Senin, 16 Mei 2022

Prapenuntutan dalam Konteks Integrated Criminal Justice System

 


Prapenuntutan  dalam Konteks
Integrated Criminal Justice System

 

Proses penyelesaian setiap perkara pidana sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam  Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, yang disebut juga dengan nama   “Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana” (disingkat KUHAPidana)  menganut suatu sistem yang disebut “Peradilan Pidana Terpadu” (Integrated Criminal Justice System), dimana seluruh rangkaian penegakkan hukum (law enforcement) yang bersifat pro justitia  dilakukan melalui beberapa tahap yang bekesinambungan dan merupakan satu kesatuan yang integral.

Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa Integrated criminal justice system”  adalah “sistem peradilan pidana yang mengatur tatacara  pelaksanaan dan penegakkan Hukum Pidana secara konsisten, komprehensif dan terpadu sesuai dengan asas – asas Hukum Pidana”. Terminus “peradilan” dalam wacana tersebut adalah berbeda dengan terminus “Pengadilan”, oleh karena dalam konteks tataran “peradilan” maka ruang lingkupnya adalah sistem menyeluruh yang  mengatur bagaimana proses berjalannya suatu perkara mulai dari proses penyelidikan sampai pada penempatan narapidana/terpidan dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) sebagai warga biaan yang akan dipersiapkan untuk dapat kembali dalam interaksi kehidupan bermasyarakat. Selain itu  doctrine  yang dikemukakan oleh  SUKARTO MAMOSUDJONO menyebutkan bahwa  yang dimaksud dengan “Integrated Criminal Justice System” yaitu: “Peradilan perkara pidana terpadu, yang unsur – unsurnya terdiri dari persamaan persepsi tentang keadilan, dan penyelenggaraan peradilan perkara pidana secara keseluruhan dan kesatuan”.

Secara tata aturan sistematis (systematic ordering, systematische ordening), maka rangkaian tahapan (series of stages)  dari peradilan terpadu sebagaimana dimaksudkan diatas meliputi tahap – tahap sebagai berikut Penyelidikan, : Penyidikan, Prapenuntutan (preprosecution), Rencana Surat Dakwaan atau disingkat Rendak, Surat Dakwaan,  Persidangan (Pembacaan Surat Dakwaan, Eksepsi, Tanggapan Jaksa Penuntut Umum, Putusan Sela,  Pembuktian, Rencana Tuntutan atau disingkat Rentut, Tuntutan, Penuntutan/Surat Tuntutan atau Prosecutor, Nota Pembelaan atau Pledooi, Replik, Duplik, Putusan Pengadilan oleh Majelis Hakim, dan  Pelaksanaan Putusan atau executie  termasuk penempatan narapidana/terpidana pada  Lembaga Pemasyarakatan (correctional facility, correctional institution, correctionele faciliteit). Berdasarkan deskripsi diatas, dalam konteks  penerapan “Peradilan Pidana Terpadu” (Integrated Criminal Justice System) maka yang tidak boleh dilupakan adalah peranan Penasehat Hukum (Lawyer, Advocate) sebagai bagian yang terintegrasi untuk melakukan hubungan koordinasi fungsional dan institusional seagai sub – sistem dari perangkat penegak hukum (law enforcement instruments), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 17 Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, yang berbunyi: “Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain  yang berkaitan dengan  kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang – undangan”.

Dalam wacana  “Peradilan Pidana Terpadu” (Integrated Criminal Justice System), maka tindakan  “PENYELIDIKAN” pada prinsipnya tidak dikategorikan sebagai bagian dari  “Peradilan Pidana Terpadu” (Integrated Criminal Justice System), oleh karena tindakan tersebut merupakan tindakan permulaan untuk mencari, mendapatkan dan mengumpulkan alat bukti (evidence, bewijs) dengan cara metode dan strategi tertentu. Selanjutnya, kemudian berdasarkan bukti – bukti permulaan (preliminary evidence, voorlopig bewijs) yang telah didapatkan dan dikumpulkan dilakukan identifikasi, perivikasi dan conclusie melalui gelar perkara internal untuk menentukan upaya lanjutan pro justitia dalam konteks tugas, kewajiban dan tanggung jawab Petugas Hukum (the obligations and responsibilities of law enforcement officers)  melakukan atau tidak melakukan penyidikan.

Pada jenjang pemeriksaan perkara pidana (atas adanya suatu dugaan Tindak Pidana atau Delik)  di tingkat Kejaksaan  (Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia), maka tahap awal proses penyelesaian perkara pidana yang menjadi tugas, kewajiban dan tanggung jawab Jaksa   Penuntut Umum (JPU) yaitu melakukan  “PRAPENUNTUTAN” berupa  meneliti Berkas Perkara. yang telah dilimpahkan oleh Penyidik, sesuai dengan  ketentuan yang dirumuskan  dalam Pasal 14 butir b KUHAP, yang berbunyi:“Mengadakan  prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari Penyidik”.  Dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) maka  ANDI HAMZAH menyatakan, “Prapenuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh Penyidik”.  Selanjutnya, dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER – 036/A/JA/09/2011 Tentang STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)  PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA UMUM, dinyatakan: “Prapenuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk mengikuti perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut lengkap atau tidak”.

