Rabu, 29 Juni 2022

KONTRAK ATAU PERJANJIAN KERJASAMA YANG DIADAKAN OLEH PEMERINTAH

 

KONTRAK ATAU PERJANJIAN KERJASAMA YANG DIADAKAN OLEH PEMERINTAH

 

Dalam suatu Negara Hukum Modern maka secara kualitatif perbuatan administrasi negara (aparatur pemerintahan) dapat diklasifikasikan menjadi: 

a. Perbuatan membuat peraturan perundang – undangan;

b. Perbuatan melaksanakan peraturan perundang – undangan. 

Sehubungan dengan perbuatan melaksanakan peraturan perundang – undangan,  administrasi negara/aparatur pemerintahan melakukan perbuatan – perbuatan konkrit yang dapat dibedakan berupa: 

a. Perbuatan biasa;

b. Perbuatan hukum. 

Perbuatan hukum biasa berupa perbuatan – perbuatan yang tidak membawa akibat hukum dari aspek keperdataan. Sedangkan perbuatan – perbuatan hukum adalah baik perbuatan maupun akibat hukumnya diatur oleh hukum, baik oleh hukum perdata maupun hukum publik. Dalam hal pemerintah mengadakan kontrak atau kerjasama dengan pihak lain, misalnya pihak swasta maka dalam hal ini pemerintah dianggap melakukan perbuatan hukum perdata (hal ini berbeda dengan apabila pemerintah menerbitkan suatu ketetapan atau beschikking). 

Pemerintah dalam menjalankan fungsinya sebagai pembangun sarana dan prasarana atau infrastruktur publik maupun sebagai penyedia dalam hal ini sebagai penyedia kebutuhan bagi rakyatnya, memerlukan sektor swasta sebagai pemasok barang dan jasa bagi pemerintah. Terkait dengan hal ini maka terjadi hubungan hukum antara pemerintah sebagai pihak pengguna dengan pihak swasta sebagai pihak penyedia yang disusun dalam bentuk kontrak (hubungan keperdataan).

Kontrak yang dibuat oleh pemerintah bersifat multi aspek dan mempunyai karakter yang sangat khas, namun demikian tetap merujuk pada ketentuan mengenai syarat – syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata jo. Pasal 1338 KUHPerdata. Sekalipun hubungan hukum yang terbentuk antara pemerintah dengan mitranya adalah hubungan kontraktual, tetapi di dalamnya terkandung tidak saja hukum privat, tetapi juga hukum publik. Apabila dalam kontrak komersil para pihak mempunyai kebebasan yang sangat luas dalam mengatur hubungan hukum atau mengatur kewajiban kontraktual mereka, maka dalam kontrak pengadaan oleh pemerintah, kebebasan itu tidak sepenuhnya berlaku sebab terhadap kontrak ini berlaku rezim hukum khusus.

 

Belum tersedianya instrumen hukum yang secara khusus mengatur kontrak komersial oleh pemerintah juga merupakan faktor lemahnya sistem pengadaan. Secara teoretik, terdapat berbagai isu hukum tentang pengadaan oleh pemerintah yang dapat diajukan untuk memperoleh kajian lebih lanjut. Dari perspektif hukum kontrak terdapat beberapa isu hukum yang dapat diajukan sebagai bahan untuk dikaji terutama tentang penerapan berlakunya prinsip umum hukum kontrak dalam kontrak pengadaan oleh pemerintah. Bertolak dari pemahaman bahwa kontrak merupakan proses, maka perhatian dalam studi tentang kontrak pengadaan di samping difokuskan pada situasi menuju pembentukan kontrak (pre-contractual fase), juga pada situasi setelah ditutupnya kontrak (post-contractual fase) atau menyangkut pelaksanaan dari kontrak itu. Dalam kaitan ini perlu adanya pemahaman tentang prinsip hukum kontrak berikut penerapannya dalam dua situasi itu.

 

Dalam hal terdapat ambigutias pada isi kontrak yang menimbulkan perbedaan penafsiran, maka penafsiran dilakukan demi kerugian pihak perancang, hal ini disebut yang disebut contra preferentem rule. Bagi penyedia barang dan atau jasa hal ini tidak banyak manfaatnya. Situasi yang demikian ini timbul karena adanya desakan elemen hukum publik ke dalam hubungan kontraktual yang melibatkan pemerintah.

