan itu tidak sepenuhnya berlaku sebab terhadap kontrak ini berlaku rezim hukum khusus.

 

Belum tersedianya instrumen hukum yang secara khusus mengatur kontrak komersial oleh pemerintah juga merupakan faktor lemahnya sistem pengadaan. Secara teoretik, terdapat berbagai isu hukum tentang pengadaan oleh pemerintah yang dapat diajukan untuk memperoleh kajian lebih lanjut. Dari perspektif hukum kontrak terdapat beberapa isu hukum yang dapat diajukan sebagai bahan untuk dikaji terutama tentang penerapan berlakunya prinsip umum hukum kontrak dalam kontrak pengadaan oleh pemerintah. Bertolak dari pemahaman bahwa kontrak merupakan proses, maka perhatian dalam studi tentang kontrak pengadaan di samping difokuskan pada situasi menuju pembentukan kontrak (pre-contractual fase), juga pada situasi setelah ditutupnya kontrak (post-contractual fase) atau menyangkut pelaksanaan dari kontrak itu. Dalam kaitan ini perlu adanya pemahaman tentang prinsip hukum kontrak berikut penerapannya dalam dua situasi itu.

 

Dalam hal terdapat ambigutias pada isi kontrak yang menimbulkan perbedaan penafsiran, maka penafsiran dilakukan demi kerugian pihak perancang, hal ini disebut yang disebut contra preferentem rule. Bagi penyedia barang dan atau jasa hal ini tidak banyak manfaatnya. Situasi yang demikian ini timbul karena adanya desakan elemen hukum publik ke dalam hubungan kontraktual yang melibatkan pemerintah.

 

Berdasarkan pada fakta dalam kontrak pengadaan barang dan jasa pemerintah, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya berbagai hambatan dalam pelaksanaan kontrak pengadaan barang dan jasa. Kondisi ini dapat terjadi dengan adanya kedudukan pemerintah sebagai kontraktan dengan standarisasi keuangan negara akan menghambat pelaksanaan kontrak. Apalagi kenyataan ini ditunjang dengan kecenderungan pemerintah memposisikan diri sebagai badan hukum publik dalam kontrak yang seringkali melakukan penyalahgunaan wewenang dan perbuatan-perbuatan melanggar hukum lainnya. Di sisi lain, terdapat kemungkinan pelanggaran prinsip dan norma oleh penyedia barang/jasa yang dapat menimbulkan tanggung-gugat dalam kontrak yang melibatkan pemerintah sebagai pengguna barang/jasa.

 

APPE HAMONANGAN HUTAURUK, SH., MH.

HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI

 

HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI

 

Selain displin  ilmu Hukum Pidana, terdapat pula  ilmu tentang kejahatannya sendiri yang dinamakan KRIMINOLOGI. Secara prinsip Obyek dan Tujuan kedua disiplin ilmu tersebut adalah  berbeda. Obyek ilmu hukum pidana adalah "aturan – aturan hukum yang mengenai kejahatan atau yang berhubungan  dengan pidana", dengan  tujuan "agar dapat pahami dan dipergunakan secara baik dan adil untuk mewujudkan keajegan dan ketertiban dalam masyarakat". Disisi lain, obyek kriminologi adalah "orang atau manusia selaku subyek hukum  yang melakukan kejahatan (disebut Penjahat atau Pelaku Kejahatan atau Pelaku Tindak Pidana)". Tujuan Kriminologi adalah "mencari dasar dan alasan kemungkinan   sebab – sebab seseorang (subyek hukum) melakukan kejahatan atau tindak pidana".  Penyebab orang atau manusia melakukan kejahatan atau tindak pidana sangat berhubungan dengan: "Apakah memang karena bakatnya adalah jahat", atau "adanya pengaruh/dorongan  keadaan masyarakat di sekitarnya (milieu) baik keadaan sosiologis maupun ekonomis", atau kemungkinan  ada sebab – sebab yang.  Apabila  sebab – sebab  terjadinya suatu kejahatan atau tindak pidana tersebut telah diketahui, maka selain pemidanaan, dapat juga  diadakan upaya preventif berupa  tindakan – tindakan yang tepat dan efektif  agar orang atau masyarakat tidak lagi melakukan kejahatan atau tindak pidana yang demikian.

Kriminologi biasanya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:1) Criminal biology, adalah ilmu yang menyelidiki keadaan dalam diri orang itu sendiri akan sebab – sebab dari perbuatannya, baik dalam jasmani maupun rohaninya; 2) Criminal sosiology, adalah ilmu yang  mencari dan menyelidiki  sebab – sebab dalam lingkungan masyarakat dimana penjahat itu berada (dalam milieunya); 3)  Criminal policy, adalah ilmu yang mempelajari  tindakan – tindakan apa yang sepatutnya  harus dilakukan  agar orang lain tidak melakukan kejahatan atau tindak pidana.