Berdasarkan uraian diatas maka dalam konteks Prapenuntutan, yang dimaksud dengan Penuntut Umum adalah JAKSA PENELITI, yaitu Jaksa yang ditunjuk untuk melakukan pemantauan pada saat diterimanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang diterima dari Penyidik Kepolisian,  Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) atau penyidik lain sesuai dengan peraturan perundang undangan (vide Pasal 8 ayat 1 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER – 036/A/JA/09/2011 Tentang STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)  PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA UMUM. Secara prosedural yang menunjuk Penuntut Umum sebagai Jaksa Peneliti adalah Pimpinan Kejaksaan atau Pejabat Teknis dibawahnya.  Secara eksplisit, tugas Penutut Umum sebagai  Jaksa Peneliti telah ditentukan dalam Pasal 11 ayat (1) Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER – 036/A/JA/09/2011 Tentang STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)  PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA UMUM, yaitu:

  1. melaksanakan penelitian berkas perkara sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang – undangan yang terkait;
  2. menentukan sikap apakah berkas yang diteliti merupakan perkara pidana atau bukan;
  3. menentukan sikap apakah berkas perkara sudah lengkap atau belum (memenuhi syarat formil maupun materil);
  4. menentukan sikap tentang kompetensi absolut dan kompetensi relatif;

Apabila JAKSA PENELITI berkas perkara beranggapan penyidikan Penyidik belum lengkap maka BERKAS PERKARA dikembalikan kepada Penyidik disertai petunjuk mengenai hal – hal yang harus dilengkapi oleh Penyidik. Berkas Perkara dianggap lengkap apabila telah memenuhi persyaratan Formal dan persyaratan Materil, Ketentuan demikian diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER – 036/A/JA/09/2011 Tentang STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)  PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA UMUM juncto Pasal 138 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi: “Penuntut Umum setelah menerima hasil penyidikan dari Penyidik segera mempelajari dan meneliti dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada Penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum”. Perlu dipahami dalam lingkup perkara pidana, maka ketentuan Syarat formil: mencakup: nama, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, tempat tinggal, pekerjaan terdakwa, jenis kelamin, kebangsaan dan agama. Sedangkan  Syarat  materiil:adalah w aktu dan tempat tindak pidana dilakukan (tempus delicti dan locus delicti), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a dan b KUHAP.

Selanjutnya ketentuan Pasal 138 ayat (2) KUHAP, menegaskan:  “Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, Penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada Penuntut Umum”.

Apabila BERKAS PERKARA yang dikembalikan oleh Penuntut Umum kepada Penyidik untuk dilengkapi melalui PENYIDIKAN TAMBAHAN ternyata tidak dapat dilengkapi oleh Penyidik, maka Penuntut Umum dapat melakukan tindakan:

  • Sesuai dengan Instruksi Jaksa Agung RI No. INS – 006/J.A/7/1986 Tanggal 15 Juli 1986, yaitu Berkas Perkara tersebut dapat diterima untuk selanjutnya perkara tersebut dihentikan penuntutannya.
  • Menerima Berkas Perkara penyidikan yang belum lengkap dari Penyidik untuk kemudian dilakukan pemeriksaan tambahan, sesuai dengan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik Indonesian, yang sekarang telah diganti dengan  Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, pada Pasal 30 ayat (1) huruf e disebutkan: “Di bidang pidana Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikordinasikan dengan Penyidik”.

Sebagai bahan pelengkap, berikut ini dikemukakan penerapan proses “Peradilan Pidana Terpadu” (Integrated Criminal Justice System)  pada tataran pemeriksaan perkara di Pengadilan.[1]

Pemeriksaan Pidana Biasa:

  1. Penunjukan hakim atau majelis hakim dilakukan oleh KPN setelah Panitera mencatatnya di dalam buku register perkara seterus¬nya diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menetapkan Hakim / Majelis yang menyidangkan perkara tersebut.
  2. Ketua Pengadilan Negeri dapat mendelegasikan pembagian perkara kepada Wakil Ketua terutama pada Pengadilan Negeri yang jumlah perkaranya banyak.
  3. Pembagian perkara kepada Majelis / Hakim secara merata dan terhadap perkara yang menarik pehatian masyarakat, Ketua Majelisnya KPN sendiri atau majelis khusus.
  4. Sebelum berkas diajukan ke muka persidangan, Ketua Majelis dan anggotanya mempelajari terlebih dahulu berkas perkara.
  5. Sebelum perkara disidangkan, Majelis terlebih dahulu mempelajari berkas perkara, untuk mengetahui apakah surat dakwaan telah memenuhi-syarat formil dan materil.
  6. Syarat formil: nama, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, tempat tinggal, pekerjaan terdakwa, jenis kelamin, kebangsaan dan agama.
  7. Syarat - syarat materil :Waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (tempus delicti dan locus delicti),Perbuatan yang didakwakan harus jelas di¬rumuskan unsur-unsurnya,Hal - hal yang menyertai perbuatan - perbuatan pidana itu yang dapat menimbulkan masalah yang memberatkan dan   meringankan.
  8. Mengenai butir a dan b merupakan syarat mutlak, apabila syarat-syarat tersebut tidak ter¬penuhi dapat mengakibatkan batalnya   surat dakwaan (pasal 143 ayat 3 (KUHAP).
  9. Dalam hal Pengadilan berpendapat bahwa perkara menjadi kewenangan pengadilan lain maka berkas perkara dikembalikan dengan penetapan dan dalam tempo 2 X 24 jam, dikirim kepada Jaksa Penuntut Umum dengan perintah agar diajukan ke Pengadilan yang berwenang (pasal 148 KUHAP).
  10. Jaksa Penuntut Umum selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari dapat mengajukan perlawanan terhadap penetapan tersebut dan dalam waktu 7 (tujuh) hari Pengadilan Negeri wajib mengirimkan perlawanan tersebut ke Pengadilan Tinggi (pasal 149 ayat 1 butir d KUHAP).
  11. Pemeriksaan dilakukan sesuai dengan prinsip - prinsip persidangan diantaranya pemeriksaan terbuka untuk umum, hadirnya terdakwa dalam persidangan dan pemeriksaan secara langsung dengan lisan.
  12. Terdakwa yang tidak hadir pada sidang karena surat panggilan belum siap, persidangan ditunda pada hari dan tanggal berikutnya.
  13. Ketidakhadiran terdakwa pada sidang tanpa alasan yang sah, sikap yang diambil :
    Sidang ditunda pada hari dan tanggal berikutnya;Memerintahkan Penuntut Umum untuk memanggil terdakwa;Jika panggilan kedua, terdakwa tidak hadir lagi tanpa alasan yang sah,  memerintahkan Penuntut Umum memanggil terdakwa sekali lagi;Jika terdakwa tidak hadir lagi, maka memerintahkan Penuntut Umum untuk menghadirkan terdakwa pada sidang berikutnya secara paksa.
  14. Keberatan diperiksa dan diputus sesuai dengan ketentuan  KUHAP.
  15. Perkara yang terdakwanya ditahan dan diajukan permohonan penangguhan / pengalihan penahanan, maka dalam hal dikabulkan atau tidaknya permohonan tersebut harus atas musyawarah Majelis Hakim.
  16. Dalam hal permohonan penangguhan / pengalihan penahanan dikabulkan, penetapan ditandatangani oleh Ketua Majelis dan Hakim Anggota.
  17. Penahanan terhadap terdakwa dilakukan berdasar alasan sesuai Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP, dalam waktu sesuai Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29 KUHAP.
  18. Penahanan dilakukan dengan mengeluarkan surat perintah penahanan yang berbentuk penetapan.
  19. Penangguhan penahanan dilakukan sesuai Pasal 31 KUHAP.
  20. Dikeluarkannya terdakwa dari tahanan dilakukan sesuai Pasal 26 ayat (3) dan Pasal 190 huruf b.
  21. Hakim yang berhalangan mengikuti sidang, maka KPN menunjuk Hakim lain sebagai penggantinya.
  22. Kewajiban Panitera Pengganti yang mendampingi Majelis Hakim untuk mencatat seluruh kejadian dalam persidangan.
  23. Berita Acara Persidangan mencatat segala kejadian disidang yang berhubungan dengan pemeriksaan perkara, memuat hal penting tentang keterangan saksi dan keterangan terdakwa, dan catatan khusus yang dianggap sangat penting.
  24. Berita Acara Persidangan ditandatangani Ketua Majelis dan Panitera Pengganti, sebelum sidang berikutnya dilaksanakan.
  25. Berita Acara Persidangan dibuat dengan rapih, tidak kotor, dan tidak menggunakan tip-ex jika terdapat kesalahan tulisan.
  26. Ketua Majelis Hakim / Hakim yang ditunjuk bertanggung jawab atas ketepatan batas waktu minutasi.
  27. Segera setelah putusan diucapkan Majelis Hakim dan Panitera Pengganti menandatangani putusan.
  28. Segera setelah putusan diucapkan pengadilan memberikan petikan putusan kepada terdakwa atau Penasihat Hukumnya dan Penuntut Umum.

 

Pemeriksaan Pidana Singkat:

  1. Berdasarkan pasal 203 KUHAP maka yang diartikan dengan perkara acara singkat adalah perkara pidana yang menurut Penuntut Umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.
  2. Pengajuan perkara pidana dengan acara singkat oleh Penuntut Umum dapat dilakukan pada hari - hari persidangan tertentu yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
  3. Pada hari yang telah ditetapkan tersebut penuntut umum langsung membawa dan melimpahkan perkara singkat kemuka Pengadilan.
  4. Ketua Pengadilan Negeri sebelum menentukan hari persidangan dengan acara singkat, sebaiknya mengadakan koordinasi dengan Kepala Kejaksaan Negeri setempat dan supaya berkas perkara dengan acara singkat diajukan tiga hari sebelum hari persidangan.
  5. Penunjukan Majelis / Hakim dan hari persidangan disesuaikan dengan keadaan di daerah masing-masing.
  6. Pengembalian berkas perkara kepada kejaksaan atas alasan formal atau berkas perkara tidak lengkap.
  7. Pengembalian berkas perkara dilakukan sebelum perkara diregister.
  8. Cara pengembalian kepada kejaksaan dilakukan secara langsung pada saat sidang di pengadilan tanpa prosedur adminstrasi.
  9. Dalam acara singkat, setelah sidang dibuka oleh Ketua Majelis serta menanyakan identitas terdakwa kemudian Penuntut Umum diperintahkan untuk menguraikan tindak pidana yang didakwakan secara lisan, dan hal tersebut dicatat dalam Berita Acara Sidang sebagai pengganti surat dakwaan (pasal 203 ayat 3 KUHAP).
  10. Tentang pendaftaran perkara pidana dengan acara singkat, didaftar di Panitera Muda Pidana setelah Hakim memulai pemeriksaan perkara.
  11. Apabila pada hari persidangan yang ditentukan terdakwa dan atau saksi-saksi tidak hadir, maka berkas dikembalikan kepada Penuntut Umum secara langsung tanpa penetapan, sebaiknya dengan buku pengantar (ekspedisi).
  12. Hakim dalam sidang dapat memerintahkan kepada penuntut umum mengadakan pemeriksaan tambahan untuk menyempurnakan pemeriksaan penyidikan jika hakim berpendapat pemeriksaan penyidikan masih kurang lengkap.
  13. Perintah pemeriksaan tambahan dituangkan dalam surat penetapan.
  14. Pemeriksaan tambahan dilakukan dalam waktu paling lama 14 hari, sejak penyidik menerima surat penetapan pemeriksaan tambahan.
  15. Jika hakim belum menerima hasil pemeriksaan tambahan dalam waktu tersebut, maka hakim segera mengeluarkan penetapan yang memerintahkan supaya perkara diajukan dengan acara biasa.
  16. Pemeriksaan dialihkan ke pemeriksaan acara cepat dengan tata cara sesuai Pasal 203 ayat (3) huruf b KUHAP.
  17. Untuk kepentingan persidangan Hakim menunda persidangan paling lama 7 hari.
  18. Putusan perkara pidana singkat tidak dibuat secara khusus tetapi dicatat dalam Berita Acara Sidang.
  19. BAP dibuat dengan rapi, tidak kotor, dan tidak menggunakan tip ex jika terdapat kesalahan tulisan diperbaiki dengan renvoi.
  20. Ketua Majelis Hakim / Hakim yang ditunjuk bertanggung- jawab atas ketepatan batas waktu minutasi.
  21. Paling lambat sebulan setelah pembacaan putusan, berkas perkara sudah diminutasi.
  22. Hakim memberikan surat yang memuat amar putusan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya, dan penuntut umum.