 

Berdasarkan pada fakta dalam kontrak pengadaan barang dan jasa pemerintah, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya berbagai hambatan dalam pelaksanaan kontrak pengadaan barang dan jasa. Kondisi ini dapat terjadi dengan adanya kedudukan pemerintah sebagai kontraktan dengan standarisasi keuangan negara akan menghambat pelaksanaan kontrak. Apalagi kenyataan ini ditunjang dengan kecenderungan pemerintah memposisikan diri sebagai badan hukum publik dalam kontrak yang seringkali melakukan penyalahgunaan wewenang dan perbuatan-perbuatan melanggar hukum lainnya. Di sisi lain, terdapat kemungkinan pelanggaran prinsip dan norma oleh penyedia barang/jasa yang dapat menimbulkan tanggung-gugat dalam kontrak yang melibatkan pemerintah sebagai pengguna barang/jasa.

APPE HAMONANGAN HUTAURUK, SH., MH.

 

DESKRIPSI SINGKAT MENGENAI PENYITAAN MENURUT KUHAP

 

DESKRIPSI SINGKAT MENGENAI PENYITAAN MENURUT KUHAP 

 

Dalam menjalankan  tugasnya, pihak Kepolisian selaku PENYIDIK diberi kewenangan    oleh Undang – Undang  Nomor  8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang – undang  Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk melakukan penyitaan terhadap benda – benda/barang – barang   yang mempunyai hubungan atau kaitan dengan  dugaan tindak pidana yang dilakukan seseorang atau pihak – pihak tertentu. Benda – benda/barang – barang sitaan tersebut  digunakan untuk kepentingan pembuktian  proses penyidikan, penuntutan dan  persidangan di Pengadilan. Sebagai wacana yuridis, dapat dikemukakan beberapa konsepsi dari Penyitaaan, yaitu:

  • DARWAN PRINTS menegaskan bahwa “penyitaan adalah suatu cara yang dilakukan oleh pejabat – pejabat yang berwenang untuk menguasai sementara waktu barang – barang baik yang merupakan milik Tersangka/Terdakwa maupun bukan, tetapi berasal dari atau ada hubungannya dengan suatu tindak pidana dan berguna untuk pembuktian”;
  • Menurut C.T. SIMORANGKIR bahwa “penyitaan adalah suatu cara yang dilakukan oleh pejabat – pejabat yang berwenang untuk menguasai sementara waktu barang – barang baik yang merupakan milik terdakwa maupun bukan, tetapi berasal dari atau ada hubungannya dengan suatu tindak pidana dan berguna untuk pembuktian. Jika ternyata kemudian bahwa barang tersebut tidak ada hubungannya dengan kejahatan yang dituduhkan, maka barang tersebut akan dikembalikan kepada pemiliknya”;
  • Menurut ketentuan Pasal 1 angka 16 KUHAP, yang dimaksud dengan “penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan dibawah pengawasannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan”;

Secara umum dapat disimpulkan yaitu selain ketentuan mengenai Penyitaan yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP, maka perihal penyitaan dalam Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga diatur secara terpisah dalam  dalam Bab V bagian ke 4 (empat) Pasal 38 sampai dengan Pasal 48 KUHAP dan Pasal 128 sampai 130 KUHAP.

Dalam konteks tindakan penyitaan yang dilakukan oleh pejabat/petugas hukum yang berwenang, maka untuk mencegah tindakan sewenang - wenang yang kemungkinan  dilakukan aparat penegak hukum (law enforcement officer)  maka terdapat prinsip –prinsip mendasar sebagai rambu – rambu dalam rangka melakukan  “penyitaan” sebagaimana diatur  dalam ketentuan Pasal 38 sampai dengan 48 KUHAP, sebagai berikut:

  • Tindakan penyitaan oleh penyidik, hanya dapat dilakukan setelah mendapat surat ijin dari Ketua Pengadilan Negeri di daerah penyitaan itu akan dilakukan sebagaimana amanah Pasal 38 ayat (1) KUHAP. Namun dalam Pasal 38 ayat (2) KUHAP memberikan pengecualian, di mana dijelaskan bahwa apabila dalam keadaan mendesak penyidik dapat melakukan penyitaan terlebih dahulu tanpa harus meminta ijin dari Ketua Pengadilan Negeri. Hanya terkhusus untuk benda bergerak dan setelahnya wajib melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk memperoleh persetujuannya.
  • Kemudian adapun kriteria untuk benda-benda yang dapat dilakukan penyitaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP yaitu: a). Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; b). Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan; c). Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; d). Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana; e). benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Dan terhadap benda sitaan dalam perkara perdata yang diakibatkan karena adanya pailit, penyidik juga memiliki kewenangan untuk menyita benda tersebut untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 39 ayat (1).
  • Terhadap seorang Tersangka yang tertangkap tangan, penyidik juga dapat melakukan penyitaan terhadap benda maupun alat yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 40 KUHAP.
  • Mengenai paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan melalui kantor pos serta telekomunikasi dan surat atau benda tersebut diperuntukkan atau ditujukan kepada tersangka atau berasal dariTersangka. dalam hal tertangkap tangan, penyidik berwenang melakukan penyitaan surat atau benda tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 41 KUHAP.
  • Penyidik juga berwenang untuk memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan, sebagaiamana diatur dalam Pasal 42 KUHAP.
  • Berkaitan dengan surat atau tulisan yang diwajibkan oleh Undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara. Penyitaan hanya dapat dilakukan atas izin khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali Undang-undang menentukan lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 KUHAP.
  • Terhadap tempat penyimpanan untuk benda sitaan dapat disimpan dalam Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (RUPBASAN). sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1) KUHAP. namun apabila belum ada rumah penyimpanan benda sitaan negara ditempat tersebut, maka penyimpanan benda sitaan dapat dilakukan di Kantor Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kantor kejaksaan Negeri, Kantor Pengadilan Negeri, di gedung Bank Pemerintah ataupun jika dalam keadaan yang memaksa benda sitaan tersebut dapat disita ditempat semula benda itu disita. Kemudian yang bertanggung jawab terhadap benda sitaan tersebut yaitu pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan. Benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun.
  • Sebagai prinsip utama dalam rangka pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan juga pengaturannya ditentukan dengan jelas dan seksama  dalam ketentuan Pasal 45 KUHAP.  yang memberikan penjelasan mengenai kriteria benda yang lekas rusak dan membahayakan namun agar tidak menimbulkan  biaya penyimpanan yang terlalu tinggi, maka hal ini harus disesuaikan dengan kemampuan anggaran yang ada pada RUPBASAN. Terhadap benda yang menurut sifatnya lekas rusak, dapat dijual melalui lelang dan uang hasil pelelangan dipakai sebagai ganti untuk diajukan di sidang pengadilan sedangkan sebagian kecil dari benda itu disisihkan untuk dijadikan barang bukti.
  • Penjelasan Pasal 46 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa untuk benda yang dikenakan penyitaan diperlukan pemeriksaan sebagai barang bukti, selama pemeriksaan berlangsung, dapat diketahui benda tersebut masih diperlukan atau tidak. Dalam hal penyidik atau penuntut umum berpendapat benda yang disita itu tidak diperlukan lagi untuk pembuktian maka benda tersebut dapat dikembalikan kepada yang berkepentingan. Kecuali apabila menurut putusan hakim benda sitaan tersebut dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
  • Pasal 47 ayat (1) KUHAP menjelaskan bahwa untuk surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi dan benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan tindak pidana maka penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyitanya sepanjang mendapat izin khusus dari Ketua Pengadilan Negeri.
  • Pasal 48 KUHAP juga memberikan penjelasan mengenai Surat yang sudah dibuka dan diperiksa dan ternyata ada hubungannya dengan perkara yang diperiksa maka surat tersebut dilampirkan pada berkas perkara. Namun sebaliknya apabila surat tersebut sesudah diperiksa tidak ada hubungannya dengan perkara maka surat tersebut harus ditutup dan dikembalikan kembali kepada kantor pos dengan dibubuhi cap yang berbunyi “telah dibuka oleh penyidik” dengan dibubuhi tanggal, tandatangan beserta identitas penyidik.