Berkaitan dengan Hukum Pidana dan Kriminologi maka terdapat DOKTRIN yang menyatakan bahwa  apabila  perkembangan ilmu Kriminologi sudah sempurna, maka tidak diperbolehkan lagi adanya pidana. Dasar alasan pendapat yang demikian yaitu "meskipun sejak  berabad – abad yang lalu dilakukan tindakan berupa  menjatuhi pidana pada orang yang berbuat kejahatan, namun kejahatan masih tetap tetap dilakukan. Kenyataan tersebut menandakan bahwa ternyata  pidana  tidak mampu untuk mencegah adanya kejahatan atau tindak pidana, shingga pidana dianggap bukan merupakan obat bagi penjahat atau pelaku tindak pidana".

Doktrin  yang mengatakan bahwa "suatu saat tidak diperlukan  lagi pidana", menurut Prof. Moeljatno, SH. agak terlalu simplistis. Sebab kiranya, pandangan bahwa pidana adalah semata – mata sebagai pembalasan kejahatan yang dilakukan, sekarang sudah ditinggalkan, dan telah diinsyafi bahwa senyatanya adalah lebih kompleks. Kalau sekarang sifatnya pembalasan masih ada, maka itu adalah hanya suatu faset, suatu segi yang kecil. Faset – faset yang lain dan lebih penting   menurut Prof. Moeljatno, SH. umpamanya adalah menentramkan kembali masyarakat yang telah digoncangkan dengan adanya perbuatan pidana disatu pihak, dan dilain pihak mendidik kembali orang yang melakukan perbuatan pidana tadi agar supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna.

Berdasarkan deskripsi diatas, maka  paradigma terhadap pengertian  "pidana"  seharusnya lebih moderate. Pengenaan/penjatuhan pidana tidak lagi sebagai penderitaan fisik dan perendahan martabat manusia dalam bntuk  pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan, tetapi mencakup seluruh sarana dan prasarana  yang dipandang layak dan patut diterapkan dalam suatu masyarakat yang tertentu. Dalam konteks ini dapat dikomparasi sebagai  contoh ketentuan yang termaktub dalam Pasal 21 Fundamentals of Criminal Legislation for the USSR an the Union Republica, 1958, dimana ditentukan bahwa terdapat/ada 7 macam pidana, yaitu: 1) deprivation of liberty; 2) transportation;3) exile;4) corrective labour without deprivation of liberty; 5) deprivation of the right to occupy a certain post or engaged in certain activity; 6) fines; 7) social censure.

Pada hakekatnya dapat dikatakan bahwa Ilmu Hukum Pidana dan Kriminologi, merupakan pasangan antara 2 (dua) jenis disiplin ilmu yang saling melengkapi dan bersifat  dwitunggal. Oleh karena disiplin ilmu yang satu saling bertautan dengan disiplin ilmu yang lain. Disiplin  Ilmu Hukum Pidana dan Kriminologi  di Jerman disebut Die gesammte Strafrechtswissenschaft, dan di negara - negara Anglo Saxon dinamakan  Criminal science.

 

Writer/Copy Right:

 Dr. (Cand.)Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.

Lecturer, Advocate and Legal Consultant

FENOMENA ASURANSI SEBAGAI SUATU PERJANJIAN ATAU KONTRAK

 

FENOMENA ASURANSI SEBAGAI SUATU PERJANJIAN
ATAU KONTRAK 

 

Kitab Undang – Undang Hukum Dagang (KUHD) menyebutkan bahwa asuransi merupakan suatu perjanjian dimana seorang penanggung mengikat diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan pergantian kepada tertanggung karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tertentu (vide Pasal 246 KUHD). 

Merujuk pada ketentuan Pasal 246 KUHD tersebut maka dapat disimpulkan bahwa elemen – elemen yuridis dari suatu asuransi adalah sebagai berikut: 

1.       Adanya pihak tertanggung (pihak  yang kepentingannya diasuransikan)

2.       Adanya pihak penanggung (pihak perusahaan asuransi yang menjamin akan membayar ganti rugi);

3.       Adanya kontrak asuransi (antara penanggung dan tertanggung);

4.       Adanya kerugian, kerusakan atau kehilangan (yang diderita oleh tertanggung);

5.       Adanya peristiwa tertentu yang mungkin akan terjadi (misalnya kecelakaan dalam hal “ASURANSI KECELAKAAN);

6.       Adanya uang premi yang dibayar oleh tertanggung kepada penanggung (bersifat fakultatif); 

Namun demikian, diluar ketentuan Pasal 246 KUHD dan beberapa pasal lainnya dalam KUHD tersebut, ketentuan mengenai asuransi juga diatur dalam Undang – Undang Tentang Asuransi (Undang – Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, yang telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian), serta peraturan perundang – undangan lainnya  mengenai asuransi. 