 

Tindak Pidana Cepat/Ringan:

  1. Pengadilan menentukan hari tertentu dalam 7 (tujuh) hari untuk mengadili perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan.
  2. Hari tersebut diberitahukan Pengadilan kepada Penyidik supaya dapat mengetahui dan mempersiapkan pelimpahan berkas perkara tindak pidana ringan.
  3. Pelimpahan perkara tindak pidana ringan, dilakukan Penyidik tanpa melalui aparat Penuntut Umum.
  4. Penyidik mengambil alih wewenang aparat Penuntut Umum.
  5. Dalam tempo 3 (tiga) hari Penyidik menghadapkan segala sesuatu yang diperlukan ke sidang, terhitung sejak Berita Acara Pemeriksaan selesai dibuat Penyidik.
  6. Jika terdakwa tidak hadir, Hakim dapat menyerahkan putusan tanpa hadirnya terdakwa;
  7. Setelah Pengadilan menerima perkara dengan Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan, Hakim yang bertugas memerintahkan Panitera untuk mencatat dalam buku register.
  8. Pemeriksaan perkara dengan Hakim tunggal.
  9. Pemeriksaan perkara tidak dibuat BAP, karena Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik sekaligus dianggap dan dijadikan BAP Pengadilan.
  10. BAP Pengadilan dibuat, jika ternyata hasil pemeriksaan sidang Pengadilan terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat  Penyidik.
  11. Putusan dalam pemeriksaan perkara tindak pidana ringan tidak dibuat secara khusus dan tidak dicatat/ disatukan dalam BAP. Putusannya cutup berupa bentuk catatan yang berisi amar-putusan yang disiapkan / dikirim oleh Penyidik.
  12. Catatan tersebut ditanda tangani oleh Hakim.
  13. Catatan tersebut juga dicatat dalam buku register.

_________________________________

[1] Website Pengadilan Negeri Simalungun, Edisi Senin, 11 April 2016.


Writer and Copy Right:
Dr. (Cand.) Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant
Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002








 

PERJANJIAN YANG SAH HARUS MENDAPAT PENGAKUAN HUKUM

 


PERJANJIAN YANG SAH  HARUS  MENDAPAT PENGAKUAN HUKUM

 

Suatu kontrak atau perjanjian  merupakan persetujuan menyatakan kehendak secara bebas yang diakui oleh hukum. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pada kenyataannya hukum tidak mengakui semua perjanjian yang dibuat oleh pihak – pihak yang mengikatkan dirinya dalam suatu kesepakatan. Sebagai perbandingan (comparison) mengenai syarat – syarat sahnya suatu perjanjian dapat dikemukakan  antara konsepsi Hukum Perdata Indonesia dengan konsepsi hukum yang dianut oleh negara Inggeris.

Dalam konteks hukum positif (positive law) yang berlaku di Indonesia, maka pengakuan hukum terhadap sahnya suatu sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1338 KUHPerdata harus bersesuaian dengan syarat – syarat fundamental yang secara eksplisit ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Sedangkan apabila merujuk pada konsepsi hukum yang berlaku di negara Inggris maka syarat – syarat pokok yang harus dipenuhi oleh suatu perjanjian agar diakui oleh hukum sebagai suatu perjanjian yang sah sehingga orang/pihak yang dirugikan dapat menuntut pembayaran ganti rugi, yaitu:

 

1.   MAKSUD MENGADAKAN PERJANJIAN (Intention)

Pihak – pihak yang mengadakan perjanjian harus “bermaksud” agar perjanjian yang mereka buat mengikat secara sah. Apabila timbul sengketa (dispute) maka Pengadilan harus yakin tentang maksud mengikat secara sah tersebut. Mengikat secara sah artinya perjanjian itu menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak – pihak yang diakui oleh hukum.

2.   PERSETUJUAN YANG TETAP (Agreement)

Para pihak harus mencapai persetujuan yang tetap, yang ditunjukkan dengan penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran dan tidak sedang berunding. Perundingan adalah tindakan yang mendahului tercapainya persetujuan tetap (dari Letter of Intent menjadi Memorandum of Understanding).Pada saat pihak – pihak mengadakan perundingan, maka dianggap belum ada persetujuan yang tetap. Setelah perundingan selesai dimana tawaran pihak yang satu diterima oleh pihak yang lainnya, artinya telah tercapai “KATA SEPAKAT” tentang pokok perjanjian maka pada saat itu telah tercapai persetujuan yang tetap.

3.   PRESTASI (Consideration)

Dalam prakteknya, hukum Inggeris hanya akan memberi pengakuan terhadap kontrak atau perjanjian yang bukan berisi janji – janji belaka. Oleh karena itu suatu perjanjian harus dengan tegas menentukan prestasi timbal balik  masing – masing pihak (model ini merupakan ciri khusus sistem hukum Common Law, yang berbeda dengan model yang dianut sistem hukum Civil Law yang dianut negara – negara  Eropa Kontinental seperti yang diterapkan di negara Skotlandia).