Selain itu, secara eksplisit ketentuan  Pasal 128 KUHAP, juga   menjelaskan hal yang harus dilakukan penyidik pada saat ingin melakukan penyitaan yaitu terlebih dahulu menunjukan tanda pengenalnya kepada orang dari mana benda itu disita. Dan dalam Pasal 129 KUHAP, penyidik juga harus memperlihatkan benda yang akan disita atau kepada keluarganya dapat dimintai keterangan tentang benda yang akan disita, yang disaksikan oleh Kepala Desa atau ketua lingkungan yang dihadiri oleh dua orang saksi. Untuk selanjutnya penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu kepada orang dari mana benda itu disita atau keluarganya dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun orang tua atau keluarganya. dan untuk benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat dan atau jumlah menurut jenis masing-masing, ciri maupun sifat khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan, identitas orang dari mana benda itu disita yang kemudian diberi cap jabatan atau ditandatangani oleh penyidik. terkait dengan benda sitaan yang tidak dimungkinkan untuk dibungkus, penyidik memberi catatan yang ditulis di atas label yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada benda tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 130 KUHAP.

Barang – barang atau benda – benda yang dapat dista diuraikan secara seksama dalam ketentuan Pasal 39 KUHAP, yang meliputi:

  1. Ketentuan ayat (1) Pasal 39 KUHAP mengklasifikasikan, sebagai berikut:
  2. Benda atau tagihan Tersangka atau Terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
  3. Benda yang telah digunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
  4. Benda yang digunakan untuk menghalang – halangi penyidikan tindak pidana;
  5. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
  6. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan;
  7. Ketentuan ayat (2) Pasal 39 KUHAP memperluas kewenangan untuk melakukan penyitaan terhadap: “Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1) Pasal 39 KUHAP.

Berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya melakukan PENYITAAN, kemudian ternyata  oknum Polisi dalam melaksanakan tugas penegakan hukum (law enforcement officer) sebagai penyidik pembantu, dan penyidik  terbukti melanggar ketentuan -ketentuan yang dilarang sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka dapat dikenakan Sanksi Pelanggaran Kode Etik. Sebagai konsekwensi yuridis atas MALPRAKTEK yang dilakukan oleh Penyidik Kepolisian tersebut maka terhadap Penyidik tersebut akan dilakukan pemeriksaan melalui  Sidang KKEP (Komisi Kode Etik Polri) untuk menentukan apakah benar telah terjadi pelanggaran KODE ETIK KEPOLISIAN dan selanjutnya memutuskan sanksi yang akan dikenakan terhadap Penyidik yang bersangkutan. Hal demikian harus dibedakan dengan tindak pidana yang apabila dilakukan oleh anggota kepolisian, yang pemeriksaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan Hukum Acara Pidana dan diadili melalui proses meknisme PERADILAN UMUM.

 

Writer and Copy Right:
Dr. (C) Appe H. Hutauruk, SH., MH.



ASAS – ASAS KONTRAK ASURANSI

 

ASAS – ASAS KONTRAK ASURANSI 

 

Ketentuan Pasal 1774 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu kontrak untung – untungan merupakan suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi pihak tertentu saja, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu.   KUHPerdata dengan tegas menkategorikan “PERJANJIAN ASURANSI” kedalam kelompok “KONTRAK UNTUNG – UNTUNGAN”, yang kemudian secara lebih luas diataur dalam Hukum Dagang, dan Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian.   Peraturan perundang – undangan menggolongkan Kontrak Asuransi sebagai bersifat untung – untungan, karena pihak penanggung akan duntungkan (karena pembayaran premi) jika resiko atas sesuatu hal yang diasuransikan tersebut ternyata tidak terjadi, sebaliknya bagi pihak tertanggung akan diuntungkan (dalam hal dibayar kerugiannya) jika resiko yang diasuransikan tersebut ternyata benar – benar terjadi. 

Pada dasarnya terhadap suatu kontrak asuransi berlaku beberapa asas sebagai berikut: 

1.      ASAS INDEMNITY: “Tujuan utama dari kontrak asuransi adalah untuk membayar ganti rugi apabila  timbul/terjadi resiko terhadap obyek yang dijamin dengan asuransi tersebut (misalnya jika terjadi kebakaran atas rumah sebagai obyek yang diasuransikan)”. 