Dalam suatu kontrak/perjanjian asuransi maka prestasi (consideration) dari pihak tertanggung adalah membaar premi, sedangkan prestasi yang harus dilakukan pihak penanggung (perusahaan asuransi) adalah membayar sejumlah uang ganti rugi apabila terjadi peristiwa tertentu yang pada pokoknya tidak diinginkan (evenement).  

Apabila terjadi peristiwa yang tidak diinginkan, yang diasuransikan tersebut, maka pihak tertanggung harus meminta agar sejumlah uang ganti rugi yang telah ditetapkan dibayar oleh pihak penanggung (perusahaan asuransi). Pengajuan permintaan tersebut dilakukan dengan cara mengajukan “KLAIM” Dalam hal pengajuan klaim asuransi, lazimnya harus disertai/dilampirkan dengan beberapa bukti pendukung yang membuktikan “evenement tersebut memang telah terjadi”. Berkaitan dengan hal tersebut, perusahaan asuransi pada prinsipnya telah menyediakan formulir (daftar isian) beserta syarat – syarat lain yang harus dilengkapi oleh tertanggung atau ahli warisnya.

 

APPE HAMONANGAN HUTAURUK, SH., MH.

BATAL DEMI HUKUM DAN PEMBATALAN SUATU KONTRAK ATAU PERJANJIAN

 

BATAL DEMI HUKUM DAN PEMBATALAN SUATU KONTRAK ATAU PERJANJIAN 

 

Syarat – syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), pada prinsipnya dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) kategori yaitu 1) syarat subyektif (unsur kesepakatan dan unsur kecakapan), dan 2) syarat obyektif (unsur hal tertentu dan unsur causa yang halal).  Dalam praktek interaksi business atau dalam aspek sosial kemasyarakatan lainnya, apabila syarat subyektif tidak terpenuhi atau dilanggar maka kontrak atau perjanjian tersebut “dapat dibatalkan (canceling)” oleh salah satu pihak atau pihak lain yang berkepentingan (misalnya orang tua atau wali pengampu). Sedangkan apabila syarat obyektif  tidak terpenuhi atau dilanggar maka kontrak atau perjanjian tersebut  adalah “batal demi hukum (null and void)”. 

Apabila suatu kontrak atau perjanjian telah dibuat/diadakan meskipun bertentangan dengan  syarat – syarat subyektif sebagaimana  ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata maka kontrak atau perjanjian tersebut dianggap tetap berlaku sepanjang tidak dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak atau pihak lain yang berkepentingan. Pada konteks lain, apabila syarat – syarat obyektif yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata tidak terpenuhi atau dilanggar maka kontrak atau perjanjian tersebut secara yuridis dianggap tidak  pernah ada yang menimbulkan implikasi bahwa kontrak atau perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan pembuktian sebagai adanya “Hubungan Hukum (rechtsbetrekking)”. 

Syarat subyektif dianggap tidak terpenuhi apabila suatu kontrak atau perjanjian dibuat atau diadakan oleh pihak – pihak tertentu yang ternyata diketahui bahwa: a) adanya unsur   “tidak cakap untuk bertindak menurut hukum atau tidak memiliki  handelings bekwaamheid”, atau b) tidak adanya kesepakatan kehendak atau wewenang berbuat dimana  salah satu pihak memberikan persetujuannya tidak secara bebas oleh karena adanya “unsur paksaan  (dwang, duress) dan /atau unsur kekhilafan/kekeliruan  (bedrog, fraud)  dan/atau penipuan (dwaling,mistake)”.  Syarat subyektif dianggap tidak terpenuhi apabila suatu kontrak atau perjanjian dibuat atau diadakan oleh pihak – pihak tertentu dengan obyek perjanjian yang bertentangan atau dilarang oleh peraturan perundang – undangan yang berlaku, atau dapat pula berkaitan dengan formalitas atau bentuk tertentu suatu kontrak atau perjanjian yang secara eksplisit diatur oleh undang – undang tertentu, misalnya perjanjian perdamaian harus dibuat secara tertulis, hibah harus dengan akta notaris, jual beli tanah harus berdasarkan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan sebagainya. 

Kewenangan untuk berbuat atau bertindak secara hukum dianggap sah apabila perbuatan atau tindakan pihak – pihak tersebut sebagai subyek hukum adalah: 

1.    Orang pribadi (sebagai pihak) yang dewasa menurut hukum;

2.    Orang pribadi (sebagai pihak) yang tidak berada dibawah pengampuan (curatele); 

3.    Orang Pribadi atau Badan Hukum yang tidak dilarang oleh peraturan perundang – undangan yang berlaku melakukan perbuatan hukum tertentu (atau dicabut hak keperdataannya). 

 

APPE HAMONANGAN HUTAURUK, SH., MH.

 

TAHAP PEMBUATAN DAN PELAKSANAAN SUATU KONTRAK ATAU PERJANJIAN

  TAHAP PEMBUATAN DAN PELAKSANAAN SUATU KONTRAK ATAU PERJANJIAN   Pelaksanaan suatu kontrak akibat adanya suatu perbuatan cidera/ingka...