4.   BENTUKNYA (Form)

Bentuk kontrak atau perjanjian dapat secara lisan atau tertulis (dalam suatu surat atau akta), namun demikian terhadap beberapa jenis perjanjian tertentu hanya berlaku apabila dibuat dalam bentuk tertulis.

5.   SYARAT – SYARAT TERTENTU (Definite Term)

 Syarat – syarat yang ditentukan dalam suatu perjanjian harus tegas sehingga memungkin Pengadilan mengetahui dengan pasti hal – hal apa saja yang telah disepakati oleh para pihak  dalam perjanjian tersebut. Apabila syarat – syarat tersebut tidak jelas (dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda karena klausulanya samar – samar atau kabur) sehingga sulit dimengerti maka hukum tidak akan mengakui perjanjian tersebut, sehingga dianggap tidak berlaku.

6.   KAUSA YANG HALAL (Legality)

Setiap perjanjian yang bertentangan dengan ketertiban umum (public policy) adalah dilarang dan sama sekali tidak diperbolehkan oleh hukum (misalnya: Pengadilan tidak akan mengabulkan tuntutan ganti rugi yang diajukannya, apabila orang yang menyuruhnya membunuh tidak  memberi bayaran). 

 

Writer and Copy Right:
Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant
Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002







IMPLIKASI DIGITALISASI TERHADAP SISTEM PERBANKAN

 


IMPLIKASI DIGITALISASI TERHADAP SISTEM PERBANKAN

 

Fenomena digital ekonomi (termasuk digital banking)  merupakan perkembangan dan pertumbuhan dalam ekonomi yang menggunakan teknologi digital maupun internet sebagai sarana  dalam kegiatan ekonomi yang dapat mendatangkan profit dalam perekonomian. Dewasa ini hampir semua  sistem transaksi dalam ekonomi (begitupula transaksi perbankan) menggunakan basis teknologi, dan semakin banyak variasi model bisnis ekonomi digital yang berkembang. 

Aktiitas perbankan dari masa ke masa terus bergerak maju dan berkolaborasi untuk meningkatkan sistem dan strategi agar masyarakat dapat bertransaksi dengan bantuan teknologi seiring berkembangnya jaman. Teknologi aplikasi dalam perbankan dinamakan dengan digital banking, yang merupakan layanan perbankan dengan memanfaatkan teknologi digital untuk memenuhi kebutuhan nasabah agar dapat mempermudah transasksi dalam perbankan. Digital banking  yang telah berkembang sampai saat ini yaitu seperti ATM, internet banking, mobile banking, phone banking, dan SMS banking. 

Tujuan dari digital ekonomi diharapkan agar mempermudah masyarakat dalam menyimpan dan menganalisis data yang ada. Sehingga pihak bank dapat menjaga hubungan dengan konsumen, mengatasi keluhan konsumen lebih baik, serta dapat mengembangkan produk atau layanan yang lebih tepat dengan lebih cepat, murah, dan jelas bagi konsumen. Tentunya dengan ada sistem tersebut dapat membuat bank lebih efisien, serta mempermudah nasabah dalam melakukan transaksi misalnya seperti transfer uang melalui mobile banking. 

Dalam menghadapi persiapan di era digitalisasi, maka dunia usaha yang bergerak di bidang perbankan  mempersiapkan 2 (dua) aspek penting untuk meningkatkan kinerjanya, yaitu: 1) Aspek Sumber Daya Manusia (SDM), dan 2) Aspek teknologi. Orientasi pengembangan aspek Sumber Daya Manusia (SDM) yaitu mempersiapkan  SDM yang mumpuni dari latar belakang Informasi Teknologi (IT) yang diberikan melalui  pelatihan/ mengikuti benchmark mengenai perkembangan teknologi. Recruitment  personalia  SDM dengan lulusan IT dari berbagai peminatan, serta memberikan pelatihan terkait IT kepada seluruh karyawan dan mewajibkan seluruh karyawan untuk mengikuti e-learning Digital Transformer. Termasuk mewajibkan seluruh karyawan melakukan kegiatan/transaksi digital dari berbagai aplikasi yang ada di perbankan yang bersangkutan  dari device karyawan (digital experiences). Sedangkan orientasi pengembangan aspek teknologi, dunia usaha yang bergerak di bidang perbankan  melakukan kerjasama interinstitusi seperti  benchmark ke bank - bank lain yang sudah memiliki dan menggunakan  IT yang maju dan canggih, disamping pengadaan sarana  mesin - mesin untuk kegiatan/transaksi perbankan, mengembangkan aplikasi - aplikasi yang ada mengikuti perkembangan digitalisasi dan menyesuaikan infrastruktur IT dengan perkembangan digitalisasi. 

Berbagai sarana informasi teknologi yang marak diterapkan dalam interaksi dan aktivitas perbankan saat ini, antara lain: 1) Chatbot VIRA yang merupakan sarana untuk nasabah bertanya melalui gadget ; 2) penggunaan mesin-mesin pengganti teller (mesin STAR teller), dimana nasabah dapat melakukan transaksi perbankan melalui mesin tersebut;  3) Mengembangkan e-banking dan mobile banking;  4) Mengembangkan aplikasi untuk belanja online seperti Sakuku; 5) eksis di media-media sosial, seperti: Facebook, Twitter, dan Instagram. 

Akan tetapi harus dipahami bahwa selain dampak positif dari kemajuan penggunaan metode digitalisasi tersebut, terjadi pula efek domino yang merupakan dampak negatif dari aspek penyerapan tenaga kerja/karyawan yang drastis berkurang terutama bagian operasional atau operator  front office seperti teller dan customer service, oleh  karena fungsi mereka digantikan dengan STAR teller, CS digital, dan robot. Dan dalam perkembangan era digitalisasi ini SDM yang dibutuhkan menurun, karena sudah tidak banyak dibutuhkan SDM untuk melayani nasabah. Untuk kedepannya tidak hanya kegiatan perbankan saja, tetapi kegiatan lain pun akan dilakukan melalui online. Akibatnya banyak SDM menjadi pengangguran, kecuali yang menguasai dasar teknologi seperti jurusan IT. Selain itu, dampak negatif dari penggunaan kemajuan teknologi juga sangat mungkin akan dialami masyarakat sebagai nasabah, serta kejahatan – kejahatan lainnya yang dapat mengganggu sistem perbankan misalnya tindakan yang dilakukan perbuatan melawan/melanggar hukum yang dilakukan oleh Hacker yang dapat merugikan pihak perbangkan, nasabah bahkan perekonomian negara secara makro.