2.      ASAS KEPENTINGAN YANG DAPAT DIASURANSIKAN (INSURABLE INTEREST): “Agar suatu kontrak asuransi dapat dilaksanakan, maka obyek yang diasuransikan tersebut haruslah merupakan suatu kepentingan yang dapat diasuransikan, yankni kepentingan yang dapat dinilai dengan uang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, dan pada prinsipnya kepentingan tersebut harus sudah ada pada saat kontrak asuransi ditandatangani”. 

3.      .ASAS KETERBUKAAN: “Asas keterbukaan ini merupakan asas itikad baik, yang menentukan bahwa tertanggung harus memberikan informasi atau keterangan atau data – data yang lengkap dan benar mengenai semua hal penting yang berkenaan dengan obyek yang diasuransikan tersebut. Apabila dikemudian hari diketahui ada informasi yang berbeda dan/atau tidak benar, menimbulkan implikasi yuridis batalnya kontrak asuransi tersebut (sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Dagang)”.  

4.      ASAS SUBROGASI UNTUK KEPENTINGAN PENANGGUNG: “Apabila karena alasan apapun terhadap obyek yang sama pihak tertanggung memperoleh juga ganti rugi dari pihak ketiga, maka pada prinsipnya tertanggung tidak boleh mendapat ganti rugi 2 (dua) kali, sehingga ganti rugi dari pihak ketiga tersebut akan menjadi hak pihak perusahaan asuransi”. 

5.      ASAS KONTRAK BERSYARAT: “Kontrak asuransi merupakan kontrak bersyarat, atau yang disebut dengan syarat tangguh, oleh karena ditentukan suatu syarat bahwa apabila dikemudian hari terjadi suatu peristiwa tertentu (misalnya kecelakaan, atau kebakaran) maka sejumlah uang ganti rugi akan dibayar oleh penanggung. Sebaliknya, apabila peristiwa tersebut tidak terjadi, maka uang ganti rugi tidak dibayarkan”. 

6.      ASAS KONTRAK UNTUNG – UNTUNGAN: “Kontrak asuransi merupakan kontrak untung – untungan, karena menurut KUHPerdata yaitu suatu kontrak untung – untungan merupakan suatu kontrak yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi pihak tertentu saja, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu. Dalam hal kontrak asuransi, pihak penanggung akan diuntungkan manakala tidak terjadi peristiwa yang dipertanggungkan, misalnya peristiwa kecelakaan dalam asuransi kecelakaan”.   

 

APPE HAMONANGAN HUTAURUK, SH., MH.

GUGATAN SEDERHANA (SMALL CLAIM COURT)

 

GUGATAN SEDERHANA (SMALL CLAIM COURT)

 

Gugatan Sederhana (Small Claim Court) adalah gugatan dalam bidang hukum perdata yang nilai gugatan materilnya paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktian sederhana (simple procedures and evidentiary). Dasar hukum Gugatan Sederhana adalah  Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, sebagaimana telah diubah dengan PERMA Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. 

Pokok Perkara (objectum litis) dari Gugatan Sederhana, meliputi:

-       Perbuatan cidera janji/ingkar janji (wanprestasi);

-       Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad); 

Kwalifikasi Gugatan Sederhana harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

 

-       Prinsip proses pemeriksaan, mengadili dan memutus perkara dalam Gugatan Sederhana dipimpin oleh HAKIM TUNGGAL, berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri;

 

-       Dalam Gugatan Sederhana, pihak – pihak berperkara hanya diperbolehkan terdiri atas PENGGUGAT dan TERGUGAT;

 

-       Domisili hukum pihak – pihak yang berperkara harus berada dalam wilayah yurisdiksi Pengadilan Negeri yang sama;

 

-       Sifat Gugatan Sederhana adalah pemeriksaannya secara cepat. Oleh karena itu, dalam Gugatan Sederhana maka pihak materil/prinsipal yang berperkara wajib menghadiri sendiri persidangan, sekalipun mereka telah menunjuk Advokat sebagai Kuasa Hukumnya;

 

-       Apabila dalam gugatan ternyata pihak Tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya, maka gugatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai Gugatan Sederhana;

 

-       Perkara – perkara perdata tertentu yang penyelesaian sengketanya harus dilakukan melalui PENGADILAN KHUSUS sebagaimana diatur dalam perundang – undangan, maka tidak dapat diajukan berdasarkan Gugatan Sederhana;

 