APPE HAMONANGAN HUTAURUK, SH., MH.







Minggu, 15 Mei 2022

SISTEM PEMAKSAAN SEKUNDER PENEGAKKAN HUKUM DIKAITKAN DENGAN KELAMBANAN PROSES PERADILAN

 


SISTEM PEMAKSAAN SEKUNDER PENEGAKKAN HUKUM DIKAITKAN
DENGAN KELAMBANAN PROSES PERADILAN

 

Menurut Alvin Toffler dalam bukunya Power Shift, "pada setiap kehidupan masyarakat dijumpai “Sistem pemaksaan sekunder” (secondary enforcement system) dalam penegakkan hukum. Sistem tersebut sering dioperasikan pihak yang lebih kuat status sosial ekonominya kepada pihak yang lemah".

Sistem Pemaksaan Sekunder berupa tindakan upaya penegakkan hukum diluar jalur sistem “pemaksaan hukum resmi dan formal (the formal official law – enforcement system)” melalui kekuasaan kehakiman (badan peradilan). Dengan demikian operasional sistem pemaksaan hukum sekunder berada di pinggir bahkan di luar jalur sistem pemaksaan hukum resmi dan formal.

Hakekatnya, sistem pemaksaan hukum sekunder mengandung “pelanggaran hukum” (against the law). Model demikian merupakan upaya dan tindakan “main hakim sendiri (eigenrichting)” dalam ungkapan: mendahulukan kekerasan secara paksa dan membelangkangkan hukum. Untuk mencapai suatu pemenuhan kewajiban hukum oleh seseorang, sistem ini mempergunakan cara – cara pemaksaan oleh orang upahan atau tukang pukul. Atau bisa juga menggunakan tangan suatu instansi yang tidak berwenang untuk itu (without under the authority of law). Sebagai contoh dalam film yang menceritakan pembayaran hutang rentenir dengan kekerasan memaksa debitur menandatangani jual – beli tanah milik debitur kepada kreditur dengan harga murah. Tayangan sinetron Siti Nurbaya memperagakan sosok Datuk Maringgi merampas dan menghancurkan kekayaan keluarga Siti Nurbaya melalui jalur sistem pemaksaan sekunder. Pelaku pelaksananya, para jagoan yang diupah Datuk Maringgih. Begitu pula apabila  terdapat fakta dimana  pihak kreditur meminjam kekuasaan oknum Polisi atau oknum ABRI untuk menakuti debitur supaya segera membayar hutang. Tengah malam tukang pukul mendatangi janda malang, agar besok pagi mesti melunasi hutangnya yang berlipat ganda jumlahnya.

Sistem penegakkan hukum sekunder, tidak saja mewarnai penyelesaian kasus sengketa bidang perdata. Penyelesaian kasus pidana juga bisa dimasuki sistem PENEGAKKAN HUKUM SEKUNDER. Seorang yang merasa dihina mengupah orang lain untuk menganiaya atau membunuhnya. Pekerja atau karyawan yang dinilai majikannya sering melakukan tuntutan akan hak – hak mereka, dibungkam dengan ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK),  pekerja tersebut didatangi KELOMPOK BAYARAN, dengan ancaman akan dihabisi nyawanya apabila menuntut haknya  terhadap majikannya. Dalam kultur sebagian masyarakat Indonesia, dikenal “carok” di Madiun dan ‘siri” di Sulawesi Selatan sebagai perwujudan sistem sekunder penegakkan hukum di bidang pidana.

Penggunaan sistem pemaksaan sekunder bukan hanya terdapat di Indonesia. Di beberapa negara, sistem ini banyak dipraktekkan dalam skala yang lebih besar dan lebih luas diantara sesama usahawan maupun di tengah – tengah kehidupan masyarakat. Bahkan d Mereka sama – sami beberapa negar,  berusaha mendekati geng penjahat yang brutal dan terorganisasi. Di Jepang masyarakat mengenal “Yakuza” sebagai kekuatan pemaksa sekunder yang mengerikan. Bukan hanya Yakuza, masyarakat Jepang juga mengenal “SARAKIN”, Sarakin banyak dimanfaatkan untuk memenuhi pembayaran hutang yang berlipat ganda melalui pemaksaan persuasip fisik. Masayarakat Amerika memiliki organisasi “MAFIOSA” yang dapat diminta bantuan untuk memaksakan pemenuhan sesuatu melalui cara penegakkan kekerasan sekunder. Berkembangnya penggunaan sistem pemaksaan sekunder oleh masyarakat atau pihak swasta dengan meminjam tenaga perorangan atau bandit yang terorganisir rapi, kekuasaan dan pemaksaan negara digantikan oleh kekuasaan dan pemaksaan swasta. Dalam hal seperti ini, monopoli pemaksaan dan kekerasan legal yang dimiliki aparat penegak hukum (polisi, kejaksaan dan pengadilan), direbut oleh geng atau organisasi swasta. Apabila tingkat perkembangan sistem sekunder sudah meluas dan dicenderungi ke masyarakat, maka batas kontrol kekuasaan swasta dan penguasa publik, sudah tidak ada lagi.

Di Indonesia pernah  muncul suatu ide di kalangan industri perbankan untuk mempergunakan sejenis sistem penegakkan hukum sekunder. Majalah Warta Ekonomi, terbitan No. 45 dan 46/III/6 – 13, April 1992, mengungkapkan beberapa bank menggunakan geng penagih hutang (debt collector) secara paksa, kekerasan fisik dan intimidasi. Alasan yang dikemukakan memunculkan sistem ini, didasarkan pada dua faktor. Pertama, membengkaknya kredit macet pihak nasabah. Kedua, panjangnya liku – liku formalisme proses peradilan mulai dari tingkat pertama, banding dan kasasi. Malahan timbul mode mempergunakan upaya peninjauan kembali. Penyelesaian kredit macet melalui jalur resmi dan formal badan peradilan, sangat berlawanan dengan  kepentingan dunia bisnis yang menuntut penyelesaian yang cepat dan sederhana.  Dunia bisnis menghendaki penyelesaian “informal procedure and can be put in motion quickly”.

Dalam konteks kepentingan bisnis,  gagasan pengusaha perbankan menggalakan semacam sistem pemaksa sekunder sering dilakukan. Kegiatan merefleksikan gagasan sama sekali tidak diperbolehkan karena  cenderung dilakukan secara paksa dan dalam  bentuk – bentuk persuasif fisik, ancaman, penculikan, pengambilan paksa, penyanderaan dan sebagainya. Dengan demikian dapat dianggap mengarah kepada  penghancuran sendi – sendi negara hukum. Dapat pula terjadi,  suatu sistem sekunder,  operasionalnya mempergunakan jasa Pengacara (Penasehat Hukum), hal inipun tidak dibenarkan dalam konteks law enforcement.

Salah satu faktor yang mempengaruhi  masyarakat memanfaatkan jasa "PREMANISME" atau "organisasi yang mempergunakan sistem kekerasan sekunder", disebabkan lambat, sulit,  dan berlikunya cara – cara penyelesaian melalui jalur aparat penegak hukum, bahkan kepercayaan masyarakat saat ini telah berkurang terhadap wibawa dan profesionalisme para petugas penegak hukum (law enforcement officers) seperti pihak Polisi, Jaksa dan Hakim atau yang lainnya.  Peristiwa pidana yang dilaporkan secara resmi kepada polisi, sering dialami masyarakat tidak ditangani secara sungguh – sungguh. Penanganannya setengah – setengah. Penjahat yang tertangkap tangan oleh masyarakat, beberapa hari kemudian sudah keluar bebas. Bahkan, mungkin juga ada Laporan atau Pengaduan yang direkayasa dalam bentuk KRIMINALISASI  bekerja sama antara Pelapor/Pengadu dengan petugas hukum.

Sama halnya di bidang perdata, kelambanan dan keangkeran formalistik proses penyelesaian pengadilan, termasuk salah satu faktor pendorong penggunaan sistem kekerasan sekunder. Melangkah memasuki proses penyelesaian sengketa ke ruang pengadilan, terkadang seolah – olah “adventure unto the unknown”. Tak ubahnya memasuki belantara yang tidak bertepi. Linglung dann resah menunggu pada penantian yang tidak berakhir. Kematian sudah datang menjelang, tetapi penyelesaian perkara yang didambakan, masih di alam antah berantah. Akan tetapi tepatkah sudah jika formalisme dan pihak pengadilan saja yang disesali? Tidak memperkalut formalisme menjadi benang kusut, seiring datang dari keculasan dan kekeruhan sanubari kita semua.  Kekusutan benang formalismesering semakin diacak – acak oleh pihak yang berperkara atau oleh penasehat hukum. Hari ini dalam perkara yang itu,  penasehat hukum mencaci maki pihak lawan yang tidak hadir. Dan gusar terhadap pihak lawan yang mengajukan banding, kasasi. Tetapi pada esok hari dan dalam kasus yang lain, dia sendiri membuat seribu macam alasan untuk mengacau jalannya sidang, dan mengajukan banding, kasasi sampai peninjauan kembali; meskipun nuraninya yakin dan berbisik bahwa tindakannya licik dan omong kosong, dengan bertamengkan alasan bahwa semua tindakannya itu adalah sah guna menegakkan hak dan kepentingan kliennya.

Kalau begitu, demikian keadaan kita semua. Begitulah corak penegakkan hukum melalui sistem pemaksaan yang resmi dan formal melalui badan peradilan, yang membuat kondisi formalisme semakin kusut adalah kita semua. Jika timbul gejala berkembangnya sistem pemaksaan penegakkan hukum sekunder, adalah tanggung jawab kita semua. Oleh karena itu jika terjadi pergesaran peran dan sistem pemaksaan penegakkan hukum yang resmi dan formal dari tangan pengadilan ke tangan bandit, geng dan semacamnya, disebabkan ulah perilaku semua pihak. Dan suatu hal yang pasti, praktek sitem pemaksaan sekunder baik yang terang – terangan maupun yang sembunyi – sembunyi, tetap merupakan pelanggaran hukum. Dan apabila perkembangannya sudah sampai menggantikan kedudukan lembaga penegak hukum, runtuhlah sendi negara hukum yang kita tegakkan. Kalau negara – negara lain berusaha sekuat tenaga menghancurkan keagresifan fisik secara langsung melalui sistem pemaksaan sekunder, sebagaimana Jepang memperkecil peran “yakuza” dan Amerika memerangi “mafiosa”, dengan cara mensublimasi kekuasaan kedalam hukum, sangat prihatin sekali, jika pihak perbankan bergerak membudayakan sistem pemaksaan sekunder. Langkah yang benar, bukan membudayakan sistem tersebut. tetapi menggantungkan semua penyelesaian permasalahan kehidupan bisnis, sosial dan ekonomi kepada hukum melalui sistem pemaksaan yang resmi dan formal. Paling tidak, kita harus menumbuhkan suatu sistem yang semi pemaksaan resmi dan formal, yang dianggap masih dalam batas – batas toleransi yakni mempergunakan jasa pengacara. Budaya penegakkan yang seperti itu misalnya, telah dikembangkan di Amerika. Hampir semua perusahaan yang menyewa pengacara yang mereka sebut “senjata sewaan” atau “hired gun”. Mereka berpendapat, cara penyelesaian menurut hukum dengan sistem pemaksaan resmi dan formal, merupakan penggunaan pemaksaan yang tepat, beradab dan adil dalam dunia bisnis. Lebih dari seribu perkara kasus perdata yang diproses melalui sistem peradilan distrik setiap hari di seluruh Amerika.