-       Sengketa hak atas tanah merupakan sengketa keperdataan yang proses pembuktiannya cukup rumit/sulit, maka tidak dapat diajukan melalui prosedur Gugatan Sederhana;

 

-       Nilai obyek gugatan tidak boleh lebih dari Rp. 500.000.000,- (dua ratus juta rupiah), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 ayat (1)  PERMA Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana yang berbunyi: “Gugatan Sederhana diajukan terhadap perkara cidera janji dan/atau perbuatan melawan hukum dengan nilai gugatan materil paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

 

Sama halnya dengan TAHAPAN PERSIDANGAN GUGATAN DALAM PERKARA PERDATA pada umumnya, maka dalam pemeriksaan PERKARA SEDERHANA, juga berlaku proses yang sama dengan beberapa PENGECUALIAN  sebagai berikut: 

 

I.              PENDAFTARAN GUGATAN:

 

Penggugat dapat langsung mendaftarkan gugatan yang telah dibuat sebelumnya, atau apabila Penggugat tidak memahami cara membuat gugatan maka Penggugat dapat mengisi blangko Gugatan Sederhana yang disediakan di Kepaniteraan Pengadilan. Dalam blangko Gugatan Sederhana terseut, Penggugat mengisi: A) Identitas Penggugat dan Tergugat, B) Penjelasan tentang duduk perkara, C) Tuntutan Penggugat.

 

II.            MELAMPIRKAN  BUKTI  SURAT YANG TELAH DILEGALISIR;

Berkaitan dengan kepentingan pemeriksaan gugatan sederhana yang mengutamakan kesederhanaan dan kecepatan dalam beracara, maka Penggugat diwajibkan untuk telah melampirkan bukti – bukti surat yang diperlukan pada saat mendaftarkan gugatan.

 

III.           PEMERIKSAAN KELENGKAPAN KELENGKAPAN GUGATAN SEDERHANA, PEMBAYARAN PANJAR BIAYA PERKARA, DAN PENCATATAN DALAM REGISTER;

 

Apabila berkas dianggap oleh Kepaniteraan (Panitera)  belum/tidak lengkap maka dikembalikan kepada Penggugat. Tetapi apabila seluruh berkas dianggap sudah lengkap maka Ketua Pengadilan menetapkan biaya panjar perkara yang harus dibayar oleh Penggugat melalui Kepaniteraan Pengadilan.

 

IV.          PROSES ADMINISTRASI DAN PERSIDANGAN 

1.    Penetapan Hakim dan penunjukkan Panitera Pengganti, selama 2 (dua) hari terhitung sejak pendaftaran Gugatan; 

Selanjutnya Hakim Tunggal  perkara a quo melakukan  Pemeriksaan Pendahuluan (dismissal process) yang mirip dengan Pemeriksaan Pendahuluan/Persiapan pada Pengadilan Tata Usaha Negara, yang meliputi: a) Materi Gugatan Sederhana, b) Sederhana tidaknya pembuktian dengan fokus pada huungan hukum (rechtbetrekking) Kedua Belah Pihak yang bersengketa

 

2.    Penetapan Hari Sidang

 

Apabila Hakim Tunggal tersebut berpendapat bahwa gugatan yang diajukan tersebut merupakan Gugatan Sederhana dan pemeriksaan perkara dapat dilanjutkan maka Hakim Tunggal tersebut menentukan hari dan tanggal pelaksanaan sidang dengan memberikan perintah kepada Jurusita atau Jurusita Pengganti untuk melakukan pemanggilan terhadap Kedua Belah Pihak yang berperkara;

 

Pemanggilan terhadap Kedua Belah Pihak melalui Relaas Panggilan harus dilakukan secara patut sesuai ketentuan Pasal 122 HIR/Pasal 146 RBg, yaitu tenggang waktu hari memanggil dengan hari sidang sekurang – kurangnya 3 (tiga) hari kerja. Apabila pada sidang pertama Penggugat tidak datang (tidak hadir) di persidangan tanpa alasan yang sah (patut), maka gugatan dinyatakan gugur. Apabila Tergugat tidak datang pada persidangan pertama, maka akan dilakukan pemanggilan kembali yang kedua secara patut, dan apabila pada sidang kedua Tergugat tetap tidak hadir tanpa alasan yang sah (patut) maka Hakim Tunggal akan memutus perkara a quo secara verstek. Akan tetapi apabila Tergugat pernah hadir pada sidang pertama, kemudian tidak hadir lagi pada sidang – sidang berikutnya, maka perkara a quo diperiksa dan diputus secara contradictoir.  

3.    Sama halnya dengan pemeriksaan sengketa/perkara perdata biasa di persidangan, begitupula  dalam konteks Gugatan Sederhana maka pada persidangan pertama yang dihadiri Kedua Belah Pihak yang berperkara, Kedua Belah Pihak dianjurkan menempuh UPAYA PERDAMAIAN. Akan tetapi upaya perdamaian dalam acara Gugatan Sederhana tidak tunduk pada ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Sehingga meskipun upaya perdamaian dianjurkan, tetapi proses penyelesaian perkara di persidangan tidak boleh melebihi waktu 25 (dua puluh lima) hari; 

4.    Surat Gugatan Penggugat (dapat dibacakan di persidangan di Pengadilan); 

-       Jawaban Tergugat (dapat diajukan secara lisan maupun secara tertulis),  tetapi dalam jawaban Tergugat tidak boleh mengajukan tuntutan provisi, eksepsi, dan gugatan balik (rekonvensi). Begitu pula dalam Gugatan Sederhana tidak diperkenankan adanya upaya hukum  INTERVENSI. 

5.    Dalam Gugatan Sederhana tidak ada acara REPLIK dan DUPLIK; 

6.    Pembuktian dari Penggugat dan Tergugat yang bersifat billijkheid (kepatutan mengenai beban pembuktian), meliputi alat – alat Bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 Rbg, dan Pasal 1886 KUHPerdata, yaitu: 

-       Alat bukti  Surat; 

-       Alat bukti  Saksi – saksi; 

-       Alat bukti Persangkaan; 

-       Alat bukti Pengakuaan; 

-       Alat bukti Sumpah.

 

7.    Putusan Hakim; 

Batasan waktu (limitasi) penyelesaian perkara Gugatan Sederhana sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana sebagaimana telah diubah dengan PERMA Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana adalah 25 (dua puluh lima) hari sejak sidang pertama. Pengertian “HARI” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 adalah HARI KERJA. 

Upaya Hukum terhadap putusan Gugatan Sederhana adalah KEBERATAN, yang diajukan oleh pihak yang tidak puas atas putusan a quo kepada Ketua Pengadilan pada pengadilan yang memutus perkara a quo tersebut. Dalam hal ini, tenggang waktu untuk mengajukan keberatan adalah 7 (tujuh) hari kerja setelah putusan diucapkan atau setelah pemberitahuan putusan disampaikan kepada pihak yang merasa keberatan. 

Akta keberatan harus dilengkapi dengan MEMORI KEBERATAN diajukan melalui Kepaniteraan Pengadilan. Kemudian Akta Keberatan dan Memori Keberatan disampaikan kepada pihak lawah (TERMOHON KEBERATAN) dalam tenggang waktu 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan keberatan diterima Pengadilan. Selanjutnya pihak lawan mengajukan KONTRA MEMORI KEBERATAN paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah pemberitahuan keberatan diterima olehnya. 

Pemeriksaan KEBERATAN dilakukan oleh MAJELIS HAKIM yang terdiri dari 3 (tiga) orang Hakim. Majelis Hakim yang memeriksa Permohonan Keberatan harus telah mengeluarkan putusan paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal penetapan Majelis Hakim pemeriksa permohonan keberatan (perkara a quo) ditetapkan oleh Ketua Pengadilan. Putusan pemeriksaan permohonan keberatan sifatnya terbuka untuk umum, dan disampaikan kepada pihak – pihak yang bersengketa selama 3 (tiga) hari kerja. Putusan pada tingkat pemeriksaan keberatan tersebut adalah bersifat final, sehingga putasan yang demikian telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewiisde).

 

Writer and Copy Right:
Dr. (Cand.) Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant
Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002

TAHAP PEMBUATAN DAN PELAKSANAAN SUATU KONTRAK ATAU PERJANJIAN

  TAHAP PEMBUATAN DAN PELAKSANAAN SUATU KONTRAK ATAU PERJANJIAN   Pelaksanaan suatu kontrak akibat adanya suatu perbuatan cidera/ingka...