Pada kenyataanya, banyak hakim yang kaku dicekoki “formalistic legal thinking”, sehingga proses peradilan yang sudah lamaban dan formal itu semakin dijangkiti penyakit formalisme. Betapa banyak pejabat yang dicekoki sikap perilaku mengkristalkan formalisme itu dengan keangkuhan superioritas dan resistensi terhadap setiap upaya dan gerak mendinamikakan kelincahan penyelesaian perkara! Semua fakta ini berbicara didepan wajah kita. Namun demikian, apakah Anda setuju dan rela untuk menggantikan peran dan kewenangan sistem pemaksaan penegakkan hukum resmi dan formal (the formal, official law – enforcement system) dengan sistem pemaksaan sekunder (secondary enforcement system) melalui kebengisan dan keberutalan agresif seperti geng “yakuza” dan “mafiosa”.

Writer and Copy Right:
Dr. (Cand.) Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant
Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002




 

 

AMBISIUS YANG MERUSAK KARAKTER ALAMI RAKYAT INDONESIA

 


AMBISIUS YANG MERUSAK KARAKTER  ALAMI
 RAKYAT INDONESIA

 

 

Sebagai suatu bangsa yang berbudaya, pada hakekatnya rakyat Indonesia memiliki karakter terpuji yang diakui oleh seluruh bangsa – bangsa di dunia. Karakter yang merupakan warisan leluhur Ibu Pertiwi, bersumber dari nilai – nilai kultural yang terjalin lestari secara turun – temurun. Tenggang rasa tepa salira, gotong royong, ramah tamah, pekerja keras, mengutamakan musyawarah dan mufakat, mencintai ketertiban dan perdamaian merupakakan ciri – ciri khas kepribadian rakyat Indonesia

 

Akan tetapi, sekarang ini karakteristik tersebut mengalami kerisis dan mulai terkikis.  Wajah yang ramah tamah itu mulai tidak tampak, karena didominasi rona beringas, buas dan bengis. 

Makna musyawarah mufakat hampir  tidak memiliki manfaat, karena demonstrasi kerapkali dijadikan siasat  untuk memuaskan hasrat.

 

Apakah ada pergeseran nilai?

Apakah ada perubahan watak?

Ya, tetapi pergeseran nilai dan perubahan watak itu bukan disebabkan oleh PANCAROBA. Tetapi diprovokasi oleh Politisi Busuk yang berambisi mendapatkan kekuasaan. Ambisi membabi – buta yang menghalalkan segala cara, tanpa peduli PERSATUAN INDONESIA sebagai tujuan utama yang harus DITATA.  

Semoga kita sadar untuk merajut PERSATUAN INDONESIA dalam suasana BHINNEKA TUNGGAL IKA. 

 

Copy Right: Appe Hamonangan Hutauruk










Sabtu, 14 Mei 2022

Sekelumit Ringkasan HUKUM WARIS ADAT

 




Sekelumit Ringkasan 
HUKUM WARIS ADAT

 

HUKUM WARIS ADAT  adalah hukum waris yang diakui, diyakini dan dijalankan oleh suku atau etnik  tertentu di negara Indonesia. Beberapa hukum waris adat aturannya tidak tertulis, namun keberlakuannya sangat ditaati  oleh masyarakat pada suku tertentu dalam suatu daerah (komunitas territorial), bahkan  apabila  ada yang melanggarnya akan diberikan sanksi atau hukuman tertentu. HUKUM WARIS ADAT  banyak dipengaruhi oleh hubungan kekerabatan serta stuktur kemasyarakatannya komunitas adat/etnik tertentu. Oleh karena itu jenis pewarisannya berdasarkan sistem HUKUM WARIS ADAT yang terdapat di Indonesia adalah berbeda - beda, antara lain :

 

1.  Sistem Keturunan, pada sistem ini dibedakan menjadi tiga macam yaitu garis keturunan bapak (patrilineal), garis keturunan ibu (matrilineal), serta garis keturunan yang menganut keduanya (patrilineal atau matrilineal);

 

2. Sistem Individual, merupakan jenis pembagian warisan berdasarkan bagiannya masing-masing, umumnya banyak diterapkan pada masyarakat suku Jawa;

 

3. Sistem Kolektif, Merupakan sistem pembagian warisan dimana  masing-masing ahli waris memiliki hak untuk mendapatkan warisan atau tidak menerima warisan. Pada umumnya bentuk warisan Sistem Kolektif  digunakan terhadap barang pusaka pada masyarakat tertentu;

 

4.     Sistem Mayorat, merupakan sistem pembagian warisan yang diberikan kepada anak tertua yang bertugas memimpin keluarga. Contohnya pada masyarakat lampung dan Bali;

 

 

Writer and Copy Right:
Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant
Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002











 

TAHAP PEMBUATAN DAN PELAKSANAAN SUATU KONTRAK ATAU PERJANJIAN

  TAHAP PEMBUATAN DAN PELAKSANAAN SUATU KONTRAK ATAU PERJANJIAN   Pelaksanaan suatu kontrak akibat adanya suatu perbuatan cidera/ingka...